Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Kamis, 25 Oktober 2012

Medan (Harus) Jadi Simbol Kerukunan Umat Beragama (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis
Konflik horizontal yang diakibatkan perbedaan agama dan keyakinan kerap kali terjadi di Indonesia. Setelah beberapa tahun lalu isu Ahmadiyah begitu hangat diperbincangkan karena menimbulkan konflik diberbagai daerah hingga tak jarang berujung pada jatuhnya korban jiwa, kini muncul kasus baru yang cukup menghentak hati kita karena berakibat pada pembantaian dan pembakaran kampung kaum islam syiah di Sampang Madura yang kembali berakhir pada melayangnya nyawa manusia.
Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa kita memang masih sangat intoleran jika bersentuhan dengan isu perbedaan agama dan keyakinan. Padahal sama-sama kita sadari bahwa meskipun Indonesia terdiri dari mayoritas penduduk yang beragama Islam, namun bukan berarti negara ini merupakan negara Islam. Sebab ada beberapa agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia, dan bahkan agama Islam itu sendiri juga memiliki beberapa golongan layaknya agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia. Sehingga harusnya tidak ada pihak yang merasa paling berhak akan negara ini.
Dari situ dapat kita nilai bahwa konflik yang diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang yang berkaitan dengan kaidah agama, merupakan sesuatu hal yang naif karena terjadi di negara yang plural ini. Apalagi kelompok-kelompok yang bersengketa tersebut telah ada di Indonesia jauh sebelum negara ini merdeka, sehingga para pembawa ajaran setiap kepercayaan dan agama tersebut juga memiliki andil dalam hal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Oleh sebab itu harus kita akui bahwa negara ini lahir tidak hanya berkat perjuangan dari golongan tertentu, namun negara ini dapat merdeka karena persatuan yang digalang oleh berbagai elemen masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang berbeda-beda baik itu suku, agama, keyakinan, dan kita semua harusnya sadar bahwa meskipun kita memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda, namun kita semua memiliki hak-hak yang sama didalam menjalankan kehidupan bernegara terutama dalam hal beragama dan berkeyakinan.
Tidak jelas apa yang menjadi penyebab begitu gampangnya masyarakat kita untuk terprovokasi isu-isu yang berkaitan dengan agama dan mengambil langkah represif dalam menyelesaikannya. Padahal jika kita jernih berfikir, semua agama yang ada didunia ini senantiasa mengajarkan kebaikan dan mencintai perdamaian, sehingga umat yang mengaku beragama juga harus mengamalkan ajaran agama tersebut yang sangat tidak toleran terhadap kekerasan apalagi berujung pada melayangnya nyawa orang secara sia-sia.
Peran pemerintah dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama juga agaknya berjalan nihil sebab konflik demi konflik terus bermunculan silih berganti diberbagai tempat yang dipicu oleh masalah kaidah agama. Andainya selama ini peme rintah bertindak netral terhadap semua masyarakat tanpa melihat latar belakang agama dan keyakinannya, dapat dipastikan konflik seperti ini tidak akan terjadi atau setidaknya dapat diminimalisir.
