Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Jumat, 13 September 2013

Munir : Semangat Hidup (Opini Galamedia)

Oleh : EKA AZWIN LUBIS
Ku bisa tenggelam di lautan,
Aku bisa diracun di udara,
Aku bisa terbunuh di troto jalan...
Tapi aku tak pernah mati,
Tak akan berhenti...


SEPENGGAL lirik lagu "Efek Rumah Kaca" tersebut merupakan gambaran bagaimana kisah perjuangan hidup seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib yang tewas dibunuh saat hendak melanjutkan studi ke Belanda. Dari sepenggal lirik lagu tersebut dapat kita lihat bagaimana dahsyatnya intimidasi yang harus dihadapi Munir sebagai seorang yang ingin memperjuangkan hak setiap manusia namun justru berujung pada kematian tragis akibat diracun dalam pesawat yang ditumpanginya ke Belanda.

Munir merupakan seorang aktivis HAM kelahiran Kota Batu, Malang, 47 tahun silam. Alumni Universitas Brawijaya Malang dan merupakan seorang keturunan arab ini adalah sosok pemberani yang memiliki jiwa sosial cukup tinggi terutama yang menyangkut hak-hak fundamental manusia. Sejak duduk dibangku kuliah, beliau aktif di organisasi HMI yang kemudian memperkaya wawasan berpikirnya dan ikut bergabung menjadi ralawan di LBH Surabaya dan semakin mendekatkan dirinya pada nasib rakyat-rakyat kecil yang haknya kerap diabaikan oleh pemerintah.

Setelah tamat kuliah, Munir diangkat menjadi Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya pada tahun 1992 hingga 1993. Pada tahun 1998 Munir mendirikan Kontras yang kemudian membuatnya semakin melebarkan sayap untuk memperjuangkan hak-hak manusia yang diabaikan oleh negara. Seiring didirikannya Kontras, semakin banyak pula kasus-kasus pelanggaran HAM yang ia perjuangkan, antara lain kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta saat pergolakan menolak rezim Orde Baru antara tahun 1997 sampai 1998, kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984 yang ia advokasi sejak 1998, kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II tahun 1998 sampai 1999, serta berperan aktif sebagai anggota komisi penyelidikan pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999, penggagas komisi perdamaian dan rekonsiliasi di Maluku, dan menjadi advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua.

Kasus yang Hilang Ditelan Waktu

Mei 2004, Munir mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 Hukum Humaniter di Belanda yang disponsori oleh ICCO dan harus berangkat bulan September tahun yang sama. Menjelang keberangkatannya kenegara Marco Van Baten tersebut, berbagai acara perpisahan dilakukan oleh sahabat-sahabat dan para korban pelanggaran HAM yang pernah merasakan jasanya baik itu ketika beliau bekerjadi LBH, Imparsial, maupun lembaga yang ia dirikan sendiri yakni Kontras. Pesan, kesan, dan semangat dari sahabat, keluarga serta korban pelanggaran HAM menemani keberangkatannya menuju Belanda.

Ketika berada dalam pesawat, Munir bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang kebetulan sedang tidak bertugas dan menawarkannya untuk duduk di kelas bisnis meskipun dalam tiket milik Munir berada di kelas ekonomi. Setelah ngobrol dengan Pollycarpus, munir dan penumpang lainnya ditawari minuman pembuka oleh pramugari pesawat, dan Munir pun memilih untuk minum jus jeruk.

Pesawat yang mereka tumpangi transit di Singapura sebelum melanjutkan penerbangan ke Belanda. Saat berada di Singapura, Pollycarpus turun karena tujuannya hanya sampai di sana. Setelah melakukan penerbangan dari Singapura menuju Belanda, perut Munir mulai sakit yang membuatnya berulang-ulang keluar masuk toilet sehingga beliau lemas serta kehabisan tenaga hingga akhirnya mengembuskan nafas terakhir di dalam pesawat tersebut.

Dokter yang mengaotopsi jenazah Munir menemukan senyawa arsenik dalam kandungan minuman dan makanan yang disajikan oleh pramugari yang diketahui atas suruhan Pollycarpus agar sosok Munir yang senantiasa mengkritik pemerintah dapat diam dengan cara dibunuh.

Belakangan titik terang tentang siapadalang yang menyuruh Polly membunuh Munir mulai terungkap dengan terseretnya nama Mayjen (purn) Muchdi PR. Namun pada tahun 2008, Muchdi justru divonis bebas oleh majelis hakim dengan alasan tidak cukup bukti atas keterlibatannya dalam kasus tersebut. Tentu saja keputusan ini sangat kontroversial, namun itulah wajah hukum di Indonesia karena segalanya bisa direkayasa sehingga tidak menghilangkan bekas sama sekali layaknya kasus Munir yang hingga kini bagai hilang ditelan waktu.

Kini sembilan tahun sudah Munir meninggalkan kita, namun cita-cita mulia Munir untuk memperjuangkan hak asasi setiap manusia tetap harus diteruskan demi terlindunginya hak setiap manusia, sebab meskipun Munir telah tiada, namun semangat perjuangannnya tidak boleh juga ikut mati.
(Staf Pusat Studi HAM Unimed)**

Rabu, 04 September 2013

Medan dan Dampak Metropolitan (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin LubisSebagai salah satu kota metropolitan dan berstatus kota terbesar nomor tiga di Indonesia, Kota Medan kerap diwarnai dengan suasana kemacetan lalu lintas yang hingga kini belum bisa ditemui solusinya. Beragam faktor penyebab kemacetan yang terjadi di kota Medan, mulai dari sempitnya jalan, padatnya kendaraan yang melintas, pedagang yang berjualan di bahu jalan, hingga minimnya kesadaran masyarakat dalam memarkirkan kendaraan sesuai tempatnya sehingga banyak kendaraan yang justru parkir disepanjang bahu jalan.

Jika kita bahas satu persatu penyebab kesemrawutan lalu lintas di kota Medan ini, tentu kita akan menemukan banyak kejanggalan karena pada dasarnya semua penyebab ketidakteraturan lalu lintas ini sudah memiliki aturan masing-masing namun belum sampai pada tahap implementasi secara matang.

Sempitnya badan jalan agaknya bukan sesuatu yang rasional menjadi penyebab kemacetan di kota Medan mengingat ibu kota Sumatera Utara ini adalah salah satu wilayah dengan predikat pembangunan yang cukup baik, apalagi status kota metropolitan harusnya membuat pemerintah kota sadar untuk berbenah diri demi memenuhi kapasitas kota metropolitan yang sesuai standar, namun tidak bisa dipungkiri bahwa itulah realita yang terjadi saat ini.

Banyak kita temui jalanan kota Medan yang belum sesuai untuk dikategorikan layak sebab ukurannya yang sangat sempit. Jika kita melintas di kawasan Sukaramai hingga simpang Jalan Bromo, pasti akan memakan waktu yang sangat lama karena ketersediaan ukuran jalan tidak sesuai dengan kuantitas kendaraan yang melintas. Itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa jalan tersebut belum sesuai standar karena ukuranya yang sangat sempit.

Selain sempitnya jalan, yang menjadi penyebab kemacetan di kota Medan tentu banyaknya jumlah kendaraan yang berlalu lalang hingga menyebabkan padatnya lalu lintas. Sama seperti di kota-kota besar lain, faktor kuantitas kendaraan sangat berdampak pada sistem lalu lintas di kota Medan. Masyarakat kalangan menengah keatas cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ketimbang menggunakan jasa angkutan umum yang jumlahnya juga tidak kalah banyak dibanding kendaraan pribadi.

