Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Rabu, 19 September 2012

Koalisi Bongkar Pasang


Oleh : Eka Azwin Lubis
Sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dimana negara ini berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui pemilihan umum dan berwenang atas kepemimpinan sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun.  Selain itu presiden dan dewan perwakilan (DPR) memiliki masa jabatan yang sama dan tidak bisa saling menjatuhkan, dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki posisi yang kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya relatif lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Namun Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer dalam menjalankan roda birokrasi dimana setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden sebagai pemangku kekuasaan negara dan pemerintahan, harus mendapat restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Division of Power (pembagian kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala sistem parlementer.
Sehingga dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa dalam pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah cara yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Oleh sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang diterapkan negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam mengaktualisasikan kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang bermunculan setiap kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi. Pada tahun 2009 saja ada 44 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dimana 16 diantaranya merupakan partai politik baru yang lolos verifikasi dan berhak untuk menjadi kontestan pesta demokrasi yang digelar tiap lima tahun sekali tersebut.
Dari 44 parpol yang bersaing pada pemilu tahun 2009 tersebut, hanya 9 diantaranya yang berhasil meraih kursi di DPR. Hal ini dikarenakan penerapan Parlemen Threshold yang mengharuskan setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara nasional untuk berhak mendapat jatah kursi di DPR. Sehingga hanya Partai Demokrat (20,85 %), Golkar (14,45 %), PDIP (14,03 %), PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra (4,46 %), dan Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR pusat untuk periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain yang mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi di DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Sembilan partai yang masuk dalam parlemen thereshold dan berhak mendapat kursi di DPR, enam diantaranya memilih untuk berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Boediono yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009/2014. Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PPP, dan PAN, marupakan partai yang siap untuk mendukung dan membantu pemerintah selama lima tahun kedepan. Mereka tergabung dalam Sekretariat Gabungan (setgab) yang dikepalai langsung oleh presiden SBY.
Sementara itu 3 partai lain seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura yang juga mendapat jatah kursi di parlemen, lebih memilih untuk menjadi partai oposisi pemerintah. Keputusan ini tentu menjadi hak tiap partai yang tidak dapat diganggu oleh partai lain sekalipun itu partai penguasa. Hal ini tentu juga membuat ketiga partai oposisi tersebut tidak mendapat jatah di kabinet sesuai tradisi yang diterapkan selama ini. Karena setiap partai yang masuk kedalam koalisi pasti mendapat jatah menteri di dalam kabinet yang telah diatur dalam kesepakatan koalisi.
 Ganti Formasi ala Penguasa
Namun seiring berjalanya waktu, partai koalisi yang tergabung dalam setgab dan telah membuat kesepakan untuk mendukung serta mengawal pemerintah yang dipimpin oleh presiden SBY dan wapres Boediono selama lima tahun masa jabatan diperiode yang kedua, mulai mengalami dinamika politik yang menggoyang keharmonisan dan kesolidan koalisi. Mulai dari manuver politik yang dilakukan oleh beberapa partai koalisi hingga keputusan-keputusan yang diambil oleh partai koalisi yang bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
PKS merupakan salah satu partai koalisi yang paling fenomena dalam manuver politik yang dilakukannya dengan menentang berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga mendapat sorotan yang cukup kuat dari sesama penghuni koalisi yang ingin mendapatkan kepastian sikap mereka apakah tetap konsisten untuk menjadi bagian dari koalisi yang seyogyanya harus mendukung setiap kebijakan pemerintah atau keluar dari koalisi yang telah berjalan hampir tiga tahun tersebut.
Kekisruhan ini dimulai sejak kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun rupiah. PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi mendorong terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana talangan yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan klimaks dalam penyelasaiannya.
Tidak berhenti sampai disitu sikap partai koalisi yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah, terakhir pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu april 2012, beberapa partai juga menolak untuk mendukung kebijakan yang dianggap tidak populer tersebut. Meskipun kebanyakan dari mereka menolak dengan cara dan bahasa yang normatif sehingga harga BBM urung dinaikan oleh pemerintah namun berdampak pada munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya. Yang artinya harga BBM bisa saja berubah tiap saat jika harga ICP juga mengalami perubahan.
Namun sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai koalisi dimana meraka justru menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi lain menolak dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan dengan tegas mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai partai berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka ambil mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun jatah kursi dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul manuver politik yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri yang dihuni oleh kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika yang dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul berbagai kebijakan PKS yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai berkuasa, langsung memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu koalisi kepada partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini merupakan partai oposisi, coba kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan barisan pemerintah sembari berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari koalisi. Silaturahmi politik antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut segera digelar untuk mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Namun Prabowo Subianto selaku ketua Partai Gerindra segera menepis anggapan kalau partainya akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Menurutnya, ajakan partai demokrat tidak sampai masuk dalam ranah koalisi partai, namun hanya sebatas pada ajakan kerjasama parlementer saja. Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Syarifuddin Sudding, menyatakan tidak tergiur dengan tawaran partai Demokrat agar Hanura masuk kedalam koalisi.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk mensejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan yang mengacu pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap kebijakan pemerintah.

0 comments:

Posting Komentar