Namun hal ini tidak berlaku, pemerintah sejauh ini justru pro terhadap kaum mayoritas dan terkesan mengenyampingkan hak-hak kaum minoritas sehingga secara gamblang mereka yang merasa ada dibalik pemerintah terus bertindak sesuka hatinya untuk menyingkirkan hak-hak kaum minoritas. Peran menteri agama yang harusnya menjadi fasilitator semua pihak yang bertikai untuk menemui satu titik kesepakatan agar dapat hidup rukun juga tidak terlihat sama sekali. Menteri agama justru senantiasa mengeluarkan kebijakan kontroversi mengenai perbedaan keyakinan antar umat beragama yang tidak jarang semakin memperkeruh suasana karena ada pihak yang merasa jumawa karena golongannya dianggap benar sementara yang lain dipersalahkan. Ini jelas merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam membina kerukunan umat beragama di Indonesia. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin konflik-konflik antara sesama masyarakat Indonesia yang dipicu oleh isu agama dan keyakinan akan berjalan silih berganti yang nantinya akan menyebabkan perpecahan antara sesama kita.
Medan Harus Menjadi Contoh
Medan sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota nomor tiga terbesar di Indonesia juga dihuni oleh masyarakat yang beragam latar belakang baik itu suku, agama, maupun budaya layaknya kota-kota lain di Indonesia. Stereotipe yang menyatakan Medan adalah kotanya orang Batak juga kerap diyakini terutama bagi mereka yang berada diluar pulau Sumatera. Sementara Batak yang mereka pahami juga hanya satu yakni Batak Toba sebagai Batak yang memiliki marga paling banyak diantara Batak lainnya.
Padahal Medan sendiri didirikan oleh orang Batak Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Kerajaan yang ada di Medan juga bukan kerajaan Batak, namun kerajaan Melayu yang dikenal sebagai Kesultanan Deli yang konon dipimpin oleh raja-raja keturunan Mandailing. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada suku atau kebudayaan yang memiliki dominasi paling banyak di kota Medan karena semuanya punya sejarah masing-masing yang panjang di kota ini.
Hingga saat ini, tidak hanya suku bangsa saja yang beraneka ragam mewarnai kehidupan masyarakat Medan. Namun berbagai agama dan kepercayaan juga tumbuh subur dan hidup damai disini. Islam tetap menjadi agama mayoritas di Medan, namun Kristen baik itu Katholik maupun Protestan juga memiliki penganut yang banyak dan bebas menjalankan syariat agamanya. Selain itu umat Budha dan Konghuchu juga mendapat hak yang sama dalam menjalankan ajaran agamanya dan bebas beribadah sesuai tuntutan agama mereka tanpa ada intervensi apalagi intimidasi dari pihak-pihak lain yang mengganggu kenyamanan mereka dalam beribadah.
Bahkan umat Hindu di kota Medan ini meskipun jumlahnya tidak sebanyak agama yang lainnya, juga mendapat toleransi dari agama lain yang luar biasa hebat sehingga mereka bisa mendirikan kampung yang dikenal dengan nama Kampung Keling sebagai basis komunitas agama tersebut. Selain itu belakangan kita juga mengenal aliran agama Sikh yang muncul dari pecahan agama Hindu dan juga terdapat di kota Medan. Mereka hidup dengan damai dan bebas menjalankan ajaran agamanya dan semua pihak tetap menghormati dan menjaga hak-hak mereka dalam beragama dan berkeyakinan.
Selain itu berbagai golongan yang ada didalam masing-masing agama tersebut juga terdapat di kota Medan. Tentu mereka juga memiliki komunitas yang rutin menjalankan ibadahnya sesuai kepercayaannya, namun satu hal yang perlu mendapat apresiasi adalah mereka tidak pernah merasa terganggu apalagi punya niat untuk mengganggu golongan atau agama lain yang menjalankan syariat agama atau kepercayaannya masing-masing meskipun berbeda dari golongan lainnya. Ini menjadi bukti bahwa Medan harus bisa menjadi contoh dan simbol dari kota yang tetap mengedepankan kerukunan umat beragama karena memiliki masyarakat yang mempunyai nilai toleransi yang cukup tinggi.***


