Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Senin, 17 September 2012

Konflik Tanah Yang Tak Kunjung Usai (Opini Analisa)


Konflik Tanah yang Tak Kunjung Usai
Oleh : Eka Azwin Lubis

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Itulah kalimat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dan tujuan dari isi pasal tersebut adalah bahwa setiap rakyat Indonesia berhak untuk menggunakan kekayaan alam yang terdapat didalam bumi Indonesia untuk menjamin kemakmuran hidup mereka melalui pemanfaatan hasil dari kekayaan alam yang ada ditanah Indonesia dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atas segala hal yang meliputi kekayaan tanah dan alam yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah, dimana 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Data ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004. Ini merupakan satu fakta yang menunjukan betapa besar dan luasnya tanah yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, dari jumlah pulau yang mencapai 17.504 buat tersebut, luas total daratan yang dimiliki Indonesia mencapai 1.922.570 km² dimana 1.829. 570 km² merupakan daratan non-air dan 93.000 km² adalah daratan yang berair. Ini merupakan suatu anugrah luar biasa yang diberikan Tuhan kepada Indonesia karena memiliki begitu banyak pulau dan begitu luas daratan sehingga saat ini Indonesia dijuluki sebagai Negara Agraris karena sebahagian besar penduduknya bercocok tanam untuk memanfaatkan lahan yang begitu luas dibumi Indonesia.
Bahkan pada saat Anton Apriantono menjadi Menteri Pertanian di era Kabinet Indonesia Bersatu Pertama Indonesia sempat berpredikat sebagai negara yang berswasembada beras karena mampu memenuhi konsumsi beras lokal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki begitu luas lahan pertanian yang tentunya berada diatas tanah-tanah yang subur. Tidak bisa dipungkiri bahwa tanah Indonesia yang sangat luas memiliki potensial yang luar biasa, sebab selain subur untuk lahan pertanian, begitu banyak kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sehingga pihak asing begitu antusias untuk menjalin MoU kepada pemerintah Indonesia agar dapat memanfaatkan hasil bumi yang ada di Indonesia. Bahkan sejak zama orde lama sudah banyak perusahaan asing yang melakukan investasi untuk mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.
Dari mulai PT. Freeport yang merupakan perusahaan asing milik Amerika Serikat yang mengadu peruntungan dengan membuka tambang emas ditanah Papua yang memiliki kandungan emas cukup banyak. Di Sumatera Utara sendiri ada perusahaan asing yang juga membuka lahan tambang di Indonesia seperti PT. Indonesia Asahan Aluminium ( INALUM ) yang merupakan perusahaan milik Jepang yang didirikan di Kabupaten Batubara untuk memanfaatkan potensi alam yang cukup bagus di Batubara yang memiliki banyak cadangan Aluminium. Dan masih banyak lagi perusahaan asing yang berada di Indonesia terutama didaerah Kalimantan untuk menggarap kekayaan alam yang tersimpan dibawah tanah Indonesia.
Ayam Mati Diatas Lumbung Padi
Lantas bagaimana dengan nasib rakyat Indonesia yang seyogyanya merupakan sang empunya dari seluruh kekayaan yang ada di tanah Indonesia. Agaknya sebuah pepatah diatas cocok untuk menggambarkan kondisi yang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini. Sebab dari sekian banyak pulau dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia seharusnya negara ini mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, minimal hak atas tanah yang merupakan kewajiban negara untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa sesuai isi Pasal 2 ayat 2b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, yang bertujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur, sesuai isi Pasal 3 yang merupakan lanjutan dari Pasal 2 UUPA.
Namun realita yang ada justru berkata lain, sebab hingga saat ini negara belum mampu untuk menyelesaikan berbagai polemik kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang menyangkut tentang masalah pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus Tanah yang ada di Indonesia dan berakhir pada banyaknya korban yang jatuh karena konflik-konflik yang timbul akibat rebutan lahan yang terjadi baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan instansi swasta, maupun masyarakat dengan negara. Ini sungguh merupakan pukulan telak bagi kita dimana saat orang lain terus memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah Indonesia seperti yang dipaparkan diatas, sementara disaat yang sama rakyat Indonesia sendiri yang memang memiliki hak atas tanah-tanah yang dimiliki negara untuk kemakmuran hidupnya justru disibukkan dengan berbagai kasus-kasus rebutan lahan yang seolah tiada hentinya.
Kita masih ingat betul bagaimana konflik kasus program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati berskala luas, Marauke Integrated Food and Energy Estate di Kabupaten Marauke, Papua dimana terjadi konflik antara masyarakat adat dengan 36 Investor yang diantaranya Artha Graha. Medco, dan PT Bangun Tjipta Sarana, yang pada akhirnya pada tangga 3 Oktober 2010 PT Medco dan masyarakat Sanggase berdamai dengan memberi ganti rugi Rp 3 Miliar untuk tanah ulayat seluas 2.800 hektar tersebut. Masih mengenai konflik tanah adat, sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat menimbulkan sedikitnya 200 konflik di Ketapang Sanggau dan Sintang, Kalimantan Barat dikarenakan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar tahun 2010 terdata 550.000 hektar, namun izin yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektar.