Kita bisa bayangkan jika banyaknya trayek kendaraan umum yang beroperasi ditambah dengan kendaraan pribadi yang terus menerus meningkat jumlahnya, namun tidak didukung dengan ketersediaan jalan yang memadai, semakin memperburuk suasana lalu lintas di Medan.

Minimnya kesadaran masyarakat dalam berkendara juga menjadi penyebab utama buruknya lalu lintas di Medan. Jika supir-supir angkutan umum memiliki mental yang jelek dalam mengemudikan kendaraannya demi mendapat penumpang yang maksimal, mental para pengemudi kendaraan pribadi juga tidak kalah jeleknya dibanding supir-supir angkutan umum tadi karena kerap memarkirkan kendaraan sesuka hati mereka. Jalanan yang sempit ditambah dengan jumlah kendaraan yang banyak, semakin semrawut karena sebagian bahu jalan justru dimanfaatkan sebagai lahan parkir oleh oknum-oknum yang memiliki kendaraan mewah namun berprilaku primitif.

Yang tidak kalah urgen penyebab kemacetan di kota Medan adalah penggunaan bahu jalan sebagai wadah untuk berjualan para pedagang kaki lima yang semakin hari semakin tidak kebagian lahan untuk menjajakan barang dagangannya. Kurang adil kiranya jika kita harus menumpukan kesalahan kepada para pedagang yang menggunakan bahu jalan untuk berjualan sebagai penyebab kemacetan yang ada. Mereka tidak punya pilihan lapak lain untuk menggelar dagangan jika tidak di bahu jalan yang ada karena pemerintah kota tidak menyediakan tempat yang sesuai untuk mereka.

Lagi-lagi saya akan mengambil contoh di kawasan Sukaramai untuk membuktikan fenomena pedagang yang berjualan di sepanjang bahu jalan. Semenjak terbakarnya pasar Sukaramai, pemerintah kota hingga kini belum merelokasi tempat mereka untuk berdagang sehingga satu-satunya alternatif yang mereka lakukan untuk terus menyambung hidup adalah menggelar barang dagangannya di bahu Jalan Sukaramai. Tentu saja ketidakpedulian dari pemerintah kota atas semua hal ini menjadi penyebab semrawutnya lalu lintas di kota Medan. 

Polisi yang Dibenci Namun Dicari

Polisi lalu lintas (Polantas) memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengatasi kesemrawutan lalu lintas. Kemacetan yang terjadi akibat ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keadaan lalu lintas di kota Medan agaknya bisa sedikit diminimalisir dengan optimalnya peran aparat kepolisian khususnya mereka yang berada di satuan lalu lintas. 

Kita acapkali melihat korps baju cokelat ini rela berpanas-panasan untuk mengurai kemacetan yang terjadi, bahkan tidak jarang pula apabila hujan datang, mereka yang memiliki tanggung jawab agar tertibnya lalu lintas, rela bergumul dengan hujan dan hanya berbekal jas hujan untuk terus melayani masyarakat agar kemacetan tidak terjadi, bahkan sering padamnya traffic light di kota Medan juga seakan tidak menjadi kendala yang berarti jika para polantas sudah turun dan mengatur lalu lintas agar tetap tertib. 

Namun ada satu catatan tentang peran para aparat kepolisian yang berada dalam satuan lalu lintas. Jasa yang sudah ditorehkan dan mendapat apresiasi dari banyak pihak tersebut jangan sampai pupus karena ulah segelintir oknum nakal yang kerap memanfaatkan perannya di satuan lalu lintas untuk mencari uang tambahan dengan cara-cara ilegal. 

Memang benar Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas mengatur cara berlalu lintas hingga sanksi yang diberikan kepada para pelanggar lalu lintas yang berkendara tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Persoalannya adalah kita kerap menemui oknum-oknum nakal tadi justru beroperasi tidak sesuai dengan aturan yang ada sehingga uang yang didapat dari pelanggar lalu lintas justru masuk ke kantong pribadi.

Bahkan hal yang lebih naïf adalah ketika mereka justru terkesan mencari-cari kesalahan dari pengendara yang kebetulan melintas di dekat mereka, dengan seketika mereka memberhentikan sang pengendara dan meminta kelengkapan surat tanda nomor kendaraan dan surat izin mengemudi, jika semua sudah terpenuhi dan tidak ditemukan kesalahan dari pengendara, maka jurus ngeles dari oknum nakal ini segera dilancarkan, seperti menuding pengendara telah melanggar traffic light yang jelas-jelas tidak dilakukan oleh pengendara. 

Peradilan ala damai di tempatpun tidak bisa dihindarkan dan disinilah terjadi kesalahan yang tanpa disadari telah melunturkan peran polisi yang memiliki jasa besar dalam berlalu lintas masyarakat. 

Semoga kita semua paham bahwa kesadaran berkendara akan membawa dampak dari sehatnya lalu lintas yang terjadi di kota Medan, dan semoga oknum-oknum polantas nakal dapat segera manyadari bahwa uang yang mereka dapat dari hasil menilang tanpa prosedur yang jelas tidak akan membawa berkah apalagi untuk dijadikan nafkah keluarga.***

Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

"Menteri Kok Nggak Hafal Indonesia Raya?" (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin Lubis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita semua pasti sudah dikenalkan dengan identitas bangsa mulai dari nama ibukota negara, nama-nama pahlawan, isi dasar negara pancasila, arti semboyan bhineka tunggal ika, hingga lagu Indonesia Raya yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia agar terciptanya nilai nasionalisme dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia sejak belia.

Ada pepatah klasik yang menyatakan bahwa lancar kaji karena diulang, agaknya hal tersebutlah yang menjadi pedoman guru-guru dan para orang tua kita dahulu untuk menanamkan nilai nasionalisme kepada anaknya sehingga kerap mengulang-ulang setiap apa yang berkaitan dengan identitas bangsa agar tidak keliru apalagi lupa dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari.

Hal ini tentu wajar mengingat apa yang telah diperjuangkan oleh para pahawan bangsa dalam merebut kemerdekaan dan menciptakan berbagai simbol-simbol negara untuk menjadi pembeda antara Indonesia sebagai negara yang majemuk namun tetap memiliki jati diri sebagai negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dengan negara lain di dunia, sehingga apa yang telah mereka perjuangkan dan ciptakan harus terus diamalkan oleh seluruh generasi penerus bangsa.

Namun ada satu hal yang unik terkait urgennya menghafal dan menghayati berbagai identitas bangsa yang sarat akan pesan moral dan makna tersebut karena di balik begitu gigihnya para guru kita dalam mengajari setiap anak didiknya di sekolah dasar untuk menghafal semua hal yang berkaitan dengan identitas bangsa seperti semboyan, dasar negara, pembukaan undang-undang dasar, hingga lagu kebangsaan.Ternyata hal tersebut terkesan menggelikan karena seorang Menteri di negara yang besar ini justru tidak hafal dengan pasti lagu Indonesia raya yang dahulu begitu dirindukan oleh seluruh pejuang bangsa untuk dapat dikumandangkan sembari berkibarnya sang saka merah putih.

Fenomena konyol ini terjadi saat laga sepakbola Liga Super Indonesia (LSI) antara Persib Bandung berhadapan dengan Persija Jakarta di stadion Maguwoharjo, Sleman (28/8) kemarin.

Laga yang sarat kontroversi karena kerap memicu bentrokan antara supporter kedua tim ini dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo. Awalnya Roy Suryo hadir untuk mengundang terciptanya kedamaian antara bobotoh dan the jak yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan, namun menjelang ditiupnya pluit kick off babak pertama dimulai, mantan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat ini diminta oleh panitia pelaksana pertandingan untuk memimpin lagu Indonesia raya.

