Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Senin, 15 Juli 2013

Jurus Provokasi Televisi (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis
Di abad ini televisi memiliki peran signifikan dalam percaturan hidup manusia di semua lini. Sebagai media yang memiliki fasilitas audio visual, televisi mampu mnyuguhkan hal yang bisa didengar layaknya radio sekaligus juga dapat dilihat oleh mata. Banyak kejadian di seluruh belahan dunia yang dapat kita saksikan secara langsung melalui tayangan televisi. 
Berkat kecanggihan fasilitasnya pula, televisi kini menjadi parameter tersendiri untuk mendongkrak popularitas seseorang. Seperti pepatah klasik yang menyatakan bahwa siapa yang ingin menguasai dunia, maka ia harus menguasai media. Agaknya pepatah ini disadari betul oleh insan manusia yang terus menjadikan televisi sebagai sarana untuk meraih popularitas demi tercapainya kepentingan yang dia inginkan.
Jika kita merujuk pada konteks pertelevisian dalam negeri, peran televisi terasa sangat begitu urgen karena mayoritas penduduk Indonesia sudah menjadikan televisi sebagai bahan kebutuhan primer. Kita bisa bayangkan banyak hal yang menjadi kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh televisi, mulai dari hiburan, olahraga, hingga segala jenis berita terus menghiasi tayangan televisi, sehingga tidak jarang manusia rela menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di depan televisi. 
Karena hal tersebut tidak heran jika belakangan dunia politik Indonesia juga tertular latah televisi. Segala aktivitas yang berkaitan dengan perpolitikan bangsa dapat dengan gamblang disaksikan oleh semua masyarakat melalui jasa televisi. 
Netralitas televisi
Jika bicara tentang tayangan berita, tentu kita sepakat bahwa ada dua stasiun televisi di negara ini yang punya kekuatan besar dalam menyita perhatian pemirsa karena suguhan berita yang diberikan cukup banyak. TV One dan Metro TV adalah dua stasiun televisi yang menjadikan berita sebagai prioritas penayangannya. Mereka mencoba untuk membedakan haluan dari stasiun lain yang selama ini condong untuk menayangkan sinetron, hiburan, atau kuis, sehingga dengan mudah masyarakat Indonesia yang memiliki minat terhadap segala jenis berita untuk memperbarui khasanah informasinya beralih kekedua stasiun tadi.
Persoalan muncul manakala televisi telah dijadikan panggung pertarungan politik karena netralitasnya dalam memainkan peran mediator terkesan semu. Sama-sama kita ketahui bahwa saat ini stasiun-stasiun besar televisi dimiliki oleh orang-orang yang sarat kepentingan dengan dunia politik tanah air. 
Surya Paloh yang kini menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) merupakan pemiliki Metro TV yang sama-sama kita ketahui banyak menyuguhkan berita tentang konstalasi politik Indonesia. 
Dengan demikian sudah barang tentu Metro TV begitu kental dengan warna Nasdem yang kemudian sedikit menciderai netralitasnya sebagai parameter berita tanah air. Tentu kita sering mengalami fenomena ketika sedang asyik menonton tayangan berita di Metro TV, seketika dikejutkan dengan Breaking News untuk menayangkan Surya Paloh yang sedang berpidato di suatu tempat. Hingga saat ini saya belum mengetahui apa substansi dari hal tersebut jika kita merujuk pada urgensifitas isi pidato beliau.
Memang tidak salah bila beliau dan seluruh kru Metro TV melakukan hal tersebut karena yang berpidato juga yang punya media, namun jika melihat pada profesionalitas penayangan, hal tersebut agak kurang berkena karena sesungguhnya Surya Paloh hanyalah seorang ketua umum parpol yang tentu saja bukan satu-satunya di Indonesia. 
