Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Kamis, 27 September 2012

Jangan ( Selalu ) Jadikan Polisi Sasaran Pengunjuk Rasa (Opini Analisa)

 Oleh : Eka Azwin Lubis.
Menyusul dirilisnya film kontroversi yang berisi tentang penghinaan terhadap nabi besar Muhammad berjudul Innocence of Moslems yang dibuat oleh seorang produser amatiran asal Amerika Serikat, aksi unjuk rasa menentang film tersebut langsung bergemuruh diseluruh dunia khususnya negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Setiap hari para demonstran terus menyuarakan sikap mereka yang menolak keras film yang jelas-jelas sangat merendahkan martabat nabi suci Muhammad tersebut. Mereka menuntut pihak pemerintah Amerika Serikat segera mengambil keputusan tegas dengan menghukum sang produser yang konon kerap berganti identitas tersebut.
Tidak jarang aksi demonstrasi yang mengutuk penayangan film tersebut harus berakhir dengan anarkis. Para demonstran yang pada umumnya ingin merusak segala fasilitas yang berbau Amerika termasuk kantor kedutaan, harus mendapat perlawanan oleh aparat keamanan yang tidak menginginkan terjadinya tindak anarkis dalam aksi demonstrasi tersebut.
Aparat kepolisian harus rela berjibaku dengan massa yang jumlahnya jauh lebih banyak demi mengamankan kondusifitas negaranya. Jika kita tanya pendapat para aparat kepolisian yang berjaga untuk mengamankan para demonstran, mungkin sebagian besar dari mereka juga menolak dan mengutuk film yang sangat melecehkan umat Islam tersebut. Namun sebagai aparatur negara yang memiliki peran dalam mengamankan stabilitas keamanan negara, tentu mereka harus berjuang untuk mengantisipasi sikap anarkis para pengunjuk rasa yang sama-sama kecewa dan marah terhadap film tersebut.
Hal tersebut juga dialami oleh oknum kepolisian di Indonesia. Menyusul aksi protes besar-besaran dibanyak kota di tanah air, Polri juga dengan sigap segera menjaga seluruh fasilitas milik Amerika Serikat yang menjadi sasaran amukan para pengunjuk rasa. Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal tersebut dilakukan aparat kepolisian bukan karena mereka simpati atau bahkan mendukung pemutaran film tersebut, namun yang menjadi alasan atas sikap mereka adalah tuntutan tugas yang memang mengharuskan mereka untuk menjaga segala fasilitas yang dikhawatirkan menjadi sasaran pengrusakan oleh pengunjuk rasa.
Seperti yang kemarin terjadi di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pengunjuk rasa yang merupakan gabungan dari beberapa ormas Islam di ibukota, melakukan aksi protes di depan kantor duta besar AS tersebut. Mereka menuntut agar pemerintah Amerika memberikan bersikap tegas kepada Sam Beccile yang merupakan pembuat film tersebut. Sama dengan aksi-aksi protes yang dilakukan demonstran di negara lain, aksi protes di Jakarta juga berakhir ricuh karena terjadi chaos antara pihak demonstran yang coba memaksa masuk ke dalam kantor kedutaan namun dihalangi oleh aparat kepolisian.
Hasilnya empat anggota polisi harus terluka mendapat lemparan batu dari para pengunjuk rasa yang bertindak anarkis karena merasa kecewa aksi mereka dihalang-halangi oleh aparat kepolisian. Ini merupakan satu bentuk tindakan represif karena tidak seharusnya para pengunjuk rasa menyerang polisi yang memang bertugas untuk mengamankan aksi demonstrasi tersebut. Sungguh prihatin kita melihat mereka yang harus menerima cidera padahal mereka bertugas dalam rangka mengawal kondusifitas keamanan masyarakat.
Walau terkadang banyak fenomena yang menciderai citra kepolisian yang dilakukan oleh sebagian oknum polisi yang tidak bertanggung jawab sehingga menghilangkan simpati dari masyarakat akan kinerja mereka yang sebenarnya sangat berat dan penuh tanggung jawab. Terutama di saat-saat seperti ini, bagaimana meraka dituntut untuk bekerja ekstra dalam menjaga dan mengawal jalannya unjuk rasa dan mengantisipasi adanya tindakan anarkis dari pengunjuk rasa.