Entah dengan dorongan semangat atau faktor keterpaksaan karena kewajiban sebagai pejabat negara, Roy Suryo memenuhi permintaan tersebut dan langsung memimpin semua orang yang ada di stadion termasuk pemain kedua tim untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Sial bagi kita seluruh rakyat Indonesia, ternyata seorang menteri yang berpredikat sebagai pakar telematika tersebut tidak hafal secara utuh lagu Indonesia raya yang kerap kita nyanyikan sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Tentu sesuatu yang miris sekaligus memalukan melihat hal ini dapat terjadi, sebab jika kita menarik nalar kewajaran dimana setiap manusia pasti memiliki kekhilafan yang barang kali menimpa roy suryo saat memimpin lagu Indonesia raya kemarin, agaknya itu tidak bisa diterima dengan rasional mengingat doktrin yang sudah kita semua terima sejak kecil bahwa lagu kebangsaan harus dihafal mati dan kerap dikumandangkan setiap kali ada upacara nasional.

Lebih dari itu, jika Roy Suryo memang seorang yang profesional, tentu dia telah mempersiapkan secara matang segala hal agar tidak mempermalukan dirinya dan seluruh bangsa Indonesia meskipun dengan waktu yang relatif singkat.

Lalu apakah tidak adil jika kita mengambil kesimpulan dini bahwa itulah bentuk anggap enteng seseorang terhadap suatu simbol negara yang sejatinya begitu sakral karena penuh perjuangan dalam menciptakannya dan menjadi wibawa tersendiri bagi bangsa Indonesia di mata dunia.

Patriotisme Semu

Kita selalu dituntut untuk memiliki jiwa patriot sebagai wujud loyaitas kita terhadap negara ini dan sebagai upaya menimbulkan rasa bela negara yang tidak boleh terkikis sampai kapanpun, namun para petinggi negara yang konon selalu melekatkan dirinya sebagai sosok yang mampu mengayomi dan memberi contoh kepada seluruh rakyat Indonesia yang majemuk ini justru menyepelekan hal-hal penting seperti yang dilakukan oleh Roy Suryo.

Sebelumnya kita juga pernah menyaksikan Megawati yang sedang melakukan debat kandidat untuk menjadi presiden Indonesia tahun 2009 lalu yang salah menyebutkan letak teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan penuh keyakinan megawati memaparkan visi dan misinya dalam memimpin negara ini jika terpilih menjadi presiden ke depannya. Beliau menyatakan sebagai negara yang besar dan memiliki posisi yang strategis karena diapit oleh dua  samudera hindia dan pasifik serta dua benua asia dan amerika, Indonesia dapat menjadi roda perekonomian dunia.

Tentu dengan seketika penjelasan megawati ini mengundang bahak tawa dari semua orang yang menyaksikan acara tersebut karena dia yang punya ambisi untuk memimpin negara ini justru tidak mengerti keadaan Indonesia secara utuh, apalagi hal tersebut tergolong sangat sepele.

Banyak lagi hal-hal memalukan terkait tidak hafalnya para pejabat negara dengan identitas bangsa. Setiap menjelang hari besar nasional seperti sumpah pemuda, pasti akan ada tayangan yang memperlihatkan wawancara kepada beberapa anggota DPR sembari mempertanyakan perihal isi dari sumpah pemuda tersebut. Dengan suara lantang layaknya wakil rakyat yang harus ditiru oleh rakyatnya, mereka menyebutkan satu persatu isi sumpah pemuda secara berantakan yang tanpa disadari telah menelanjangi harga dirinya sendiri karena mempertontonkan kebodohannya di mata publik.

Semoga kita semua dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh Roy Suryo dan tokoh negara lain yang memiliki pengetahuan dangkal terkait identitas bangsa bahwa menyepelekan suatu hal urgen akan memperlihatkan kapasitasnya sebagai pejabat negara yang tidak pantas untuk menjadi contoh apalagi teladan.***

Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Peserta PPL di SMP Karya Serdang Lubuk Pakam.

Rabu, 14 Agustus 2013

Fenomena Mudik dan Proyek Perbaikan Jalan (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis. Bulan suci Ramadhan tinggal hitungan hari lagi akan berakhir. Seiring dengan berakhirnya bulan dimana umat Islam yang beriman dituntut untuk memperbanyak amal ibadah demi meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, maka hari kemenangan datang sebagai momentum bagi kita yang telah berhasil mengalahkan hawa nafsu yang pada hakikatnya merupakan musuh terbesar bagi umat manusia dalam hidup. 

Hari Raya Idul Fitri merupakan saat yang paling dinantikan karena seluruh faedah yang menjadi capaian umat Islam yang beriman selama bulan Ramadhan tergantikan dengan kemeriahan hari kemenangan. Khusus di Indonesia, ada banyak tradisi unik yang tidak terdapat di negara lain terkait perayaan hari Raya Idul Fitri. Bersilaturahmi atau yang kerap disebut dengan halal bi halal kepada seluruh sanak saudara dan kaum kerabat adalah salah satu bentuk agenda wajib yang selalu dilakukan saat hari Raya Idul Fitri.

Halal bi halal dimanfaatkan bagi umat Islam sebagai ajang untuk saling bermaaf-maafan atas segala kesalahan yang pernah diperbuat agar kita kembali suci dan bersih layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan sesuai makna dari Idul Fitri itu sendiri yakni kembali suci. Segala bentuk dinamika negatif yang selama ini menemani kehidupan masyarakat seolah terhapus seiring moment saling berjabat tangan antara satu manusia dengan manusia lainnya sembari menuturkan rasa maaf dan berintrospeksi diri agar silaturahmi dapat terus terjaga.

Tentu ajang silaturahmi yang paling afdol dilakukan dengan cara bertatap muka dan saling berjabat tangan sehingga maaf-memaafkan yang dihaturkan dapat dilakukan secara langsung. Untuk dapat mengaktualisasikan moment tersebut, maka disinilah tradisi mudik menjadi hal urgen yang jarang untuk dilewatkan. 

Mudik (pulang ke kampung halaman) merupakan budaya yang juga hanya terdapat di Indonesia saat hari Raya Idul Fitri berlangsung. Mereka yang umumnya selama ini hidup di perantauan dan jauh dari sanak keluarga di kampung halaman sangat menunggu waktu mudik ketika lebaran untuk bisa merayakan megahnya hari kemenangan bersama seraya dapat saling bersilaturahmi dengan seluruh handai tolan.

Jauh-jauh hari sebelum hari Raya Idul Fitri datang, gegap gempita terkait mudiknya masyarakat Indonesia ke kampung halamannya masing-masing sudah terasa. Seluruh media transportasi mulai diserbu oleh masyarakat yang tidak ingin kehabisan tiket saat hendak mudik lebaran, mulai dari kereta api yang menjadi sarana transportasi paling merakyat, bus, kapal laut, hingga pesawat terbang tak luput dari serbuan para pemudik. Perusahaan-perusahaan penyedia jasa mudik baik yang dikelola swasta maupun negara, seketika juga menambah armadanya agar dapat melayani semua calon pemudik dengan maksimal.

Ada satu perspektif yang mengakar dalam masyarakat Indonesia bahwa lebaran dengan berkumpul bersama sanak keluarga akan terasa lebih afdol dibandingkan jika berlebaran hanya dilakukan seorang diri atau dalam komunitas yang lebih kecil, sehingga mudik menjadi satu momentum yang seolah wajib dilakukan setiap tahunnya demi tercapainya keafdolan berlebaran di kampung halaman. 