Penulis adalah mahasiswa PKN Unimed dan staf Pusham Unimed.
Sumber : Analisa, 25 Oktober 2012

Senin, 22 Oktober 2012

Ciptakan Damai di Tanah Papua (Opini Medan Bisnis)


Oleh : Eka Azwin Lubis
"Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua...". Sepenggal lirik lagu tersebut menggambarkan pada kita semua bagaimana ciri khas fisik yang dimiliki oleh saudara-saudara kita di ujung timur Indonesia.
Memang fisik saudara-saudara kita di Papua sana sedikit berbeda dengan fisik rakyat Indonesia kebanyakan. Namun hal itulah yang menjadi warna betapa besarnya bangsa Indonesia. Sebab bangsa ini tidak hanya memiliki penghuni dengan beragam suku bangsa dan agama, namun juga warna kulit yang semua itu tetap bisa dipersatukan ke dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Banyak cerita menarik dan fakta unik yang dimiliki oleh saudara-saudara di bumi cendrawasih tersebut. Mulai dari kekayaan alamnya, limpahan hasil laut yang luar biasa, hingga sumber-sumber daya manusianya yang selalu memberi warna dan menambah semangat apabila ada suatu kompetisi baik itu di bidang olah raga maupun ilmu pengetahuan yang membawa nama Indonesia.
Jika ada kejuaraan sepakbola antar negara, pemuda-pemuda Papua selalu menjadi bagian dari tim nasional Indonesia. Sebab pemain-pemain yang akrab dijuluki mutiara hitam itu memang memiliki fisik dan skil individu yang di atas rata-rata dibanding dengan pemain lainnya.
Sehingga apabila pada satu kejuaraan internasional, Timnas kita tidak diperkuat oleh pemain-pemain asal Papua, maka niscaya hasil yang didapat juga jauh dari harapan. Tidak ada hal yang bisa dilepaskan dari kontribusi saudara-saudara di Papua dalam memajukan negara ini. Karena mereka merupakan bagian dari bangsa ini sampai kapanpun.
Namun tanah elok nan religius itu kini berkecambuk lagi. Suasana mencekam penuh ketakutan menghantui hari-hari rakyat Papua semenjak bergejolaknya kerusuhan yang terjadi lagi di negeri mutiara hitam menyusul penembakan-penembakan misterius, pembakaran rumah dan mobil-mobil milik aparat kepolisian yang diduga dilakukan oleh orang yang kecewa terhadap pemerintah Indonesia yang mengabaikan hak-hak dari rakyat Papua dimana banyak rakyat miskin di Papua yang tidak sekolah, kelaparan, dan hak-hak kemanusiaannya seolah dikesampingkan oleh pihak-pihak yang selama ini hanya memanfaatkan hasil bumi dari tanah Papua yang memang diakui sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai ladang tambang.
Pemerintah selama ini terkesan hanya mementingkan kemauan dari investor-investor terutama asing untuk terus menggali kekayaan dari hasil bumi Papua tanpa memperhatikan nasib rakyat Papua yang sangat jauh dari kesejahteraan. Kemiskinan dan kebodohan yang selama ini melekat dengan kehidupan rakyat Papua seakan tidak pernah terjamah oleh mata para penguasa negeri ini maupun para investor yang mencari nafkah di sana. Yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana terus memperkaya diri dengan mengeruk keuntungan dari hasil bumi di Papua tanpa memikirkan nasib penghuninya.
Kita tentu akrab dengan nama PT Freeport, perusahaan tambang milik Amerika Serikat itu merupakan perusahaan yang menggali gunungan emas yang ada di Papua sejak zaman orde baru. Gunungan emas yang saat ini mulai menjadi cekungan kawah namun tetap memiliki kandungan emas, masih terus dimanfaatkan oleh perusahaan tersebut untuk dijadikan lumbung penghasil emas.
Kekayaan tanah Papua ini memang bukan rahasia umum lagi. Begitu potensialnya alam dari provinsi yang berbatasan langsung dengan negara Papua Nugeini tersebut. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kekayaan hasil tambangnya selalu dimanfaatkan oleh investor asing yang kemudian dijadikan oleh negara untuk mendongkrak income kas negara.