Sehingga tidak salah jika kita memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada aparat kepolisian yang rela ikut berpanas-panasan, berlelah letih, bahkan terkadang harus berlarian tunggang langgang menghindari amukan massa karena suasana unjuk rasa yang sudah sangat tidak kondusif.
Bukankah Polisi Mitra Pengunjuk Rasa?
Kita tentu paham bagaimana perasaan para pengunjuk rasa yang marah akibat nabi junjungannya dihina, namun apakah rasa marah dan kecewa tersebut hanya dimiliki oleh mereka yang berunjuk rasa, bukankan aparat kepolisian juga banyak yang kecewa dan marah atas tindakan konyol dari produser gadungan tersebut. Apalagi jika kita jeli melihat, pihak aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya untuk mengawal jalannya aksi unjuk rasa harus merasakan lelah dan letih yang lebih diketimbang para pengunjuk rasa itu sendiri. Sebab sebelum pengunjuk rasa datang kelokasi unjuk rasa, personil kepolisian telah terlebih dahulu bersiaga menunggu massa yang ingin berunjuk rasa. Begitu para pengunjuk rasa datang, maka kesiagaan mereka juga seketika ditingkatkan untuk mengantisipasi seandainya terjadi tindak anarkis dan bentrokan oleh pengunjuk rasa yang tidak puas karena tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Dan ketika pengunjuk rasa telah selesai menyampaikan aspirasinya dan kembali pulang ketempatnya masing-masing, aparat kepolisian masih tetap tinggal dan bersiaga di tempat unjuk rasa untuk mengantisipasi apabila ada aksi susulan yang dilakukan oleh massa yang belum puas dengan aksi yang telah mereka lakukan sebelumnya. Hingga suasana benar-benar kondusif dan dipastikan tidak ada lagi aksi susulan, baru aparat kepolisian meninggalkan lokasi unjuk rasa.
Caci maki dan hujatan tidak jarang tertuju pada mereka yang sebenarnya sama sekali tidak punya hubungan dengan pembuatan film berdurasi 13 menit tersebut. Bahkan aparat kepolisian harus rela bermohon atau kadang sedikit memelas kepada pengunjuk rasa agar tidak bertindak anarkis dalam menyampaikan aspirasinya. Namun permintaan tersebut tetap tidak digubris oleh pengunjuk rasa yang kecewa karena pihak kedutaan Amerika tidak memberi jawaban yang memuaskan dan akhirnya para demonstran tetap melakukan tindakan anarkis.
Sudah saatnya kita bijak dalam berfikir, polisi tidak selamanya menjadi satuan yang harus mendapat antipati dari masyarakat. Dan kita harus benar-benar berani jujur untuk mengapresiasi bagaimana peran mulia mereka dalam mengawal dan memediasi antara pengujuk rasa yang ingin menyampaikan aspirasinya dengan pihak kedutaan Amerika Serikat. Meskipun masih ada oknum-oknum polisi nakal terutama mereka yang bertugas di satuan lalu lintas dan sering menimbulkan fobia pada masyarakat karena tindakannya menilang ala damai ditempat sehingga membuat masyarakat hilang simpati terhadap polisi.
Namun apresiasi akan kerja keras mereka sebagai garda terdepan untuk mengamankan, memediasi, dan menjadi sahabat setia yang selalu menemani para pengunjuk rasa yang kecewa dan marah atas pemutaran film Innocence of Moslems harus kita berikan kepada mereka ***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI Fis Unimed dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa, 28 September 2012

Rabu, 19 September 2012

Sakralisme Pancasila Yang Mulai Terkikis

Oleh : Eka Azwin Lubis
Begitu sakral dan urgen setiap kali kita membahas Pancasila yang merisikan tentang himpunan dari berbagai karakter, pola fikir dan gaya hidup setiap rakyat Indonesia. Sebab suka atau tidak suka, harus kita akui bahwa Pancasila yang diambil dari bahasa sansekerta yang berarti lima dasar tersebut merupakan landasan Idiologi Bangsa Indonesia. Maka dari itu secara otomatis Pancasila merupakan cerminan dari kehidupan seluruh Bangsa Indonesia.