Mudik yang dilakukan juga beragam caranya, mulai dari pulang secara sendiri-sendiri maupun pulang kampung secara massal dengan harapan kebersamaan selama perjalanan mudik dengan sesama perantau akan menambah wadah silaturahami diantara semua insan manusia. Sungguh satu tradisi yang sangat kental mengakar di tengah kehidupan umat Islam di Indonesia meskipun kita barang kali tidak mengerti sejak kapan budaya yang sesungguhnya tidak diatur dalam agama ini mulai dilakukan oleh masyarakat Indonesia mengingat tidak ada negara lain yang melakukan hal serupa meskipun memiliki banyak penduduk yang beragama Islam.

Ajang Pemanfaatan

Dalam suasana kemeriahan mudik pada saat lebaran ini, ada satu kejanggalan yang kerap menjadi pertanyaan bagi kita semua terkait perbaikan jalan lintas yang digunakan para pemudik untuk pulang ke kampung halaman. 

Setiap tahun menjelang Idul Fitri dan ketika hiruk pikuk mudik mulai bergema, maka pemerintah juga mulai melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki jalan lintas agar dapat digunakan dengan baik selama perjalanan mudik berlangsung. Pada dasarnya hal tersebut terlihat wajar mengingat sudah sepatutnya pemerintah menyedikan infrastruktur bagi warga negara dengan baik sehingga dapat digunakan secara maksimal.

Persoalan muncul manakala hal ini terus menerus dilakukan setiap tahun tanpa ada henti-hentinya. Seakan menjadi agenda wajib layaknya mudik lebaran, perbaikan jalan ini ternyata merupakan ajang mencari makan bagi orang-orang yang kerap memanfaatkan berbagai situasi demi terpenuhinya kas pribadi termasuk saat fenomena mudik berlangsung.

Betapa tidak, jika kita berfikir dengan akal sehat, perbaikan jalan apabila dilakukan dengan maksimal dan menggunakan berbagai bahan yang benar-benar sesuai kualitas agar dapat tahan lama, maka tidak perlu mendapat perbaikan setiap tahunnya karena sudah dapat digunakan sesuai standar operasional.

Tapi inilah Indonesia, dengan beragam keunikan dalam fenomena sosialnya, masih banyak terdapat oknum-oknum rakus yang terus memanfaatkan proyek perbaikan jalan dengan dalih optimalisasi infrastruktur jalan raya saat mudik berlangsung. Butuh ketegasan dalam hal ini agar proyek perbaikan jalan tidak menjadi ajang manfaat demi mendulang keuntungan pribadi semata.

Alangkah lebih afdol segala bentuk sifat tamak dan rakus dapat lenyap seiring datangnya hari kemenangan nanti, sebab semua akan terkesan sia-sia ketika apa yang telah kita lakukan selama bulan suci Ramadhan dalam rangka meningkatkan amal ibadah kepada Allah apabila sifat rakus masih setia menempel pada diri.

Minal Aidin Wal Faidzin.***

Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

Artikel dimuat pada: 07 Aug 2013

Jumat, 26 Juli 2013

Negara Abai Hak Narapidana (Opini Pontianak Post)



Oleh : Eka Azwin Lubis
Menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Narapidana adalah Terpidana yang Menjalani Pidana Hilang Kemerdekaan di LAPAS.  Meski berada dalam tahanan, bukan berarti narapidana tidak punya hak yang harus dijaga dan dihormati oleh setiap orang, sebab pada dasarnya semua narapidana yang ditahan karena melakukan tindak kejahatan merupakan manusia yang memiliki hak serta kewajiban sama di mata hukum sehingga tidak dapat dinafikan oleh siapapun dengan alasan status mereka yang seorang narapidana.
Pesoalan muncul manakala perspektif yang terbangun adalah setiap orang yang berstatus narapidana tidak layak untuk mendapatkan haknya secara utuh karena dia telah melanggar hak orang lain. Kerancuan berfikir inilah yang kemudian diamini oleh tindakan hukum yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban dengan melakukan tindakan sesuka hati meraka terhadap narapidana.
Kasus yang paling hangat terkait keterancaman hak-hak narapidana selama menjalani masa tahanan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan ketika para narapidana ramai-ramai membakar lapas karena tidak adanya ketersediaan air dan listrik kepada mereka. Tentu permasalahan pembakaran lapas yang berakibat tewasnya 5 orang napi dan sipir serta kaburnya ratusan napi ini tidak hanya bermotif seperti yang dijelaskan di atas saja, ada permasalahan kompleks lain yang mendasari aksi brutal para napi yang kemudian membuat dunia hukum Indonesia tersontak atas apa yang terjadi di salah satu lapas terbesar di Indonesia ini.
Pengawasan yang super ketat dari para sipir lapas seolah tidak mampu meredam amukan napi yang merasa jengah dengan tindakan yang mereka alami sehingga muncul inisiatif untuk menyusun scenario yang berujung pada pembakaran lapas dan kaburnya ratusan napi dari tanjung gusta.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan bahwa kasus ini terjadi akibat over kapasitas di dalam lapas tanjung gusta. Lapas yang hanya mampu menapung sekitar seribu napi tersebut justru dihuni oleh sekitar 2500an napi. Minimnya ketersediaan tempat merupakan penyebab over kapasitas ini, sehingga suka atau tidak suka tempat yang ada harus dimaksimalkan untuk menampung para pelaku tindak kejahatan yang semakin hari jumlahnya semakin banyak dan tidak diikuti dengan perbaikan sarana yang memadai untuk menampung mereka.
Alasan ini tentu terlalu usang untuk dikonsumsi publik sebab sama-sama kita pahami bahwa harusnya tidak ada lagi alasan over kapasitas yang muncul setiap kali ada kasus kaburnya tahanan di lapas, sebab besarnya kucuran dana ke Kemenkumham agaknya cukup untuk menambah jumlah lapas dan memperbaiki setiap lapas yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Pemerintah tidak boleh tutup mata atas kejadian ini dan mencari kambing hitam serta segala alasan untuk memperbaiki diri, sebab apapun ceritanya, jika ada permasalahan yang terjadi di lapas maka Kemenkumham lah yang harus bertanggung jawab. Jika sudah tidak mampu mengemban amanah untuk mengurus hak asasi setiap manusia Indonesia, satu langkah bijak yang harus diambil oleh Menkumham adalah mengundurkan diri.
Pada prinsipnya mengurus HAM bukan sekedar jatah jabatan melainkan harus benar-benar profesional dalam mengemban amanah yang diberikan. Karena kurang profesionalnya Menkumham Indonesia saat inilah yang membuat rancuh kehidupan hukum dan HAM kita, sehingga apabila ada permasalah yang berkaitan dengan hukum dan HAM di negara ini, maka Wamenkumham jauh lebih aktif dan progresif dalam menyikapinya, sementara sang menteri hanya menjadi penyemangat dari belakang.
Jangan salahkan sipir lapas yang bekerja dengan penuh tekanan dari para napi yang mendapat kehidupan tidak layak selama berada dalam tahanan. Sipir yang mendapat gaji minim dari apa yang merka kerjakan kerap menjadi kambing hitam dari setiap apa yang terjadi di lapas, sementara di sisi lain mereka jugalah yang harus menanggung beban karena berhadapan langsung dengan narapidana yang terkadang tidak segan-segan menebar teror karena mendapatkan pelayanan yang jauh dari niali-nilai manusiawi.

