Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Jumat, 30 November 2012

SeHAMA ( Sekolah HAM Mahasiswa ) 2012


      SeHAMA adalah Sekalah HAM yang dibuat oleh KontaS untuk Mahasiswa/Mahasiswi se Indonesia agar para generasi muda Indonesia sadar dan paham terhadap perspektif HAM.
      SeHAMA pertama kali dibuat pada tahun 2009 atau yang kerap disebut SeHAMA angkatan I dan yang terakhir (dalam vidio) adalah SeHAMA angkatan IV tahun 2012.
pada SeHAMA tahun 2012 ini ada 28 orang Mahasiswa/i se Indonesia yang berpartisipasi dalam mempelajari seluk beluk mengenai HAM selama 21 hari di Jakarta.
      Untuk mengetahui lebih lanjut, mari sama-sama kita saksikan apa saja yang dilakukan selama SeHAMA berlangsung. Selamat Menikmati

Senin, 26 November 2012

Apakah Keadilan Hanya Milik Mereka ? (Opini Analisa)


 Oleh : Eka Azwin Lubis

Negara Indonesia adalah negara hukum.  Bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang senantiasa mengedepankan hukum yang hanya berpihak pada kebenaran demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono senantiasa mengatakan Indonesia harus menjadikan hukum sebagai panglima dalam menjalankan kehidupan bangsa disegala sektor agar keadilan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat. Hal ini seolah mempertegas supremasi hukum di Indonesia, karena selain telah dijamin penegakannya oleh dasar konstitusi negara tetapi juga disakralkan oleh pemimpin negeri untuk dijadikan landasan dalam manivestasi keadilan yang hakiki.
Jika aplikasi berjalan lurus dengan teori maka bukan hal yang mustahil butir ke lima Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akan terwujud tanpa ada diskriminatif dan nepotisme dalam pengamalannya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan beragam suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat.
Para pelopor bangsa Indonesia telah mampu untuk mempersatukan perbedaan itu semua dengan satu tekat yakni persamaan derajad bagi semua bangsa Indonesia dimata hukum dan mengedepankan keadilan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga Indonesia menjadi negara kesatuan sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, dimana semua golongan yang ada menjadi satu kesatuan utuh dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah wujud nyata yang dicita-citakan oleh para pejuang negeri dengan harapan setiap perbedaan yang ada pasti dapat disatukan dengan misi persatuan tanpa memandang kemajemukan yang ada sebagai masalah yang dapat memunculkan sikap ketidakadilan antar satu golongan dengan golongan lainnya yang dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan sesama anak negeri.
Satu hal yang perlu dipahami adalah keadilan tidak akan terwujud tanpa tegaknya hukum yang mengatur. Maka seperti yang dijelaskan diatas Indonesia menegaskan bahwa negara ini berbentuk negara hukum. Keadilanlah yang harus berada diatas segala – galanya dalam menakhodai jalannya kehidupan bangsa yang diharapkan akan mewujudkan kejayaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masih Adakah Keadilan Itu ?
Mungkin agak aneh ketika kita mendengar bagaimana seorang Ibu yang sedang mengandung dan akan segera melahirkan, lalu datang ke sebuah rumah sakit dengan maksud untuk segera mendapat pertolongan, namun yang didapat bukannya pertolongan dari seorang dokter atau bidan melainkan justru seorang petugas rumah sakit yang menanyakan apakah ibu punya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal tersebutlah yang senantiasa terjadi menimpa rakyat kecil yang ingin mendapatkan hak atas hidupnya yang telah diatur dalam UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 15 ayat 1 yang menerangkan bahwa Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Yang dalam hal ini dimaksudkan bahwa keadaan tertentu tersebut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, sesuai penjelasan ayat 2b pasal 15 UU tersebut.
Disini jelas bahwa yang berkewajiban untuk menyambut dan menangani sang ibu hamil hanya tenaga kesehatan yang ahli, bukannya seorang petugas rumah sakit yang menanyakan ada atau tidaknya Jamkesmas.
Hal ini merupakan satu contoh betapa aplikasi dilapangan selalu berbanding terbalik dengan apa yang menjadi teori dalam Undang – Undang atau bahkan UUD 1945 yang merupakan dasar hukum untuk perwujudan keadilan di negara ini. Banyak lagi ketidak sesuaian yang terjadi ditengah masyarakat yang terus mengancam eksistensi keadilan dimata negara hukum.
Hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan yang dirasakan oleh anggota DPR yang katanya merupakan wakil dari rakyat. Agaknya nama wakil rakyat tersebut hanya disandang dikala ada dana yang diperuntukkan buat rakyat harus melalui persetujuan mereka sebagai wakilnya, namun ketika ada boomerang nyata yang mengancam kehidupan orang yang diwakilinya mereka seolah tuli dan buta untuk menanggapi hal tersebut.
Fasilitas yang diterima oleh anggota dewan yang terhormat sangat besar, jika kita lihat pendapatan mereka yang duduk dikursi anggota DPR periode 2004-2011, untuk gaji pokok mereka pendapatan Rp 4.200.000/bulan, lalu ada tunjangan Jabatan Rp 9.700.000/ bulan, Uang paket Rp 2.000.000/bulan, Beras Rp 30.090/jiwa/bulan, Keluarga: suami/istri (10% X Gaji pokok Rp 420. 000/bln), anak (25 X Gaji pokok Rp 84.000/jiwa/bulan), Khusus pph, pasal 21 Rp 2.699.813. Belum lagi tunjangan lain-lain seperti Tunjangan kehormatan Rp 3.720.000/ bulan, Komunikasi intensif Rp 4.140.000/bulan, Bantuan langganan listrik dan telepon Rp 4.000. 000, Pansus Rp 2.000.000/undang-undang per paket, Asisten anggota (1 orang Rp 2.250.000/bulan), dan Fasilitas kredit mobil Rp 70. 000.000/orang/per periode. Itu semua belum termasuk biaya perjalanan, Rumah jabatan, dan Perawatan kesehatan uang duka dan biaya pemakaman jika ada anggota keluarga mereka yang meninggal.
Jumlah yang fantastis sekaligus membuat miris jika melihat kinerja sebahagian dari mereka yang menciderai hati para rakyat yang mengamanahkan jabatan tersebut kepada mereka. Budaya korupsi berjamaah yang selalu melibatkan anggota dewan dan para sekutunya merupakan cerminan betapa keadilan di negara hukum ini masih kerdil.
Kita bisa bayangkan bagaimana keadilan dinegara ini sangat mahal harganya dan sangat susah dicari wujud nyatanya. Sehingga tak kurang seorang tukang sampah rela menititkan air matanya melihat kehidupan rekan se profesinya menjalani kehidupan yang menyedihkan karena berada di negara yang tidak menghargai wujud keadilan kepada seluruh rakyatnya.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed.