Bila kita tarik kebelakang pasca kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, para pejuang Indonesia yang diwakili Panitia Sembilan berembuk untuk segera mengesahkan Dasar Konstitusi dan Dasar Idiologi Indonesia yang baru merdeka tersebut. Sebab sebelum proklamasi Indonesia dibacakan, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan telah melahirkan Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Perlu diketahui pula bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara didunia ini yang pada saat kemerdekaannya belum memiliki Dasar Konstitusi yang menjadi landasan dan tolak ukur untuk kedepannya negara ini melangkah. Oleh sebab itu Panitia Sembilan yang diketuai oleh The Father of Land, salah satu Proklamator, sekaligus Presiden pertama Indonesia, yaitu Ir. Soekarno bersama delapan orang lainnya segera melakukan rapat untuk mengesahkan Dasar Konstitusi Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah kemerdekaan, yang sekarang ini kita kenal dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan hingga saat telah mengalami empat kali amandemen yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan terkahir pada tahun 2002.
Dalam UUD 1945 tersebut pula dimuat Dasar Idiologi bangsa Indonesia yakni Pancasila yang terdapat dalam Preambule atau Pembukaan. Pancasila dibuat bukanlah tanpa dasar pemikiran dan kesepakatan yang kuat. Sebab Pancasila selain dianggap sebagai Dasar Idiologi Bangsa Indonesia, juga diharapkan dapat menjadi Landasan Hidup Bangsa, Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara, Dasar Hukum, Cita-Cita dan Tujuan Hidup Bangsa, dan yang terpenting adalah Pancasila juga merupakan Janji Luhur Bangsa Indonesia. maka begitu sakral dan urgennya nilai-nilai pancasila bagi seluruh bangsa Indonesia yang selain untuk pedoman, namun juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Isi dari setiap butir Pancasila mewakili setiap sendi kehidupan segenap rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, bahasa, budaya, dan tentunya karakter dan gaya hidup yang berbeda-beda pula. Namun Pancasila dapat menampung itu semua menjadi satu kesatuan yang utuh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Pancasila selalu digambarkan dalam kalungan Burung Garuda yang mencengkram tulisan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia dengan makna “ Walaupun Berbeda-Beda Namun Tetap Satu Jua”.
Manifestasi atau perwujutan nilai-nilai Pancasila dalam realita kehidupan bangsa Indonesia bukanlah tanpa halangan dan rintangan, sebab masih jelas dalam ingatan kita sejarah kelabu masa lalu bangsa Indonesia dalam mempertahankan Idiologi Pancasila yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih akrab dengan sebutan G30S/PKI dimana gerakan ini merupakan gerakan yang ingin merubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara yang beridiologi Komunis yang saat itu dimotori oleh Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pimpinan Kolonel Untung dan DN. Aidit.
Kesaktian dari Pancasila yang merupakan Janji Luhur Bangsa Indonesia dapat meredam semua itu walaupun dampak dari peristiwa tersebut Indonesia kehilangan putra-putra terbaik bangsa yang kita kenal dengan Pahlawan Revolusi. Mereka adalah orang-orang yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan para anggota PKI yang kemudian jasadnya dibuang di daerah Lubang Buaya Jakarta dan ditemukan pada tangga 1 Oktober 1965. Sehingga pada saat ini setiap tanggal 1 Oktober, Indonesia selalu memperingati hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang peritiwa tersebut. Begitu sakral dan saktinya Pancasila jika kita melihat tragedi tersebut. Karena Pancasila merupakan Dasar Idiologi bangsa yang tidak dapat ditukar ganti dengan apapun sehingga setiap orang Indonesia merasa berkewajiban untuk menjaga dan mengamalkan setia butir isinya.