Selain tambang, papua juga menyimpan berjuta kekayaan alam yang lainnya. Mulai dari flora dan fauna yang selalu memiliki kekhasan yang berbeda dengan daerah lainnya di nusantara, hasil pertaniannya yang melimpah, hingga biota bawah laut yang luar biasa kaya.
Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah dengan terumbu karang terluas di dunia. Eksotisme alam bawah lautnya menyajikan keindahan yang dianggap wisatawan asing sebagai surganya alam bawah laut. Berjuta biota laut terdapat di sana yang apabila dikelola dan mendapat perhatian dengan baik maka akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat raja ampat karena daerah tersebut akan menjadi tujuan objek wisata kelas dunia.
Unik memang manakala potensial alam tersebut justru lebih mendapat perhatian dari pihak-pihak asing yang begitu mengagungkan kekayaan alam Papua. Namun di saat yang sama pemerintah yang harusnya memiliki tanggung jawab akan hal itu justru terkesan tak acuh dengan apa yang menjadi nilai jual dari bangsa ini yang pastiya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
Suka atau tidak suka, kita harus jujur mengakui bahwa pemerintah Indonesia seolah memandang sebelah mata terhadap hak-hak rakyat Papua. Bahkan mereka terkesan dikesampingkan dibandingkan daerah lainnya. Sehingga wajar apabila rakyat Papua meminta perlakuan khusus kepada pemerintah berupa menjadi daerah yang mendapat predikat Daerah Otonomi Khusus demi menyeimbangkan diri terhadap daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun sekali  lagi das sollen but das sein ( harapan dan kenyataan ) tidak berjalan secara seimbang. Sebab realita yang terjadi justru berkata lain. Diskriminsai berulang kali terjadi di Papua, hak-hak mereka terabaikan. Bahkan pembangunan tidak merata di semua sektor kehidupan. Praktis hanya Ibukota Jayapura dan beberapa daerah saja seperti Marauke dan Manokwari yang mendapat sedikit kemajuan.
Sedangkan daerah lain yang letaknya secara geografis jauh dari kota seolah tidak terjamah oleh mata para penguasa negeri. Sebut saja daerah seperti Wamena dan Raja Ampat yang berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini, kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Jangankan pusat perbelanjaan yang modern seperti di ibukota, angkutan umum saja sangat sulit dijumpai di daerah tersebut.
Keadaan seperti inilah yang memicu munculnya kelompok separatis yang berniat memisahkan diri dengan Indonesia. Jika kita adil dalam berfikir, kelompok tersebut tidak akan berniat memerdekakan diri apabila kesehateraan hidup mereka memang dijamin oleh pemerintah.
Mereka memberontak karena mereka merasa kekayaan alam yang daerah mereka miliki sangat tidak sesuai dengan keadaan ekonomi yang mereka jalani. Sehingga hal yang wajar apabila mereka ingin memisahkan diri dari belenggu penindasan meskipun hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Pemerintah harusnya sadar, hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan konflik di Papua yakni dengan cara memberikan perhatian yang sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan.
Jangan ada lagi diskriminasi terhadap saudara-saudara di Papua apa lagi sampai mengebiri hak-hak mereka. Apabila penyelesaian konflik di Papua dengan cara kekerasan, maka hal itu merupakan satu tindakan keliru.
Sebab hanya satu hal yang mereka tuntut yakni keadilan. Namun apabila keadilan yang mereka tuntut dijawab dengan kekerasan, maka konflik horizontal yang tak berkesudahanlah yang akan terus terjadi.
Pemerintah harusnya cerdas dalam menyikapi hal ini. Pendekatan terhadap kepala-kepala adat atau suku merupakan jalan paling efektif untuk menciptakan damai di Papua. Karena sesungguhnya rakyat Papua juga cinta dialog layaknya bangsa Indonesia pada umumnya.
Hilangkan diskriminasi, berikan apa-apa yang menjadi hak rakyat Papua, hentikan eksploitasi alam secara global, maka hal itulah yang akan membuat tanah cendrawasih kembali damai.