Lain lagi dengan TV One yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie. Stasiun yang berada dalam naungan VIVA bersama ANTV ini kerap menyuguhkan berita yang kental dengan nama Aburizal Bakrie (ARB). Kita sangat jarang mendapatkan ulasan terkait kasus lumpur lapindo di sidoarjo yang menyeret nama ARB sebagai aktor utama dalam tragedi tersebut karena hal itu dapat memupus popularitas ARB yang belakangan santer diberitakan sebagai salah satu calon presiden Indonesia.
Ada kejadian unik yang saya saksikan terkait hubungan TV One dengan kasus lumpur lapindo. Ketika saya mengikuti sekolah HAM di Kontras Jakarta sekitar pertengahan bulan juni 2012 lalu, ada seorang korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari sidoarjo ke Jakarta untuk mencari keadilan kepada presiden RI. 
Saat sampai di kantor kontras Jakarta saya melihat banyak stasiun televisi yang meliput korban dan mewawancarainya terkait tekatnya yang begitu besar, namun saya sama sekali tidak melihat presenter TV One hadir disana untuk turut meliput berita tersebut. Saya berfikir itu hal yang wajar karena korban akan membeberkan tentang kebobrokan sang pemilik TV One. 
Namun betapa terkejutnya saya ketika korban muncul di Apa Kabar Indonesia Malam yang merupakan salah satu tayangan TV One beberapa hari kemudian. Dalam tayangan tersebut korban meminta maaf kepada ARB karena telah melakukan hal tersebut karena menurutnya ARB adalah orang yang begitu baik dan dermawan sehingga tidak pantas untuk diadukan ke presiden. Aneh memang melihat fenomena tersebut karena kita seolah dihadapkan pada sandiwara politik usang yang dimainkan oleh pemangku kepentingan melalui media televisi.
Kecerdasan Presenter
Terlepas dari netralitas televisi yang masih semu, ada hal yang tidak kalah menarik untuk dibahas terkait penayangan televisi. Presenter merupakan orang yang begitu sentral dalam dunia pertevisian. Banyak cara dan ciri yang harus dimiliki oleh presenter televisi dalam menarik perhatian pemirsa.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiraman sosiolog UI, Thamrin Tomagola yang dilakukan oleh kader FPI, Munarman saat tayangan langsung di acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One. 
Sontak kasus itu menjadi pemberitaan yang heboh di tanah air karena sikap yang tidak dewasa dari kedua narasumber tersebut.
Namun ada satu hal yang harus dicermati dalam kejadian itu, peran presenter TV One dalam memancing emosi kedua narasumber untuk berdebat hingga terjadinya insiden memalukan itu cukup berhasil. 
Aksi provokasi tidak bisa lepas dalam setiap penayangan yang dilakukan oleh stasiun televisi kita, apalagi jika tokoh yang diundang memiliki faham yang berseberangan. Mereka seolah berfikir manakala perdebatan sengit terjadi maka minat pemirsa untuk menonton tayangan mereka akan semakin tinggi. Hal yang paling naïf adalah sikap menghakimi yang kerap dilakukan oleh stasiun televisi terhadap berbagai kasus. 
Lebih dari itu, tidak hanya presenter tayangan berita saja yang menjadi permasalahan dalam dunia pertelevisian kita. Olga Syahputra yang konon merupakan presenter diberbagai tayangan hiburan dan hanya mengandalkan modal lelucon kampungan sehingga kerap mengundang kontroversi.
Pelawak kacangan yang sama sekali tidak punya bakat melawak dan diorbitkan melalui beberapa tayangan hiburan itu belakangan tersandung kasus tentang pelecehan yang dilakukannya kepada seorang dokter di acara Facebookers yang ditayangakan oleh ANTV. 
Karena tidak punya kecerdasan dalam menghibur penonton, dia kerap menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon yang tidak jarang justru menyinggung sang objek leluconnya.
Semoga saja sekelumit tulisan ini mampu untuk menjadi bahan introspeksi kita semua bahwa televisi Indonesia saat ini masih sarat dengan nilai provokasi yang dimobilisasi oleh presenter yang kurang memiliki kecakapan dalam bermedia.***
* Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

0 comments:

Posting Komentar