Jika Dasar Konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 telah mengalami beberapa kali amandeman, bahkan pernah juga diganti seiring bergantinya sistem pemerintahan Indonesia pada masa lalu seperti diberlakukannya Konstitusi RIS pada saat Indonesia berbentuk negara Serikat antara 27 Desember 1945 sampai 17 Agustus 1950, dan diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara ( UUDS 1950 ) dari tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 September 1959, sebelum akhirnya kembali lagi menjadi UUD 1945 pada tanggal 5 September 1959 sampai sekarang setelah keluarnya Dekrit Presiden. Namun Pancasila yang merupakan Dasar Idiologi Indonesia tidak sekalipun pernah berubah isi dan jumlah butirnya.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pancasila benar-benar menjadi Kepribadian Bangsa Indonesia dimanapun berada. Karena Pancasila itu sendiri bersifat Supel dan Fleksibel yang dalam kata lain dapat diartikan  singkat namun mencakup keseluruhan dan dapat mengikuti setiap perkembangan zaman yang senantiasa bertukar. Bahkan Pancasila siap untuk disandingkan dengan Idiologi manapun yang tidak bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam setiap butirnya tanpa harus takut untuk menutup diri karena Pancasila merupakan Idiologi terbuka.
Implementasi Pengamalan Pancasila Saat Ini.
Jika kita bahas sekilas sejarah lahir dan bertahannya Pancasila hingga saat ini, ada rasa haru dan bangga kita sebagai generasi penerus Bangsa Indonesia. Sabab kita memiliki Pedoman Hidup dan Cita-Cita Bangsa yang begitu sakral dan fenomenal.
Namun apakah semua itu masih terdapat dalam jiwa setiap rakyat Indonesia. Pertanyaan ini wajar untuk diutarakan karena jika kita melihat realita kehidupan Bangsa Indonesia saat ini sangat jauh dari nilai-nilai dasar Pancasila yang perlahan mulai terkikis. Banyak anak bangsa yang mulai tidak mengamalkan isi setiap butir Pancasila, bahkan perlahan mulai dilupakan dan ditinggalkan oleh hampir setiap elemen kehidupan Bangsa Indonesia. Praktis Pancasila saat ini hanya menjadi pajangan dinding sekolah atau instansi pemerintahan dan swasta tanpa pernah untuk dikaji bahkan diaplikasikan dalam sendi kehidupan. Tidak jarang kita berfikir hanya seorang guru PPKn lah yang berkewajiban untuk membahas dan mengamalkan nilai-nilai dari Pancasila karena profesi menuntut mereka untuk melakukan hal itu. Namun selain dari mereka seakan tidak ada lagi yang merasa bertanggung jawab untuk mengamalkan setiap butir isi Pancasila. Ini terbukti dari jika kita bahas satu persatu nilai dasar Pancasila itu sendiri.
Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memiliki nilai dasar Tuhan. Memang benar saat ini hampir tidak ada lagi rakyat Indonesia yang tidak berketuhanan. Namun realita justru sangat memprihatinkan dimana tindakan dan tingkah laku buruk sebahagian rakyat Indonesia melebihi mereka yang tidak berketuhanan. Bagaimana kita melihat hampir setiap hari pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik mengabarkan bagaimana seorang anak yang tega membunuh ayah atau ibu kandungnya sendiri karena berbagai alasan. Belum lagi kisah bejat seorang ayah kandung yang sanggup menodai anak kandungnya sendiri. Bukankah hal itu dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama dan berketuhanan yang belum tentu akan dilakukan oleh orang-orang diluar sana yang justru tidak percaya dengan adanya Tuhan.
 Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sering kali kita dihadapkan pada kasus-kasus tentang ketidak beradaban sebahagian oknum bangsa Indonesia. Begitu banyak tragedi masa lalu yang mengisahkan bagaimana pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang hingga saat ini belum terungkap benang merahnya karena melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap negara. Bahkan yang palang update dan masih hangat dalam pembahasan adalah tragedi sengketa tanah di Mesuji, Lampung yang berakibat pada pelanggaran HAM yang dialami oleh para petani yang dibantai hingga tewas tanpa Prikemanusiaan. Apakah ini yang dinamakan Negara yang menjunjung tinggi keberadaban dan keadilan.