Jumat, 23 November 2012

Masihkah Indonesia Negara yang Berkedaulatan Rakyat? (Opini Analisa)


 Oleh : 
Eka Azwin Lubis


Vox Populity Vox Dai, yang bermakna bahwa "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan". Kalimat tersebutlah yang menjadi jargon bagi setiap negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara berhaluan demokrasi yang berorientasi pada kedaulatan rakyatnya. Hampir semua negara didunia saat ini mulai menerapkan sistem demokrasi yang mengacu pada bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).

Negara kita melalui dasar Idiologi bangsa yakni Pancasila telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang berhaluan demokrasi yang mengedepankan sistem Permusyawaratan dan Perwakilan seperti yang tertuang dalam sila keempat Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan".

Bangsa Indonesia seolah paham betul bagaimana cara mengimplementasikan kehidupan berdemokrasi dalam sistem pemerintahan. Sebab jika kita melihat dari kacamata sejarah, rakyat Indonesia sudah mulai menerapkan demokrasi pada saat penandatangan naskah Proklamasi yang mengatas namakan bangsa Indonesia dan hanya diwakili oleh Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta, yang tentunya telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari segenap bangsa Indonesia yang ada pada saat itu. Dan akhirnya mereka pula yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia yang sekali lagi atas kesepakatan bersama rakyat Indonesia. Dari awal kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1966 atau tepatnya pada masa kepemimpinan Presiden pertama Ir. Soekarno yang disebut dengan Orde Lama, Indonesia telah menerapkan demokrasi melalui Pemilihan Umum ( Pemilu ) untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Tongkat estafet demokrasi tersebut dilanjutkan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden kedua RI.

Di masa era Orde Baru yang berjalan hampir 32 tahun dari mulai 1966 sampai 1998 ini, Indonesia melakukan enam kali Pemilu yakni pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan terakhir tahun 1999, yang oleh sebagian kalangan hanya dianggap sebagai formalitas semata karena dari beberapa kali Pemilu yang dilakukan hanya berakhir pada hasil yang sama yakni Golongan Karya (Golkar) yang keluar sebagai pemenang Pemilu dan berujung pada diangkatnya kembali Soeharto menjadi Presiden oleh MPR yang mayoritas ditempati oleh orang-orang yang loyal terhadap Presiden yang sering disebut sebagai Bapak Pembangunan tersebut.