Senin, 15 Juli 2013

Subsidi BBM Tidak Membuat Miskin Negara (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis 
Pemerintah kembali mengeluarkan wacana untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setelah beberapa kali gagal untuk merealisasikan wacana ini sejak tahun lalu. Banyak pihak yang menganggap kebijakan pemerintah ini sudah tidak populer dimata masyarakat luas. Apalagi jika kita bandingkan harga BBM dinegara berkembang yang keadaan ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, kita akan menemui fakta yang sangat funtastis.
Venezuela merupakan negara berkembang dikawasan Amerika Latin yang mematok harga tak lebih dari 585 Rupiah untuk penjualan satu liter BBM. Negaranya Alm. Hugo Chavez tersebut merupakan negara yang sektor ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Turkmenistan yang notabenenya juga merupakan negara berkembang, mampu menjual BBM kepada rakyatnya hanya dengan harga 936 Rupiah per liter. Dan masih banyak lagi negara yang sama-sama sedang berkembang seperti Nigeria, Libya, dan Iran, yang mampu menjual BBM kepada rakyatnya dengan harga yang sangat rendah.
Dapat dibayangkan bahwa lebih mahal harga sebatang rokok di Indonesia dari pada seliter BBM dinegara-negara tersebut. Hal yang sesungguhnya sangat memprihatinkan terjadi dinegara kita yang memiliki kekayaan minyak bumi namun masih belum mampu menjual BBM dengan harga yang rendah.
Harapan rakyat Indonesia dapat membeli BBM dengan harga rendah seperti negara berkembang diatas agaknya hanya akan menjadi mimpi disiang bolong. Bukan turunnya harga BBM yang dibincangkan oleh pemerintah kita, namun justru kebijakan untuk menaikan harga BBM yang dibahas oleh pemerintah belakangan ini menyusul naiknya harga minyak dunia. Pemerintah berdalih apabila subsidi yang selama ini dikeluarkan untuk harga BBM tidak dikurangi, maka APBN negara akan mengalami defisit. Benarkah demikian?
Jika kita melihat kompilasi data dari beberapa ekonom yang tidak bermahzab neolib, Pertamina yang merupakan perusahaan negara yang membidangi masalah minyak memperoleh hasil penjualan BBM premium pertahun sebanyak 63 milyar liter dengan harga 4.500 Rupiah per liter, yang berarti hasilnya 283,5 Triliun Rupiah. Namun Pertamina harus membayar impor dari pasar Internasional 149.887 Triliun Rupiah, biaya pembelian pertamina dari pemerintah sebesar 224,546 Triliun Rupiah, dan pengeluaran uang untuk Lifting + Refining + Transporting (LTR) oleh pertamina adalah 63 Milyar @ 566 Rupiah yang sama dengan 35.658 Triliun Rupiah. Berarti seluruh jumlah pengeluaran partamina adalah 410.091 Triliun Rupiah. Pengeluaran dan penghasilan pertamina pertahunnya selisih 126.591 Triliun Rupiah, dan angka tersebutlah yang harus disubsidi pemerintah.
Namun harus diingat juga bahwa pemerintah memperoleh hasil penjualan kepada pertamina sebagaimana tadi telah disebutkan diatas yang mencapai 224.546 Triliun Rupiah. Maka jika hasil penjualan pemerintah kepada pertamina dikurang dengan jumlah dana untuk subsidi BBM, kita akan menemui hasil 224,546 Triliun Rupiah - 126.591 Triliun Rupiah, yang berarti sama dengan 97.955 Triliun Rupiah.
Yang jadi pertanyaan adalah kemana dana bersih 97.955 Triliun Rupiah yang dihasilkan pemerintah selama satu tahun penjualan BBM premium. Bukankan tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam hal ini. Kesimpulannya adalah dana APBN sebenarnya tidak akan defisit apabila pemerintah terus mensubsidi BBM kepada rakyat. Justru keuntungan bersih pertahun yang didapat pemerintah setelah mensubsidi BBM yang mencapai 97.955 Triliun Rupiah. Apakah masih kurang banyak keuntungan yang dihasilkan pemerintah sehingga ingin membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM.
Jika melihat hasil keuntungan yang didapat pemerintah selama ini dalam penjualan BBM kepada masyarakat, wajar kiranya penolakan terjadi seiring ingin dinaikaanya harga BBM oleh pemerintah. Penolakan-penolakan tersebut terjadi setiap hari diseluruh daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan anarkis. Meskipun cara-cara anarkis sangat tidak dibenarkan dalam setiap aksi unjuk rasa, namun cara tersebutlah yang dianggap ampuh oleh para pengunjuk rasa untuk menggugah hati para penguasa negeri ini untuk mengurungkan niat menaikan harga BBM.
Fenomena Tahunan
Tentu masih segar dalam ingatan kita satu tahun yang lalu wacana kenaikan harga BBM juga dilontarkan oleh pemerintah, namun hasilnya adalah selain penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, anggota DPR sebagai pemerintah legislatif juga tidak seluruhnya mendukung kebijakan untuk menaikan harga BBM tersebut.
Sebagian dari mereka justru dengan tegas menyatakan bahwa harga BBM tidak perlu dinaikan karena sesungguhnya tidak ada ancaman akan jebolnya dana APBN apabila harga BBM tidak dinaikan.
Dari sembilan fraksi di DPR, tiga fraksi dengan tegas menolak wacana kenaikan harga BBM apapun alasannya. Sebab mereka menganggap kebijakan ini sangat tidak pro rakyat dan bukan kebijakan yang populer. Apalagi saat ini dana APBN masih mampu untuk mensubsidi harga BBM meskipun harga minyak dunia sedang mengalami kenaikan.
Fraksi PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura merupakan tiga fraksi yang tegas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Sementara enam fraksi yang merupakan koalisi dari pemerintah sendiri tidak memiliki kesepemahaman dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM ini atau dengan kata lain terjadi pecah kongsi dalam sikap keenam fraksi koalisi.
Opsi yang ditawarkan dalam sidang paripurna tahun lalu adalah isi pasal 7 ayat 6 tersebut tidak mengalami penambahan atau mengalami penambahan. Jika opsi pertama disetujui maka harga BBM tidak akan naik karena sudah ditegaskan dalam pasal 7 ayat 6 tersebut.
Sementara apabila opsi kedua tersebut yang diambil, maka ada penambahan pasal 7 ayat 6a yang menyatakan pemerintah bisa menaikan harga BBM apabila harga pasaran minyak dunia meningkat hingga 15 % yang artinya ada kemungkinan bahwa harga BBM akan berubah sesuai harga pasaran minyak dunia.
Akhirnya melalui sidang yang sempat diwarnai insiden kericuhan tersebut diambil opsi yang kedua dengan cara voting. Sungguh hal yang ironis melihat bagaimana pemerintah kita sampai saat ini belum bisa memahami nasib rakyatnya sendiri.
Meskipun mereka berdalih subsidi yang ditarik akan dialihkan pada berbagai sektor lain termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Namun kebijakan untuk memberi bantuan kepada rakyat miskin tersebut nantinya juga pasti akan mengalami pro kontra dalam pelaksanaannya seperti halnya Bantuan Langsung Tunai yang merupakan program sejenis dan saat ini telah mandek karena tidak sesuai sasaran dalam penyalurannya.
Semoga pemerintah kita semakin bijak dalam membuat keputusan yang menentukan nasib rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang berprikemanusiaan.
Sudah sepatutnya seluruh warga negara Indonesia saling menghargai dan mengerti nasib sesamanya, termasuk pemerintah yang merupakan wakil rakyat, harus memahami kondisi rakyatnya. Jangan hanya ingin memperkaya diri sendiri namun nasib rakyat banyak diabaikan.***
Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed

Jurus Provokasi Televisi (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis
Di abad ini televisi memiliki peran signifikan dalam percaturan hidup manusia di semua lini. Sebagai media yang memiliki fasilitas audio visual, televisi mampu mnyuguhkan hal yang bisa didengar layaknya radio sekaligus juga dapat dilihat oleh mata. Banyak kejadian di seluruh belahan dunia yang dapat kita saksikan secara langsung melalui tayangan televisi. 
Berkat kecanggihan fasilitasnya pula, televisi kini menjadi parameter tersendiri untuk mendongkrak popularitas seseorang. Seperti pepatah klasik yang menyatakan bahwa siapa yang ingin menguasai dunia, maka ia harus menguasai media. Agaknya pepatah ini disadari betul oleh insan manusia yang terus menjadikan televisi sebagai sarana untuk meraih popularitas demi tercapainya kepentingan yang dia inginkan.
Jika kita merujuk pada konteks pertelevisian dalam negeri, peran televisi terasa sangat begitu urgen karena mayoritas penduduk Indonesia sudah menjadikan televisi sebagai bahan kebutuhan primer. Kita bisa bayangkan banyak hal yang menjadi kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh televisi, mulai dari hiburan, olahraga, hingga segala jenis berita terus menghiasi tayangan televisi, sehingga tidak jarang manusia rela menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di depan televisi. 
Karena hal tersebut tidak heran jika belakangan dunia politik Indonesia juga tertular latah televisi. Segala aktivitas yang berkaitan dengan perpolitikan bangsa dapat dengan gamblang disaksikan oleh semua masyarakat melalui jasa televisi. 
Netralitas televisi
Jika bicara tentang tayangan berita, tentu kita sepakat bahwa ada dua stasiun televisi di negara ini yang punya kekuatan besar dalam menyita perhatian pemirsa karena suguhan berita yang diberikan cukup banyak. TV One dan Metro TV adalah dua stasiun televisi yang menjadikan berita sebagai prioritas penayangannya. Mereka mencoba untuk membedakan haluan dari stasiun lain yang selama ini condong untuk menayangkan sinetron, hiburan, atau kuis, sehingga dengan mudah masyarakat Indonesia yang memiliki minat terhadap segala jenis berita untuk memperbarui khasanah informasinya beralih kekedua stasiun tadi.
Persoalan muncul manakala televisi telah dijadikan panggung pertarungan politik karena netralitasnya dalam memainkan peran mediator terkesan semu. Sama-sama kita ketahui bahwa saat ini stasiun-stasiun besar televisi dimiliki oleh orang-orang yang sarat kepentingan dengan dunia politik tanah air. 
Surya Paloh yang kini menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) merupakan pemiliki Metro TV yang sama-sama kita ketahui banyak menyuguhkan berita tentang konstalasi politik Indonesia. 
Dengan demikian sudah barang tentu Metro TV begitu kental dengan warna Nasdem yang kemudian sedikit menciderai netralitasnya sebagai parameter berita tanah air. Tentu kita sering mengalami fenomena ketika sedang asyik menonton tayangan berita di Metro TV, seketika dikejutkan dengan Breaking News untuk menayangkan Surya Paloh yang sedang berpidato di suatu tempat. Hingga saat ini saya belum mengetahui apa substansi dari hal tersebut jika kita merujuk pada urgensifitas isi pidato beliau.
Memang tidak salah bila beliau dan seluruh kru Metro TV melakukan hal tersebut karena yang berpidato juga yang punya media, namun jika melihat pada profesionalitas penayangan, hal tersebut agak kurang berkena karena sesungguhnya Surya Paloh hanyalah seorang ketua umum parpol yang tentu saja bukan satu-satunya di Indonesia. 
Lain lagi dengan TV One yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie. Stasiun yang berada dalam naungan VIVA bersama ANTV ini kerap menyuguhkan berita yang kental dengan nama Aburizal Bakrie (ARB). Kita sangat jarang mendapatkan ulasan terkait kasus lumpur lapindo di sidoarjo yang menyeret nama ARB sebagai aktor utama dalam tragedi tersebut karena hal itu dapat memupus popularitas ARB yang belakangan santer diberitakan sebagai salah satu calon presiden Indonesia.
Ada kejadian unik yang saya saksikan terkait hubungan TV One dengan kasus lumpur lapindo. Ketika saya mengikuti sekolah HAM di Kontras Jakarta sekitar pertengahan bulan juni 2012 lalu, ada seorang korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari sidoarjo ke Jakarta untuk mencari keadilan kepada presiden RI. 
Saat sampai di kantor kontras Jakarta saya melihat banyak stasiun televisi yang meliput korban dan mewawancarainya terkait tekatnya yang begitu besar, namun saya sama sekali tidak melihat presenter TV One hadir disana untuk turut meliput berita tersebut. Saya berfikir itu hal yang wajar karena korban akan membeberkan tentang kebobrokan sang pemilik TV One. 
Namun betapa terkejutnya saya ketika korban muncul di Apa Kabar Indonesia Malam yang merupakan salah satu tayangan TV One beberapa hari kemudian. Dalam tayangan tersebut korban meminta maaf kepada ARB karena telah melakukan hal tersebut karena menurutnya ARB adalah orang yang begitu baik dan dermawan sehingga tidak pantas untuk diadukan ke presiden. Aneh memang melihat fenomena tersebut karena kita seolah dihadapkan pada sandiwara politik usang yang dimainkan oleh pemangku kepentingan melalui media televisi.
Kecerdasan Presenter
Terlepas dari netralitas televisi yang masih semu, ada hal yang tidak kalah menarik untuk dibahas terkait penayangan televisi. Presenter merupakan orang yang begitu sentral dalam dunia pertevisian. Banyak cara dan ciri yang harus dimiliki oleh presenter televisi dalam menarik perhatian pemirsa.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiraman sosiolog UI, Thamrin Tomagola yang dilakukan oleh kader FPI, Munarman saat tayangan langsung di acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One. 
Sontak kasus itu menjadi pemberitaan yang heboh di tanah air karena sikap yang tidak dewasa dari kedua narasumber tersebut.
Namun ada satu hal yang harus dicermati dalam kejadian itu, peran presenter TV One dalam memancing emosi kedua narasumber untuk berdebat hingga terjadinya insiden memalukan itu cukup berhasil. 
Aksi provokasi tidak bisa lepas dalam setiap penayangan yang dilakukan oleh stasiun televisi kita, apalagi jika tokoh yang diundang memiliki faham yang berseberangan. Mereka seolah berfikir manakala perdebatan sengit terjadi maka minat pemirsa untuk menonton tayangan mereka akan semakin tinggi. Hal yang paling naïf adalah sikap menghakimi yang kerap dilakukan oleh stasiun televisi terhadap berbagai kasus. 
Lebih dari itu, tidak hanya presenter tayangan berita saja yang menjadi permasalahan dalam dunia pertelevisian kita. Olga Syahputra yang konon merupakan presenter diberbagai tayangan hiburan dan hanya mengandalkan modal lelucon kampungan sehingga kerap mengundang kontroversi.
Pelawak kacangan yang sama sekali tidak punya bakat melawak dan diorbitkan melalui beberapa tayangan hiburan itu belakangan tersandung kasus tentang pelecehan yang dilakukannya kepada seorang dokter di acara Facebookers yang ditayangakan oleh ANTV. 
Karena tidak punya kecerdasan dalam menghibur penonton, dia kerap menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon yang tidak jarang justru menyinggung sang objek leluconnya.
Semoga saja sekelumit tulisan ini mampu untuk menjadi bahan introspeksi kita semua bahwa televisi Indonesia saat ini masih sarat dengan nilai provokasi yang dimobilisasi oleh presenter yang kurang memiliki kecakapan dalam bermedia.***
* Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

Krisis Identitas Masyarakat (Opini Kendari Pos)

Oleh : Eka Azwin Lubis *)

Hari  ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan.

Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk  dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan.

Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas,  rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.
Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis.

Vox Populity Vox Dai

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah.

Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi.
Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara.

Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka.

Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis.

Contoh lain adalah kita selalu menganggap polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian.

Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal.

Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. (***)

*) Staf Pusat Studi HAM Unimed dan Aktivis HMI)

Sabtu, 13 Juli 2013

Pintar di Negara yang Salah (Opini Riau Pos)

Oleh : Eka Azwin Lubis
Kisah miris Helena Marthafriska Saragi Napitu sungguh menyentuh hati kita. Yakni  seorang siswi SMA Metheodist 2 Medan yang mendapat predikat siswa dengan nilai UN tertinggi peringkat 3 nasional, justru tidak lulus jalur SNMPTN/undangan.
Satu fenomena konyol terjadi di dunia pendidikan kita, bagaimana mungkin orang yang memiliki nilai tertinggi justru tidak lulus jalur undangan. Logika sederhana dalam benak kita tentu mempertanyakan, seberapa tinggi lagi nilai mereka yang lulus jalur undangan yang otomatis mengalahkan nilai Helena.
Helena merupakan ”anak bangsa yang cerdas di negara yang salah”. Saat mengikuti jalur undangan yang ditawarkan oleh sekolahnya, Helena memilih Fakultas Kedokteran UI dan Fakultas Kedokteran USU, namun ketika pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, namanya tidak muncul sebagai salah satu pemilik kursi di kedua PTN tersebut padahal sebelumnya dia mendapat predikat juara umum ketiga nilai UN tertinggi di Indonesia.
Hal ini menjawab pertanyaan kita bahwa semua kursi yang tersedia di PTN melalui jalur undangan sudah menjadi jatah-jatah para pemangku kepentingan tanpa melihat nilai UN yang harusnya menjadi salah satu acuan dalam seleksi penerimaan mahasiswa jalur undangan.
Kuatnya setoran ke orang-orang yang menjadikan dunia pendidikan sebagai wahana cari makan yang dilakukan oleh mereka yang menginginkan kursi di PTN melalui jalur undangan, mengalahkan nilai Helena yang sejatinya merupakan pemegang nilai tertinggi UN secara nasional.
Semoga saja pelaksaan SBMPTN ke depan yang merupakan harapan terakhir genarasi muda Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan di PTN kelas regular akan terhindar dari tindakan-tindakan memalukan dan tetap mengedepankan kejujuran dan etika moral.
Sudah sepatutnya dunia pendidikan kita melakukan introspeksi diri untuk terpeliharanya sistem pendidikan yang benar-benar mendidikan dan menghilangkan budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin lama semakin mengakar kuat dalam tubuh pendidikan kita.
Sangat memalukan jika pendidikan yang merupakan wahana pembentuk sumber daya manusia yang cerdas dan berkepribadian luhur harus diurus oleh mereka yang bermental hipokrit dan hanya berorientasi pada recehan semata.
Kesemrawutan pelaksaan UN jangan sampai tertular pada pelaksaan SBMPTN, sebab harus kita sadari bahwa begitu banyaknya generasi-generasi muda kita yang menggantungkan harapan mereka demi mewujudkan mimpi masuk PTN melalui pelaksaan SBMPTN ini.
Oleh sebab itu ayolah sama-sama kita jadikan pelaksanaan SBMPTN yang merupakan ajang baru bagi PTN untuk menyeleksi penerimaan mahasiswa baru, benar-benar bersih dari kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak.

Nama Baru, Pola Lama
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), merupakan cara baru yang dibuat pemerintah untuk menyeleksi para lulusan Sekolah Menengah Atas/sederajat yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri.
Hampir setiap tahun pola dan nama penjaringan calon-calon mahasiswa perguruan tinggi negeri ini berubah-ubah.  Tentu kita masih ingat sebelumnya seleksi untuk menentukan siapa-siapa yang layak menjadi mahasiswa di perguaruan tinggi negeri melalu jalur ujian bersama secara nasional ini bernama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
SNMPTN sendiri kini justru dijadikan nama untuk seleksi melalui jalur undangan bagi para peserta didik yang mendapat jatah dari sekolah masing-masing. Sebelum SNMPTN diperkenalkan, seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi negeri ini bernama Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Pada tahun 2013, SBMPTN diperkenalkan sebagai ajang penerimaan mahasiswa baru melalui jalur ujian tertulis dan praktik yang dilakukan pada tanggal 18 dan 19 Juni 2013  lalu di seluruh universitas negeri di Indonesia.
Dalam menghadapi ujian SBMPTN ini para peserta tidak kalah tegang dengan saat mereka melakukan Ujian Nasional yang penuh dengan rekayasa dalam pelaksaannya sebagai ajang penentu kelulusan mereka dari Sekolah Menengah Atas/Sederajat.
Meski pelaksanaan SBMPTN memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibanding pelaksaan UN, namun tidak menutup kemungkinan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan objektivitas hasil ujian akan timbul karena bobroknya sistem pendidikan yang ada saat ini.
Antrean panjang di hampir semua Bank Mandiri yang merupakan instansi tempat penjualan pin bagi calon mahasiswa yang ingin mendaftar SBMPTN, menunjukan tingginya minat dan antusias siswa/siswi Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri.
Sebagai salah satu representatif tingginya pemintat PTN adalah setiap tahun puluhan ribu orang mendaftar di setiap universitas negeri yang hanya menyediakan kursi tidak lebih dari puluhan ribu bagi calon mahasiswa baru.
Agaknya masyarakat Indonesia masih menggantungkan harapan yang besar untuk masuk PTN sebagai wadah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena harus diakui bahwa banyaknya keunggulan yang ada di PTN memberikan harapan segar bagi mereka yang selama ini memiliki anomali perspektif terhadap dunia pendidikan, seperti besarnya biaya kuliah.
Faktor ekonomi kerap menjadi kendala bagi kebanyakan orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, namun banyaknya beasiswa yang ditawarkan oleh PTN membuat mereka sedikit lega dan berambisi agar salah satu kursi di PTN menjadi hak anak mereka.
Tidak sedikit juga calon mahasiswa baru yang mengejar masuk PTN dengan motif gengsi, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa PTN memiliki image  yang lebih baik dibadingkan PTS yang pada dasarnya hal ini tidak bisa diamini dengan serta merta, karena kualitas pendidikan tidak sepenuhnya ditentukan dengan tempat bernaungnya peserta didik, melainkan lebih kepada sumber daya manusia yang akan menerima input ilmu dari dosen-dosennya.
Segala upaya dilakukan bagi mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan jatah jalur undangan dari sekolahnya agar tetap bisa masuk ke PTN, termasuk melalui jalur SBMPTN yang seleksinya tergolong berat karena memerlukan kerja keras dalam belajar dan keberuntungan yang harus menyertai.
Tidak hanya kecerdasan berpikir yang harus dimiliki, faktor keberuntungan juga sangan dominan dalam menentukan kelulusan kita saat mengikuti SBMPTN.  Oleh sebab itu, karena pertarungannya yang luar biasa dari, membuat SBMPTN mendapat image yang lebih tinggi daripada mereka yang masuk PTN melalui jalur undangan.
Kita pahami bahwa banyak manipulasi yang terjadi saat penyeleksian jalur undangan dilakukan, jika selama ini kita kerap berpikir bahwa kecurangan jalur undangan hanya dilakukan oleh sekolah dengan ”menyuci rapor” siswanya agar memiliki nilai yang tinggi dan dapat diterima di berbagai PTN, kini kebusukan baru dari jalur undangan kembali terungkap yang pelakunya tidak hanya pihak sekolah melainkan di tingkat pusat.***