Ketiga, Persatuan Indonesia. Setelah kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) dapat didamaikan melalui perjanjian Helsinski, kini muncul lagi kelompok separatis lainnya yakni Operasi Papua Merdeka ( OPM ) yang memang bukanlah gerakan baru didunia separatisme Indonesia. Belakangan gerakan ini sering kali mencuri perhatian segenap rakyat Indonesia melalui aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang konon katanya merupakan bendera kesatuan meraka. Belum lagi gerakan separatis dari tanah Maluku yang menamakan dirinya Republik Maluku Selatan ( RMS ). Mereka semua melakukan gerakan separatis ini bukanlah tanpa alasan. Satu hal yang pasti meraka rasakan sehingga terjadi gerakan-gerakan ini adalah ketimpangan sosial yang meraka rasakan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dibawah naungan NKRI. Belum lagi konflik antar etnis atau yang paling sering terjadi adalah bentrokan anatar suku sepeti antara orang dayak dengan orang madura. Ini seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam menuntaskan kesenjangan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia agar tetap solid dan bersatu.
Keempat adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Memang harus diakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan Demokrasi kerakyatan. Namun dalam konteksnya, hal itu tidak didukung oleh oknum yang menjadi wakil rakyat yang justru kinerja mereka merusak tatanan kehidupan bernegara dan menyengsarakan rakyat Indonesia karena budaya korupsi yang kini telah menjamaah hampir disemua instansi pemerintahan, terutama digedungnya Anggota Dewan yang terhormat yang seharusnya menjadi penyambung lidah orang-orang yang telah memberi amanah terhadap mereka.
Kelima, atau yang terakhir adalah keadilah Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Bukan rahasia umum lagi jika kita berbicara keadilan dalam konteks bernegara yang selalu menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa keadilan itu belum tentu sama rata. Hal ini benar adanya dan dapat diterima akal sehat. Namun yang jadi pertanyaan adalah apakah setiap hak yang semestinya didapatkan oleh segenap bangsa Indonesia namun tidak dipenuhi oleh orang-orang yang menjalankan roda pemerintah seperti pendidikan minimal sembilan tahun dan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak didapatkan oleh mereka yang seharusnya berhak untuk mendapatkan, dan justru diperoleh oleh mereka yang tidak berhak untuk mendapatkannya. Lalu apakah ini yang disebut keadilan.
Semua itu dilakukan oleh rakyat Indonesia yang tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Maka apakah kita akan tetap menjalankan tradisi yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan Kepribadian, Pandangan Hidup, dan Janji Luhur Bangsa Indonesia. kalau kita mengaku Pancasila merupakan Jiwa bangsa kita, mengapa kita harus meninggalkan dan tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila agar sakralismenya tetap terjaga sampai kapanpun.

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed

Koalisi Bongkar Pasang


Oleh : Eka Azwin Lubis
Sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dimana negara ini berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui pemilihan umum dan berwenang atas kepemimpinan sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun.  Selain itu presiden dan dewan perwakilan (DPR) memiliki masa jabatan yang sama dan tidak bisa saling menjatuhkan, dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki posisi yang kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya relatif lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Namun Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer dalam menjalankan roda birokrasi dimana setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden sebagai pemangku kekuasaan negara dan pemerintahan, harus mendapat restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Division of Power (pembagian kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala sistem parlementer.
Sehingga dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa dalam pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah cara yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Oleh sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang diterapkan negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam mengaktualisasikan kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang bermunculan setiap kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi. Pada tahun 2009 saja ada 44 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dimana 16 diantaranya merupakan partai politik baru yang lolos verifikasi dan berhak untuk menjadi kontestan pesta demokrasi yang digelar tiap lima tahun sekali tersebut.
Dari 44 parpol yang bersaing pada pemilu tahun 2009 tersebut, hanya 9 diantaranya yang berhasil meraih kursi di DPR. Hal ini dikarenakan penerapan Parlemen Threshold yang mengharuskan setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara nasional untuk berhak mendapat jatah kursi di DPR. Sehingga hanya Partai Demokrat (20,85 %), Golkar (14,45 %), PDIP (14,03 %), PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra (4,46 %), dan Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR pusat untuk periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain yang mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi di DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Sembilan partai yang masuk dalam parlemen thereshold dan berhak mendapat kursi di DPR, enam diantaranya memilih untuk berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Boediono yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009/2014. Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PPP, dan PAN, marupakan partai yang siap untuk mendukung dan membantu pemerintah selama lima tahun kedepan. Mereka tergabung dalam Sekretariat Gabungan (setgab) yang dikepalai langsung oleh presiden SBY.