Hingga akhirnya rakyat Indonesia yang dimotori kaum Intelektual (Mahasiswa) merasa bosan dengan kepemimpinannya dan melakukan berbagai aksi unjuk rasa untuk menurunkan kedigdayaan Presiden berbintang lima tersebut. Puncaknya adalah pada tahun 1998 dimana Indonesia termasuk negara yang terkena imbas dari krisis moneter yang menerpa banyak negara di kawasan Asia. Dimulai dari aksi yang dilakukan dari kampus ke kampus dan berakhir pada didudukinya gedung DPR/MPR oleh para Mahasiswa. Dari aksi tersebut banyak pelanggaran HAM yang terjadi yang dilakukan pemerintah yang hingga saat ini belum terselesaikan kasusnya. Namun berkat keberanian para pejuang Reformasi tersebut, pada 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie.



Belum sampai satu tahun Habibie menjabat sebagi Presiden, Indonesia kembali menggelar Pemilu pada tahun 1999 yang menghasilkan Indonesia memiliki Presiden keempat yaitu KH. Abdurahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur tersebut. Pasca tumbangnya era Orde Baru, Indonesia seolah menata ulang sistem pemerintahan yang dikenal dengan sebutan era Reformasi.

Pada era Reformasi ini, seakan Indonesia menemukan kembali gairah berdemokrasi yang berorientasi pada kedaulatan rakyat, dimana rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi dinegara ini sesuai cita-cita demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Namun ternyata apa yang diharapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang dialami, atau dengan kata lain Dos Sollen But Dot Sein.

Hal ini terbukti karena dari berbagai gaya kepemimpinan di era Reformasi, Presiden Indonesia yang telah berganti dari mulai Gus Dur ke Megawati, dan sekarang SBY yang telah menjabat hampir dua periode, Indonesia seolah di nina bobok kan oleh sistem pemerintahan yang berdemokrasi namun hampir mengarah pada Otoriterisme seperti yang terjadi di Timur Tengah. Bagaimana tidak, memang seorang Presiden dipilih langsung oleh rakyat Indonesia sebagai pimpinan Eksekutif dan para Anggota Dewan baik di pusat maupun daerah sebagai pimpinan Legislatif. Namun kinerja mereka sungguh sangat memprihatinkan dimana begitu banyak penyimpangan yang terjadi dari mulai kasus korupsi yang senantiasa berganti dari satu kasus ke kasus lain, ketimpangan sosial yang melanda rakyat Indonesia diberbagai daerah, penyiksaan TKI yang notebene nya adalah pahlawan devisa negara, sampai pelanggaran HAM yang masih terjadi dinegara yang mengaku berdemokrasi.

Bukankah ini mengindikasikan bahwa orientasi para pemimpin kita telah terdegradasi karena mereka yang seharusnya saling mengawasi kinerja masing-masing lembaga agar tidak terjadi penyimpangan justru saling menutupi kesalahan satu sama lain agar tidak ketahuan penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan secara massal yang tentunya sangat jauh dari nilai demokrasi itu sendiri.

Haruskah kita meniru apa yang telah dilakukan oleh rakyat Tunisia, Mesir, dan Libya untuk menyadarkan para pemimpinnya yang telah mengalami pengkerdilan demokrasi dalam menjalankan roda kepemimpinan. Bukankah negara kita mengajarkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dalam menyelesaikan setiap masalah. Tapi apabila penguasa negri sudah tidak mau belajar dari kasus-kasus yang melanda negara-negara yang mengkerdilkan demokrasi dan tidak merespon jeritan rakyat yang menuntut haknya sesuai cita-cita demokrasi, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami tragedi yang sama dengan negara-negara di Timur Tengah yang mulai melupakan kedaulatan rakyatnya. Karena negara demokrasi adalah negara yang Responsive terhadap tujuan rakyat dan civil society ( Morlino, 2004 ). ***



Penulis adalah Mahasiswa PKn Unimed dan Staf Pusham Unimed


Senin, 19 November 2012

Nasib Guru Honorer (Opini Medan Bisnis)