Eka Azwin Lubis, Staf Pusat Studi HAM Unimed dan aktivis HMI

Kamis, 30 Mei 2013

Artis dan Narkoba (Opini Kendari Pos)



Kita semua tentu masih ingat kasus yang pernah menjerat pelawak Polo, Gogon, hingga penyanyi dangdut kawakan, Imam S Arifin. Mereka sempat terjerambab dalam lembah hitam narkoba yang mengantarkan mereka ke pengapnya jeruji besi penjara. Para artis yang memiliki segudang prestasi tersebut seakan lupa bahwa mereka selalu mendapat sorotan publik dimana dan kapanpun berada termasuk ketika mereka tersandung kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Nama besar yang selama ini meraka usahakan, seolah hancur seketika menyusul terungkapnya perbuatan kotor mereka yang akrab dengan narkoba.
Faktor limpahan materi agaknya menjadi penyebab mereka untuk mencoba terjun ke dunia hitam yang tanpa disadari akan merampas populariotasnya. Tidak hanya kalangan artis yang senantiasa terlibat dalam penggunaan narkoba, bahkan keluarga pesohor republik ini juga kerap menggunakan narkoba. Satu contoh adalah Raka Widyarma yang merupakan anak dari aktor sekaligus wakil gubernur banten, Rano Karno yang tertangkap polisi saat memesan lima butir ekstasi via online dari Malaysia.
Belakangan kasus tentang keterlibatan artis dalam penggunaan narkoba kembali muncul pasca ditangkapnya Raffi Ahmad bersama 17 temannya termasuk pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar serta artis senior Wanda Hamidah, saat melakukan pesta narkoba di rumah miliknya. Kejadian ini kembali mempertegas bahwa nama besar dan limpaham materi yang mereka menjadikan mereka akrab dengan barang haram tersebut.
Indonesia sendiri merupakan negara yang manjadikan Narkoba sebagai barang yang ilegal dan tidak dibenarkan untuk beredar di negara ini. Sehingga bagi siapa saja baik itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang kedapatan berhubungan dengan narkoba baik itu pengguna, pengedar, atau bahkan hanya sekedar kurir diwilayah hukum Indonesia, maka pihak kepolisian akan segera menindak tegas mereka tanpa memandang latar belakangnya.
Namun meskipun tindakan tegas telah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pemberantasan narkoba di Indonesia tetap saja peredaran narkoba masih merajalela dinegeri ini. Terlihat dari jumlah pecandunya di Indonesia yang makin tahun semakin meningkat. Yang menjadi sasaran dari kejahatan narkoba tidak hanya mereka yang memiliki uang banyak, melainkan hampir semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda, dari yang kaya sampai yang hidup pas – pasan, hingga mereka yang berpendidikan sampai yang buta akan ilmu pengetahuan ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Untuk kaum muda yang merupakan pemangku peredaban masa depan dan sedang menempuh jenjang pendidikan saja, jumlah mereka yang akrab dengan narkoba sangat memprihatinkan. Bayangkan saja hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia atau sekitar 921.695 orang. Angka ini tentu saja tidak bisa ditolerir lagi. Sebab seandainya hal ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia kedepannya akan menjadi negara yang berpredikat sebagai surga narkoba dunia.
Menurut Kabid Pembinaan dan Pencegahan Badan Narkotika Provinsi Sumatera Utara, Arifin Sianipar, dari jumlah tersebut, 61 persen diantaranya menggunakan narkoba jenis analgesic dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem. Hal tersebut mempertegas indikasi bahwa narkoba tidak hanya digunakan oleh kaum proletar yang memiliki dana besar untuk mendapatkannya. Sebab bagi seorang siswa SMP sekalipun untuk membeli sekaleng lem cukup dengan menyisihkan uang jajan yang diberikan orang tuanya.
 Generasi muda yang merupakan generasi produktif merupakan sasaran empuk bagi penyebaran narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan Jumlah pengguna narkoba terbanyak adalah mereka yang berada pada usia 20 hingga 34 tahun. Sedangkan jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh pecandunya yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi adalah jenis heroin yang mencapai 10.768 orang, lalu mereka yang menggunakan ganja yang mencapai  1.774 orang dan sabu-sabu sebanyak 984 orang.
Para pecandu narkoba umumnya cenderung menutup diri atau tidak terbuka dengan orang lain tentang apa kegiatan negatif yang mereka lakukan. Praktis hanya sebagian kecil yang berani untuk menyatakan dirinya sebagai pengguna narkoba dan berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya akan obat–obat terlarang tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah pecandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tahun 2010 hanya 17.734 orang. Ini menunjukan bahwa betapa minimnya niat para pecandu narkoba untuk mengakhiri penggunaan narkoba dalam hidup mereka.
Padahal jumlah pengguna narkoba di Indonesia menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai 3,2 juta orang atau 1,5 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang menggunakan narkoba dengan alat bantu berupa jarum suntik, yang berakibat 60 persen pecandu dengan alat bentu tersebut terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain. BNN menambahkan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan guna mencegah maraknya peredaran narkoba, yakni pencegahan dengan cara melakukan sosialisasi secara intensif akan bahaya narkoba, penindakan bagi yang terbukti menjadi pengedar dan pengguna, serta rehabilitasi dan pendampingan terhadap pengguna narkoba.
Indonesia Lahan Subur Peredaran Narkoba
Berdasarkan data dari BNN, peredaran narkoba di Indonesia memiliki nilai yang fantastis sehingga menjadi daya tarik besar buat para pemainnya. Pada periode Januari sampai November 2011 saja peredaran narkoba mencapai 28 Milyar Rupiah lebih, tapi nilai ini hanyalah sebagian kecil dari peredaran sesungguhnya di Indonesia. Selain itu perbandingan harga narkoba di Indonesia dengan diluar negeri sangat jauh berbeda. Salah satu contohnya adalah narkoba favorit di kalangan para pemakainya adalah shabu-shabu, di Malaysia di bandrol 300.000 Rupiah tapi di sini bisa berharga sampai Rp. 2 Milyar lebih.
Cara yang dilakukan oleh pengedar narkoba ini seolah juga tidak ada habisnya. Belakangan ada hal baru yang mulai terungkap oleh aparat kepolisian tentang cara transaksi narkoba dari luar negeri. Internet yang selama ini akrab dengan kehidupan kaula muda perlahan mulai dimanfaatkan untuk media transaksi narkoba.
Menurut Kepala Humas BNN Kombes Polisi Sumirat Dwiyanto, sejak awal Februari 2012 lalu dalam pertemuan internasional yang dihadiri BNN, sudah dibahas mengenai kemungkinan digunakannya media online untuk transaksi narkoba di Indonesia. Melalui intelejen BNN, disimpulkan bahwa pengedar narkoba internasional via internet biasanya kerap menggunakan kode atau sandi tertentu untuk melakukan transaksi. 
Pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberantas peredaran Narkoba di Indonesia, sebab perlahan cara yang digunakan oleh para pengedar narkoba juga semakin canggih dan terorganisir. Oleh sebab itu peran aktif pemerintah dan petugas yang berwenang harus lebih ditingkatkan demi memelihara kondusifitas anak bangsa agar tidak terkontaminasi narkotika.