Sementara itu 3 partai lain seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura yang juga mendapat jatah kursi di parlemen, lebih memilih untuk menjadi partai oposisi pemerintah. Keputusan ini tentu menjadi hak tiap partai yang tidak dapat diganggu oleh partai lain sekalipun itu partai penguasa. Hal ini tentu juga membuat ketiga partai oposisi tersebut tidak mendapat jatah di kabinet sesuai tradisi yang diterapkan selama ini. Karena setiap partai yang masuk kedalam koalisi pasti mendapat jatah menteri di dalam kabinet yang telah diatur dalam kesepakatan koalisi.
 Ganti Formasi ala Penguasa
Namun seiring berjalanya waktu, partai koalisi yang tergabung dalam setgab dan telah membuat kesepakan untuk mendukung serta mengawal pemerintah yang dipimpin oleh presiden SBY dan wapres Boediono selama lima tahun masa jabatan diperiode yang kedua, mulai mengalami dinamika politik yang menggoyang keharmonisan dan kesolidan koalisi. Mulai dari manuver politik yang dilakukan oleh beberapa partai koalisi hingga keputusan-keputusan yang diambil oleh partai koalisi yang bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
PKS merupakan salah satu partai koalisi yang paling fenomena dalam manuver politik yang dilakukannya dengan menentang berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga mendapat sorotan yang cukup kuat dari sesama penghuni koalisi yang ingin mendapatkan kepastian sikap mereka apakah tetap konsisten untuk menjadi bagian dari koalisi yang seyogyanya harus mendukung setiap kebijakan pemerintah atau keluar dari koalisi yang telah berjalan hampir tiga tahun tersebut.
Kekisruhan ini dimulai sejak kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun rupiah. PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi mendorong terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana talangan yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan klimaks dalam penyelasaiannya.
Tidak berhenti sampai disitu sikap partai koalisi yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah, terakhir pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu april 2012, beberapa partai juga menolak untuk mendukung kebijakan yang dianggap tidak populer tersebut. Meskipun kebanyakan dari mereka menolak dengan cara dan bahasa yang normatif sehingga harga BBM urung dinaikan oleh pemerintah namun berdampak pada munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya. Yang artinya harga BBM bisa saja berubah tiap saat jika harga ICP juga mengalami perubahan.
Namun sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai koalisi dimana meraka justru menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi lain menolak dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan dengan tegas mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai partai berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka ambil mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun jatah kursi dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul manuver politik yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri yang dihuni oleh kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika yang dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul berbagai kebijakan PKS yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai berkuasa, langsung memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu koalisi kepada partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini merupakan partai oposisi, coba kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan barisan pemerintah sembari berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari koalisi. Silaturahmi politik antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut segera digelar untuk mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Namun Prabowo Subianto selaku ketua Partai Gerindra segera menepis anggapan kalau partainya akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Menurutnya, ajakan partai demokrat tidak sampai masuk dalam ranah koalisi partai, namun hanya sebatas pada ajakan kerjasama parlementer saja. Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Syarifuddin Sudding, menyatakan tidak tergiur dengan tawaran partai Demokrat agar Hanura masuk kedalam koalisi.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk mensejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan yang mengacu pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap kebijakan pemerintah.

Senin, 17 September 2012

Konflik Tanah Yang Tak Kunjung Usai (Opini Analisa)


Konflik Tanah yang Tak Kunjung Usai
Oleh : Eka Azwin Lubis

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Itulah kalimat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dan tujuan dari isi pasal tersebut adalah bahwa setiap rakyat Indonesia berhak untuk menggunakan kekayaan alam yang terdapat didalam bumi Indonesia untuk menjamin kemakmuran hidup mereka melalui pemanfaatan hasil dari kekayaan alam yang ada ditanah Indonesia dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atas segala hal yang meliputi kekayaan tanah dan alam yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah, dimana 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Data ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004. Ini merupakan satu fakta yang menunjukan betapa besar dan luasnya tanah yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, dari jumlah pulau yang mencapai 17.504 buat tersebut, luas total daratan yang dimiliki Indonesia mencapai 1.922.570 km² dimana 1.829. 570 km² merupakan daratan non-air dan 93.000 km² adalah daratan yang berair. Ini merupakan suatu anugrah luar biasa yang diberikan Tuhan kepada Indonesia karena memiliki begitu banyak pulau dan begitu luas daratan sehingga saat ini Indonesia dijuluki sebagai Negara Agraris karena sebahagian besar penduduknya bercocok tanam untuk memanfaatkan lahan yang begitu luas dibumi Indonesia.