 Oleh : 
Eka Azwin Lubis

PROFESI guru dan dosen adalah bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Memiliki komitmen meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugas, memiliki kompetensi sesuai bidang tugas, memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Pasal 7 ayat 1a-e UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen itu menegaskan, bagaimana seharusnya keprofesionalan guru dan dosen diapklikasikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika kita lihat bagaimana realita saat ini tentang guru yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik, keadaan hidupnya sangat jauh dengan jasa yang mereka lakukan.
Namun itulah yang menjadi satu nilai lebih bagi seorang guru. Mereka tidak pernah menjadikan hal itu sebagai alasan klasik berhenti mengabdikan dirinya sebagai mentor, fasilitator, bahkan motivator bagi seluruh muridnya tanpa memandang golongan dan latar belakang mereka. Meskipun terkadang hal mulia yang mereka lakukan jarang berbalas dengan respon positif dari pihak-pihak yang bertanggung jawab akan kesejahteraan hidup mereka.
Namun itulah yang namanya pengabdian yang ditempah untuk mendedikasikan masa hidupnya sebagai tenaga pendidik. Panggilan jiwa yang tertanam kuat dalam diri para guru muda tersebut, mengantarkan mereka untuk berjumpa dengan anak-anak di daerah terluar Indonesia itu yang selama ini haus akan pendidikan.
Seperti kisah Philipus Ratuhurit, guru honorer selama 15 tahun di Desa Saengga, Kecamatan Babo, Manokwari. Saengga adalah salah satu desa terpencil di pedalaman Papua. Rumahnya dari bambu ukuran 2 x 3 m sebatas menginap dan memasak serta menyiapkan materi sekolah. Jika bukan karena profesinalitas dan rasa tanggung jawab sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan untuk membantu manusia lain menjadi cerdas, tentu mereka tidak akan pernah bertahan dengan keadaan itu.
Nasib tragis juga pada guru di kota. Para guru honorer misalnya, hanya memiliki penghasilan tidak lebih banyak dibanding tukang becak kayuh sekalipun. Jika dibandingkan pendapatan tukang kayuh becak dengan pendapatan gaji guru honor, jauh lebih besar pendapatan tukang becak.
Sebab saat ini, masih banyak guru honorer hanya mendapat upah rata-rata Rp 700 ribu. Itupun bisa diambil tiga bulan sekali. Jadi jika kita bagi Rp 700 ribu dengan 30 hari, berarti sekitar Rp 20 ribu/hari. Sedang tukang kayuh becak bisa mendapatkan Rp 30-50 ribu/hari. Padahal setiap tahun 20% dana APBN disalurkan ke dunia pendidikan.
Korban Target Kelulusan
Jika memasuki Maret yang merupakan awal persiapan menyambut Ujian Nasional (UN), pekerjaan para oknum guru juga otomatis bertambah. Tidak hanya memberi pelajaran ekstra kepada para peserta didik yang mempersiapkan diri mengikuti UN, tetapi juga melobi kesana-kemari untuk mendapat bocoran soal UN  demi target kelulusan 100%.
Oknum gurulah yang menjadi korban dari semua ini. Perjuangan mereka untuk mendidik para siswa selama tiga tahun untuk jenjang SMP dan SMA, terkesan sia-sia apabila ada siswa yang tidak lulus akibat UN. Sadar atau tidak, kecurangan itu merupakan dampak dari ketidak efektifan sistem pendidikan Indonesia.
Oknum guru yang menjadi barisan terakhir yang bersentuhan langsung dengan perbuatan yang seperti ini juga harus sadar bahwa ketidaktahuan mereka dengan cara memberikan jawaban pada saat UN merupakan boomerang nyata bagi kehidupan bangsa yang akan dipenuhi dengan manipulasi dan kecurangan sebab dari kecil para siswa sudah diajari dengan kecurangan dalam menggapai hasil kelulusannya.
Yang perlu diketahui oleh para guru adalah biarkan saja para siswa mengerjakan UN semampu mereka. Toh apabila pada akhirnya hasil yang didapat adalah banyaknya siswa yang tidak lulus akibat UN, ini bukanlah salah mereka, namun hal ini merupakan Pekerjaan Rumah sendiri bagi Kemendiknas untuk mengevaluasi sistem kelulusan yang selama ini mereka terapkan memang tidak efektif. (Eka Azwin Lubis)

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed

Jumat, 09 November 2012

Meniru Kesahajaan Pak Menteri (Opini Sumut Pos)