Penulis adalah mahasiswa PKn Unimed dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Medan Bisnis, 23 Oktober 2012

Kamis, 18 Oktober 2012

Pesawat Jatuh, Wartawan Jadi Korban (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis.
Jatuhnya pesawat tempur TNI AU jenis Hawk 200 di Jalan Amal, Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar Riau, memperpanjang catatan buruk dunia penerbangan kita. Meski tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini cukup menyita perhatian publik. Apalagi tercatat sejak tahun 2008 saja sudah terjadi 5 kali kecelakaan pesawat milik TNI.
Persitiwa jatuhnya pesawat Hercules C-130 A-1325 yang berawak 14 orang dan membawa 98 penumpang di desa Keplak, Kabupaten Madiun, pada Mei tahun 2009 lalu menjadi tragedi terakhir kecelakaan dunia penerbangan TNI sebelum jatuhnya pesawat Hawk 200 selasa lalu. Ini harusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah dalam memperhatikan berbagai infrastruktur TNI yang merupakan garda terdepan dalam mengawal kedaulatan Negara. Sebab apabila hal ini terus dibiarkan, maka hal-hal yang tidak kita inginkan akan terus berulang seperti yang kemarin terjadi.
Namun ada satu peristiwa yang juga cukup mencengangkan akibat jatuhnya pesawat Hawk 200 ini. Ada beberapa wartawan yang coba meliput persitiwa jatuhnya pesawat ini namun justru mendapat tindakan represif dari pihak TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru.
Mereka mengaku telah dianiaya oleh seorang oknum yang merasa keberatan atas tindakan mereka yang meliput kejadian jatuhnya pesawat tersebut sehingga oknum TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru yang belakangan diketahui berpangkat Letkol tersebut melakukan pemukulan dan mencekik leher wartawan. Didik Herwanto yang merupakan seorang pewarta foto Riau Pos, menjadi korban penganiayaan anggota TNI AU tersebut saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200.
Selain dianiaya, tampak dari beberapa gambar yang sempat didokumentasikan oleh sesama wartawan, kamera yang dipegang oleh didik juga diambil oleh oknum TNI AU yang lain. Tidak hanya didik yang mendapatkan prilaku tidak menyenangkan tersebut, beberapa wartawan lain seperti Febrianto B Anggoro dari Kantor Berita Antara Riau, Ari dari TV One, Dewo dari Riau channel dan dua wartawan dari Riau TV, juga sempat mendapatkan penganiayaan.
Pihak TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru mengatakan bahwa tindakan personilnya tersebut memang tidak bisa dibenarkan, namun satu hal yang menjadi alasan bagi oknum yang melakukan tindakan penganiayaan tersebut adalah mereka ingin tempat kejadian jatuhnya pesawat harus steril hingga situasi benar-benar aman, karena apabila terlalu banyak orang termasuk wartawan yang coba mendekat dan ingin mendokumentasikan peristiwa tersebut, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang benar apa yang menjadi alasan dari dilarangnya masyarakat termasuk wartawan yang mencoba mendekati bangkai pesawat yang baru jatuh, namun yang disayangkan adalah bagaimana cara oknum tersebut yang pada akhirnya memicu protes dari berbagai kalangan termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang mengecam keras kekerasan dan perampasan kamera yang dilakukan aparat TNI AU terhadap jurnalis yang sedang melakukan peliputan berita.
Sebab hal ini semakin memperpanjang kisah penganiayaan terhadap wartawan saat meliput berita. Pada tahun 2012 ini saja menurut LBH pers sudah terdapat 46 kasus kekerasan terhadap wartawan yang diantaranya terdiri dari 23 kekerasan fisik, dan 22 kekerasan nonfisik.
Sebelumnya ada dua wartawan dari Harian Kompas dan Harian Mercusuar yang sedang memotret antrean kendaraan di salah satu SPBU dikota Morowali, justru dipukuli oleh masyarakat. Lalu kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Batam, dimana seorang anggota TNI berseragam loreng mengintimidasi dan merampas kamera wartawan yang juga sedang meliput antrean di sebuah SPBU. Sedangkan di Lampung, wartawan harian Bongkar dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Lampung Utara ketika wartawan tersebut berusaha mengkonfirmasi dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat tersebut.
Selain itu kita tentu masih ingat bagaimana kisah tidak kalah tragis yang menimpah beberapa wartawan di Padang, Sumbar. Ketika itu beberapa wartawan Sindo TV/RCTI, Metro TV, SCTV, Favorit TV dan harian Padang Ekspres sedang meliput pembongkaran puluhan bangunan liar yang diduga menjadi lokasi prostitusi di kawasan pantai Bungus oleh Satpol PP dan warga setempat. Namun ketika mereka selesai meliput berita dan hendak kembali kekota, mereka justru mengalami intimidasi, pemukulan, dan perampasan kamera yang dilakukan oleh TNI angkatan laut.
Lalu apakah wartawan memang tidak boleh meliput berbagai hal yang sudah menjadi bagian dari kewajiban mereka sebagai pencari berita. Harusnya kita menyadari bahwa sudah tidak zamannya lagi tindakan kekerasan harus digunakan dalam menghadapi setiap masalah. Sebab dikhawatirkan image TNI akan kembali buruk di mata masyarakat menyusul peristiwa tersebut. Apalagi menurut Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, hal ini jelas merupakan kampanye buruk RUU Keamanan Nasional.
Ditambah lagi jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan tugas pokok dari TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sehingga harusnya TNI justru menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan Negara dari berbagai ancaman yang mengganggu stabilitas keutuhan NKRI, bukan malah menjadi oknum yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Semoga saja apa yang terjadi kemarin dapat menjadi bahan introspeksi diri bagi kita semua agar kita tetap berada dalam koridor-koridor tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga kedepannya diharapkan tidak ada lagi peristiwa seperti ini. Jaya TNI, Bravo Wartawan.***

Penulis adalah Mahasiswa PKn Unimed dan Staf Pusham Unimed 

Sumber : Analisa, 19 Oktober 1992