Bahkan pada saat Anton Apriantono menjadi Menteri Pertanian di era Kabinet Indonesia Bersatu Pertama Indonesia sempat berpredikat sebagai negara yang berswasembada beras karena mampu memenuhi konsumsi beras lokal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki begitu luas lahan pertanian yang tentunya berada diatas tanah-tanah yang subur. Tidak bisa dipungkiri bahwa tanah Indonesia yang sangat luas memiliki potensial yang luar biasa, sebab selain subur untuk lahan pertanian, begitu banyak kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi Indonesia sehingga pihak asing begitu antusias untuk menjalin MoU kepada pemerintah Indonesia agar dapat memanfaatkan hasil bumi yang ada di Indonesia. Bahkan sejak zama orde lama sudah banyak perusahaan asing yang melakukan investasi untuk mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.
Dari mulai PT. Freeport yang merupakan perusahaan asing milik Amerika Serikat yang mengadu peruntungan dengan membuka tambang emas ditanah Papua yang memiliki kandungan emas cukup banyak. Di Sumatera Utara sendiri ada perusahaan asing yang juga membuka lahan tambang di Indonesia seperti PT. Indonesia Asahan Aluminium ( INALUM ) yang merupakan perusahaan milik Jepang yang didirikan di Kabupaten Batubara untuk memanfaatkan potensi alam yang cukup bagus di Batubara yang memiliki banyak cadangan Aluminium. Dan masih banyak lagi perusahaan asing yang berada di Indonesia terutama didaerah Kalimantan untuk menggarap kekayaan alam yang tersimpan dibawah tanah Indonesia.
Ayam Mati Diatas Lumbung Padi
Lantas bagaimana dengan nasib rakyat Indonesia yang seyogyanya merupakan sang empunya dari seluruh kekayaan yang ada di tanah Indonesia. Agaknya sebuah pepatah diatas cocok untuk menggambarkan kondisi yang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini. Sebab dari sekian banyak pulau dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia seharusnya negara ini mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, minimal hak atas tanah yang merupakan kewajiban negara untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa sesuai isi Pasal 2 ayat 2b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, yang bertujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur, sesuai isi Pasal 3 yang merupakan lanjutan dari Pasal 2 UUPA.
Namun realita yang ada justru berkata lain, sebab hingga saat ini negara belum mampu untuk menyelesaikan berbagai polemik kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang menyangkut tentang masalah pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus Tanah yang ada di Indonesia dan berakhir pada banyaknya korban yang jatuh karena konflik-konflik yang timbul akibat rebutan lahan yang terjadi baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan instansi swasta, maupun masyarakat dengan negara. Ini sungguh merupakan pukulan telak bagi kita dimana saat orang lain terus memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah Indonesia seperti yang dipaparkan diatas, sementara disaat yang sama rakyat Indonesia sendiri yang memang memiliki hak atas tanah-tanah yang dimiliki negara untuk kemakmuran hidupnya justru disibukkan dengan berbagai kasus-kasus rebutan lahan yang seolah tiada hentinya.
Kita masih ingat betul bagaimana konflik kasus program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati berskala luas, Marauke Integrated Food and Energy Estate di Kabupaten Marauke, Papua dimana terjadi konflik antara masyarakat adat dengan 36 Investor yang diantaranya Artha Graha. Medco, dan PT Bangun Tjipta Sarana, yang pada akhirnya pada tangga 3 Oktober 2010 PT Medco dan masyarakat Sanggase berdamai dengan memberi ganti rugi Rp 3 Miliar untuk tanah ulayat seluas 2.800 hektar tersebut. Masih mengenai konflik tanah adat, sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat menimbulkan sedikitnya 200 konflik di Ketapang Sanggau dan Sintang, Kalimantan Barat dikarenakan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar tahun 2010 terdata 550.000 hektar, namun izin yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektar.

