Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Senin, 15 Juli 2013

Subsidi BBM Tidak Membuat Miskin Negara (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis 
Pemerintah kembali mengeluarkan wacana untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setelah beberapa kali gagal untuk merealisasikan wacana ini sejak tahun lalu. Banyak pihak yang menganggap kebijakan pemerintah ini sudah tidak populer dimata masyarakat luas. Apalagi jika kita bandingkan harga BBM dinegara berkembang yang keadaan ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, kita akan menemui fakta yang sangat funtastis.
Venezuela merupakan negara berkembang dikawasan Amerika Latin yang mematok harga tak lebih dari 585 Rupiah untuk penjualan satu liter BBM. Negaranya Alm. Hugo Chavez tersebut merupakan negara yang sektor ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Turkmenistan yang notabenenya juga merupakan negara berkembang, mampu menjual BBM kepada rakyatnya hanya dengan harga 936 Rupiah per liter. Dan masih banyak lagi negara yang sama-sama sedang berkembang seperti Nigeria, Libya, dan Iran, yang mampu menjual BBM kepada rakyatnya dengan harga yang sangat rendah.
Dapat dibayangkan bahwa lebih mahal harga sebatang rokok di Indonesia dari pada seliter BBM dinegara-negara tersebut. Hal yang sesungguhnya sangat memprihatinkan terjadi dinegara kita yang memiliki kekayaan minyak bumi namun masih belum mampu menjual BBM dengan harga yang rendah.
Harapan rakyat Indonesia dapat membeli BBM dengan harga rendah seperti negara berkembang diatas agaknya hanya akan menjadi mimpi disiang bolong. Bukan turunnya harga BBM yang dibincangkan oleh pemerintah kita, namun justru kebijakan untuk menaikan harga BBM yang dibahas oleh pemerintah belakangan ini menyusul naiknya harga minyak dunia. Pemerintah berdalih apabila subsidi yang selama ini dikeluarkan untuk harga BBM tidak dikurangi, maka APBN negara akan mengalami defisit. Benarkah demikian?
Jika kita melihat kompilasi data dari beberapa ekonom yang tidak bermahzab neolib, Pertamina yang merupakan perusahaan negara yang membidangi masalah minyak memperoleh hasil penjualan BBM premium pertahun sebanyak 63 milyar liter dengan harga 4.500 Rupiah per liter, yang berarti hasilnya 283,5 Triliun Rupiah. Namun Pertamina harus membayar impor dari pasar Internasional 149.887 Triliun Rupiah, biaya pembelian pertamina dari pemerintah sebesar 224,546 Triliun Rupiah, dan pengeluaran uang untuk Lifting + Refining + Transporting (LTR) oleh pertamina adalah 63 Milyar @ 566 Rupiah yang sama dengan 35.658 Triliun Rupiah. Berarti seluruh jumlah pengeluaran partamina adalah 410.091 Triliun Rupiah. Pengeluaran dan penghasilan pertamina pertahunnya selisih 126.591 Triliun Rupiah, dan angka tersebutlah yang harus disubsidi pemerintah.
Namun harus diingat juga bahwa pemerintah memperoleh hasil penjualan kepada pertamina sebagaimana tadi telah disebutkan diatas yang mencapai 224.546 Triliun Rupiah. Maka jika hasil penjualan pemerintah kepada pertamina dikurang dengan jumlah dana untuk subsidi BBM, kita akan menemui hasil 224,546 Triliun Rupiah - 126.591 Triliun Rupiah, yang berarti sama dengan 97.955 Triliun Rupiah.
Yang jadi pertanyaan adalah kemana dana bersih 97.955 Triliun Rupiah yang dihasilkan pemerintah selama satu tahun penjualan BBM premium. Bukankan tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam hal ini. Kesimpulannya adalah dana APBN sebenarnya tidak akan defisit apabila pemerintah terus mensubsidi BBM kepada rakyat. Justru keuntungan bersih pertahun yang didapat pemerintah setelah mensubsidi BBM yang mencapai 97.955 Triliun Rupiah. Apakah masih kurang banyak keuntungan yang dihasilkan pemerintah sehingga ingin membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM.