Di Sumatera Utara sendiri konflik masalah tanah juga sering terjadi, seperti yang dialami oleh warga disekitar areal pembangunan Bandara Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang dimana lahan yang dipakai untuk proyek pembangunan Bandara yang luasnya 1.365 hektar tersebut, 891,3 hektar di antaranya merupakan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang dilepaskan sejak Oktober 1997. Yang hingga kini masih belum tuntas masalah ganti rugi lahan tersebut, dan masih ada sekitar 44 Kepala Keluarga yang masih bertahan disana karena relokasi yang dijanjikan belum terealisasi hingga kini. Selain kasus tersebut, masih banyak lagi kasus tanah yang ada khususnya di Sumatera Utara. Menurut anggota Komisi A DPRD Sumut, Oloan Simbolon, sejak era reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan tentang sengketa tanah dan sampai saat ini belum ada yang diselesaikan atau dituntaskan.
Bahkan kasus sengketa lahan yang terjadi baru-baru ini di Mesuji, Lampung cukup menyita perhatian publik di Indonesia karena terindikasi akibat kasus tersebut terjadi pelanggaran HAM, walaupun jumlah korban dari kasus tersebut sampai saat ini masih simpang siur. Banyak pihak yang terlibat dalam Tragedi pembantaian ini yang dipicu oleh konflik rebutan lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta yang juga melibatkan pihak keamanan negara. Terlepas dari berapa banyaknya jumlah korban yang ditimbulkan akibat konflik tersebut, hal yang tak kalah penting untuk diungkap adalah mengapa hingga saat ini konflik yang ditimbulkan akibat rebutan lahan masih sering terjadi. Bukankah ini bentuk dari ketidak seriusan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Andai ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus didera masalah serupa. Sebab di Indonesia sendiri sudah berulang kali kasus serupa terjadi tanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Penyebab dari konflik lahan ini sendiri ada banyak hal seperti salah satunya adalah penggusuran yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah tanpa ada relokasi yang jelas untuk pengganti tempat tinggal mereka yang digusur.
Dalam hal penyebab konflik tanah ini, Fia S.Aji (Kanwil BPN Gorontalo) pernah berpendapat bahwa secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain adalah harga tanah yang meningkat dengan cepat, Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya, Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dan pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu solusi yang paling pas untuk mengatasi ini semua adalah pemerintah harus serius dalam memberikan jaminan atas lahan kepada siapa saja yang memiliki hak atas lahan tersebut dan berani bertindak tegas kepada pihak-pihak yang coba mengganggu lahan pertanahan yang ada tanpa ada hak yang dia miliki. Selain itu pemerintah juga harus memiliki transparansi data mengenai Hak atas tanah kepada siapapun agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan yang selama ini menjadi pemicu banyaknya konflik tanah yang terjadi.

Apalagi tanggal 16 Desember 2011 kemarin, Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan RUU Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. RUU inilah yang diharapkan dapat menjadi dasar pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kedepannya. Walaupun pengesahan RUU ini sendiri sempat mendapat protes dari Ketua Fraksi PDIP, Tjahyo Kumolo karena beliau menganggap pemberlakuan Undang-undang tersebut akan terlalu pro kepada investor dan merugikan pemilik lahan. Disini sekali lagi sangat dituntut peran aktif dari pemerintah dalam mengawal berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah agar tidak terjadi perselisihan karena ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dibuat.
Sebab bagaimanapun Negaralah yang memiliki kuasa atas tanah dan berkewajiban untuk memberikan kemakmuran kepada setiap rakyat Indonesia melalui pemanfaatan tanah dan hasil bumi yang terkandung dalam wilayah Indonesia sesuai isi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang juga menjadi kalimat penghantar di atas.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa 29 Desember 2011

0 comments:

Posting Komentar