Di Sumatera Utara sendiri konflik masalah tanah juga sering terjadi, seperti yang dialami oleh warga disekitar areal pembangunan Bandara Kualanamu di Kabupaten Deli Serdang dimana lahan yang dipakai untuk proyek pembangunan Bandara yang luasnya 1.365 hektar tersebut, 891,3 hektar di antaranya merupakan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang dilepaskan sejak Oktober 1997. Yang hingga kini masih belum tuntas masalah ganti rugi lahan tersebut, dan masih ada sekitar 44 Kepala Keluarga yang masih bertahan disana karena relokasi yang dijanjikan belum terealisasi hingga kini. Selain kasus tersebut, masih banyak lagi kasus tanah yang ada khususnya di Sumatera Utara. Menurut anggota Komisi A DPRD Sumut, Oloan Simbolon, sejak era reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan tentang sengketa tanah dan sampai saat ini belum ada yang diselesaikan atau dituntaskan.
Bahkan kasus sengketa lahan yang terjadi baru-baru ini di Mesuji, Lampung cukup menyita perhatian publik di Indonesia karena terindikasi akibat kasus tersebut terjadi pelanggaran HAM, walaupun jumlah korban dari kasus tersebut sampai saat ini masih simpang siur. Banyak pihak yang terlibat dalam Tragedi pembantaian ini yang dipicu oleh konflik rebutan lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta yang juga melibatkan pihak keamanan negara. Terlepas dari berapa banyaknya jumlah korban yang ditimbulkan akibat konflik tersebut, hal yang tak kalah penting untuk diungkap adalah mengapa hingga saat ini konflik yang ditimbulkan akibat rebutan lahan masih sering terjadi. Bukankah ini bentuk dari ketidak seriusan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Andai ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus didera masalah serupa. Sebab di Indonesia sendiri sudah berulang kali kasus serupa terjadi tanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Penyebab dari konflik lahan ini sendiri ada banyak hal seperti salah satunya adalah penggusuran yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun pemerintah tanpa ada relokasi yang jelas untuk pengganti tempat tinggal mereka yang digusur.
Dalam hal penyebab konflik tanah ini, Fia S.Aji (Kanwil BPN Gorontalo) pernah berpendapat bahwa secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain adalah harga tanah yang meningkat dengan cepat, Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya, Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dan pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu solusi yang paling pas untuk mengatasi ini semua adalah pemerintah harus serius dalam memberikan jaminan atas lahan kepada siapa saja yang memiliki hak atas lahan tersebut dan berani bertindak tegas kepada pihak-pihak yang coba mengganggu lahan pertanahan yang ada tanpa ada hak yang dia miliki. Selain itu pemerintah juga harus memiliki transparansi data mengenai Hak atas tanah kepada siapapun agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan yang selama ini menjadi pemicu banyaknya konflik tanah yang terjadi.

Apalagi tanggal 16 Desember 2011 kemarin, Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan RUU Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. RUU inilah yang diharapkan dapat menjadi dasar pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kedepannya. Walaupun pengesahan RUU ini sendiri sempat mendapat protes dari Ketua Fraksi PDIP, Tjahyo Kumolo karena beliau menganggap pemberlakuan Undang-undang tersebut akan terlalu pro kepada investor dan merugikan pemilik lahan. Disini sekali lagi sangat dituntut peran aktif dari pemerintah dalam mengawal berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah agar tidak terjadi perselisihan karena ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dibuat.
Sebab bagaimanapun Negaralah yang memiliki kuasa atas tanah dan berkewajiban untuk memberikan kemakmuran kepada setiap rakyat Indonesia melalui pemanfaatan tanah dan hasil bumi yang terkandung dalam wilayah Indonesia sesuai isi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang juga menjadi kalimat penghantar di atas.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa 29 Desember 2011