Jika melihat hasil keuntungan yang didapat pemerintah selama ini dalam penjualan BBM kepada masyarakat, wajar kiranya penolakan terjadi seiring ingin dinaikaanya harga BBM oleh pemerintah. Penolakan-penolakan tersebut terjadi setiap hari diseluruh daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan anarkis. Meskipun cara-cara anarkis sangat tidak dibenarkan dalam setiap aksi unjuk rasa, namun cara tersebutlah yang dianggap ampuh oleh para pengunjuk rasa untuk menggugah hati para penguasa negeri ini untuk mengurungkan niat menaikan harga BBM.
Fenomena Tahunan
Tentu masih segar dalam ingatan kita satu tahun yang lalu wacana kenaikan harga BBM juga dilontarkan oleh pemerintah, namun hasilnya adalah selain penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, anggota DPR sebagai pemerintah legislatif juga tidak seluruhnya mendukung kebijakan untuk menaikan harga BBM tersebut.
Sebagian dari mereka justru dengan tegas menyatakan bahwa harga BBM tidak perlu dinaikan karena sesungguhnya tidak ada ancaman akan jebolnya dana APBN apabila harga BBM tidak dinaikan.
Dari sembilan fraksi di DPR, tiga fraksi dengan tegas menolak wacana kenaikan harga BBM apapun alasannya. Sebab mereka menganggap kebijakan ini sangat tidak pro rakyat dan bukan kebijakan yang populer. Apalagi saat ini dana APBN masih mampu untuk mensubsidi harga BBM meskipun harga minyak dunia sedang mengalami kenaikan.
Fraksi PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura merupakan tiga fraksi yang tegas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Sementara enam fraksi yang merupakan koalisi dari pemerintah sendiri tidak memiliki kesepemahaman dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM ini atau dengan kata lain terjadi pecah kongsi dalam sikap keenam fraksi koalisi.
Opsi yang ditawarkan dalam sidang paripurna tahun lalu adalah isi pasal 7 ayat 6 tersebut tidak mengalami penambahan atau mengalami penambahan. Jika opsi pertama disetujui maka harga BBM tidak akan naik karena sudah ditegaskan dalam pasal 7 ayat 6 tersebut.
Sementara apabila opsi kedua tersebut yang diambil, maka ada penambahan pasal 7 ayat 6a yang menyatakan pemerintah bisa menaikan harga BBM apabila harga pasaran minyak dunia meningkat hingga 15 % yang artinya ada kemungkinan bahwa harga BBM akan berubah sesuai harga pasaran minyak dunia.
Akhirnya melalui sidang yang sempat diwarnai insiden kericuhan tersebut diambil opsi yang kedua dengan cara voting. Sungguh hal yang ironis melihat bagaimana pemerintah kita sampai saat ini belum bisa memahami nasib rakyatnya sendiri.
Meskipun mereka berdalih subsidi yang ditarik akan dialihkan pada berbagai sektor lain termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Namun kebijakan untuk memberi bantuan kepada rakyat miskin tersebut nantinya juga pasti akan mengalami pro kontra dalam pelaksanaannya seperti halnya Bantuan Langsung Tunai yang merupakan program sejenis dan saat ini telah mandek karena tidak sesuai sasaran dalam penyalurannya.
Semoga pemerintah kita semakin bijak dalam membuat keputusan yang menentukan nasib rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang berprikemanusiaan.
Sudah sepatutnya seluruh warga negara Indonesia saling menghargai dan mengerti nasib sesamanya, termasuk pemerintah yang merupakan wakil rakyat, harus memahami kondisi rakyatnya. Jangan hanya ingin memperkaya diri sendiri namun nasib rakyat banyak diabaikan.***
Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed

0 comments:

Posting Komentar