Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Kamis, 06 September 2012

Hak Kelompok Minoritas Kembali Di Usik (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis.

Indonesia merupakan bangsa yang multietnis dimana bermacam suku bangsa, budaya, dan adat istiadat berada dalam naungan bangsa yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Indonesia memiliki suku bangsa yang mencapai 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku. Selain suku, Indonesia juga negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain terdiri dari beragam suku dan budaya, Indonesia juga merupakan negara yang dihuni oleh penduduk yang memeluk beragam agama pula. Tak kurang ada enam agama resmi yang diakui pemerintah untuk dianut oleh warga negara Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan terakhir Konghucu. Hal tersebut belum termasuk mereka yang tidak memeluk agama samawi tetapi berkeyakinan dengan hal – hal yang mereka anggap sebagai perwujudan dari Sang Maha Kuasa, seperti kepercayaan Parmalim dan Pelbegu dipedalaman Sumatera Utara, atau kepercayaan suku Badui dipedalaman Banten, yang kesemuanya juga dijamin keberadaanya oleh pemerintah sesuai isi pasal 29 ayat 2 Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Namun ada hal urgen yang ternyata masih menggangu stabilitas dari cita-cita mulia bangsa Indonesia dalam menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa yakni minimnya nilai toleransi yang justru terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan mereka sebagai warga negara yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi.
Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat kita kini masih mengalami sifat intoleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Konflik horizontal yang diakibatkan berbagai perbedaan diantara masyarakat kita masih marak terjadi diera reformasi ini. Kemajemukan seolah menjadi musuh dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih belum mampu diterima secara utuh oleh rakyat kita yang notabenenya terdiri dari beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Hal ini terlihat dari banyaknya sengketa yang mewarnai era reformasi dewasa ini yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat kita. Mulai dari konflik agama yang belakangan mulai merebak ramai kepermukaan. Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat justru diparangi secara tidak manusiawi oleh sesama umat islam yang menyatakan aliran tersebut harus dibubarkan. Atau konflik antara umat Islam dan umat Kristen di Bogor mengenai keberadaan Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin yang membuat hubungan antar umat beragama sempat memanas, pembantaian terhadap pemeluk aliran Ahmadiyah di Cikesik Banten, hingga yang paling hangat adalah pembantaian terhadap pemeluk islam syiah di Sampang Madura yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Bukankah bangsa kita merupakan bangsa yang gemar berdialog atau bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai silang pendapat atau perbedaan yang ada sesuai isi butir keempat Pancasila.
Lalu mengapa ketika ada golongan yang merupakan sesama anak negeri ini namun memiliki keyakinan yang sedikit berbeda justru diperangi secara brutal tanpa memandang kaidah-kaidah agama itu sendiri yang mengedepankan cinta kasih antara sesama manusia dan kedamaian bagi pemeluknya. Toleransi Kita Masih Dipertanyakan Kedewasaan dan sikap toleransi bangsa Indonesia dalam menghargai perbedaan yang ada kembali diuji, umat Islam Syiah di kabupaten Sampang Madura kembali mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi oleh oknum-oknum yang menganggap aliran yang mereka ikuti sesat.
 Akibat pembantaian tersebut dua orang pengikut Islam Syaih di Sampang meninggal dunia. Ini merupakan cambukan bagi kita semua karena hingga hari ini bangsa kita masih sangat intoleran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Satu hal yang naif dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama namun justru melakukan hal-hal yang jauh dari nilai-nilai agama dalam mempertahankan kepercayaannya. Seharusnya mereka yang memiliki pemahaman bahwa aliran Islam Syiah tersebut keliru, lebih bersikap dewasa dengan mengajak dialog para pengikut islam syiah dan menghindari tindakan-tindakan yang sporadis yang justru menjauhkan mereka dari ajaran-ajaran agama. Tokoh agama harusnya juga menggunakan peran mereka sebagai pentolan umat dalam mengambil keputusan dengan cara menempatkan diri sebagai mediator dari kedua pihak yang berbeda pandangan tersebut. Namun agaknya tokoh agama justru bersikap apatis terhadap perlakuan yang sangat tidak manusiawi yang dialami oleh warga Syiah di Sampang. Bahkan hal yang paling ironis adalah manakala isu sara yang menyangkut kaum minoritas ini merambat ke ranah politik dimana ada oknum yang merasa bahwa kelompok minoritas tidak pantas untuk memimpin bangsa ini karena mereka hanya berjumlah segelintir.
Sekali lagi ini menunjukan satu ketidakdewasaan berfikir bangsa kita yang masih belum bisa menerima kehidupan yang penuh dengan dinamika keberagaman baik itu suku, agama, maupun kepercayaan. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, niscaya persatuan dan kesatuan bangsa akan mengalami satu kemunduran karena sudah tidak adanya lagi sifat toleransi yang ditunjukan antar sesama umat beragama. Pemerintah yang menjadi wadah dari sistem kenegaraan, seolah juga tidak mampu untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga negaranya terutama kaum minoritas yang mendapat perlakuan kasar dari kelompok mayoritas. Sikap diam pemerintah inilah yang semakin lama semakin membuat kelompok minoritas seolah kehilangan haknya dalam menjalankan kepercayaannya yang meskipun telah dilindungi oleh dasar konstitusi negara. Padahal selain telah membuat banyak aturan tentang penegakan HAM, Indonesia juga merupakan negara yang kembali terpilih sebagai salah satu anggota dewan HAM PBB. Namun tetap saja negara yang telah menjadikan HAM sebagai salah satu orientasi mutlak dalam menjalankan kehidupan bernegaranya ini ternyata belum mampu untuk mengaplikasikan segala bentuk jaminan akan kebebasan warga negaranya untuk mendapatkan hak asasinya.
Banyak peraturan yang membahas tentang penegakan HAM telah dibuat oleh Indonesia sebagai instrumen baku untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar setiap warga negara Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dari International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik yang juga merupakan hasil ratifikasi dari International Covenant On Civil And Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik. Namun semua itu seolah hampa karena hingga kini hak-hak warga negara terutama kaum minoritas masih saja kerap diabaikan oleh negara sehingga berbagai konflik yang mengakibatkan kaum minoritas semakin terpinggirkan dan hampir tidak mendapat perlindungan hukum kembali marak terjadi.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS Unimed dan Staf Pusham Unimed.
Sumber : Analisa 29 Agustus 2012

0 comments:

Posting Komentar