Sejak diumumkan perombakan susunan Menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, praktis dunia perpolitikan Indonesia disibukkan dengan berbagai prediksi siapa yang akan keluar, masuk, atau sekedar tukar posisi didalam susunan Kabinet yang baru.
Oleh : Eka Azwin Lubis
Dan pada saat tiba tanggal 18 Oktober 2011 dimana hari tersebut merupakan waktu yang dipilih Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono untuk mengumumkan hasil resshufle didalam kabinet yang mereka pimpin untuk waktu kurang lebih tiga tahun kedepan semua orang menunggu hasil resshufle tersebut.
Dari sekian banyak jumlah menteri dan wakil menteri tersebut, muncul satu nama baru yang cukup menarik karena prestasi kerja beliau sewaktu menjadi Direktur Utama (Dirut) PLN untuk masa bakti mulai 23 Desember 2009 sampai tanggal dilantiknya beliau sebagai Menteri Negara Badan Usaha Miliki Negara (Menneg BUMN) yang baru menggantikan Mustafa Abubakar.
Mustafa Abubakar sendiri menuai banyak kritik ketika tahun lalu mengeluarkan kebijakan yang tak mulus dalam penjualan saham Krakatau Steel, salah satu BUMN milik Indonesia seperti yang dikatakan oleh seorang penulis The Straits Times, Bruce Gale.
Beliau adalah Dahlan Iskan. Pria kelahiran Magetan 60 tahun yang lalu ini merupakan sosok pemimpin yang sederhana, nyentrik, ramah, dan ulet dalam mengemban amanah. Terbukti seperti yang diceritakan dalam buku “ Dua Tangis dan Ribuan Tawa “ saat Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN, walau hanya 2 tahun 9 bulan 25 hari, beliau mampu melakukan reformasi besar-besaran dengan Program sehari sejuta sambungan PLN.
Dan hasil dari perubahan yang beliau terapkan ini adalah krisis listrik yang telah terjadi puluhan tahun di Indonesia bisa diatasi oleh Dahlan Iskan (tentu bukan sendirian). Karyawan PLN yang sebelumnya minder kini lebih percaya diri lagi. Selain itu beliau juga dikenal sebagai Pemimpin Harian Jawa Pos sejak tahun 1982 dan mampu mendongkrak Income Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar dalam waktu 5 tahun.
Sejak diangkat dan dilantik Presiden SBY sebagai Menneg BUMN yang baru, praktis kehidupan seorang Dahlan Iskan seketika juga berubah, dimana jika selama ini beliau hanya membawahi satu BUMN yaitu PLN, kini beliau telah menjadi Leader bagi semua BUMN yang ada di Indonesia.
Namun, Ada yang aneh alias luar biasa pada Dahlan Iskan ketika SBY menunjuknya menjadi menteri BUMN. Dahlan Iskan yang berada di bandara untuk bersiap-siap ke luar negeri, menerima telephone dari  Presiden SBY yang melarangnya pergi, karena beliau ditunjuk menjadi Menneg BUMN yang baru.
Beliau menangis membayangkan bagaimana teman-temannya di PLN lagi semangat-semangatnya mengurusi dan memperbaiki listrik dan akan segera beliau tinggalkan. Ini merupakan tangisan kedua Dahlan Iskan, setelah tangisan pertama ketika rapat dengar pendapat dengan DPR dimana Dahlan Iskan memutuskan berani menabrak aturan asal tidak korupsi demi menerangi listrik daerah pedalaman di Sumatera.
Kejadian mengesankan tidak hanya sampai disitu. Pada hari pelantikan sebagai menteri yang baru, saat semua orang mengenakan sepatu resmi, Dahlan Iskan justru memakai sepatu kets atau olahraga. Hanya warnanya saja yang hitam untuk menunjukan keseragaman dengan yang lain. Saat ditanya soal penampilannya itu, Dahlan menjawab santai. “Sudah kebiasaan sangat lama,”
Seperti yang diberitakan oleh Maja News, Dahlan mengaku tak pernah mendapatkan teguran dari Presiden SBY atas kebiasaannya tersebut. Bahkan, beliau mengaku tak perlu izin presiden untuk urusan sepatu ini. Hal yang sangat jarang terjadi kini justru dilakukan oleh orang yang bukan dari latar belakang miskin. Karena kekayaan Dahlan Iskan mencapai Rp48 Milyar. Jauh melampaui Presiden SBY yang hanya memiliki kekayaan Rp7,6 Milyar saat melaporkan kekayaannya kepada negara.
Kekayaan Dahlan Iskan itu bukanlah hasil dari korupsi. Sebab sebelum menjadi Menteri, selain bekerja sebagai Dirut PLN beliau juga merupakan Pemimpin Grup Jawa Pos. Dahlan Iskan juga merupakan Presiden Direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta yakni PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.
Dan pada tahun 2002 beliau mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru. Sehingga wajar jika beliau memiliki jumlah kekayaan yang luar biasa dan hal inilah yang melandasi kinerjanya dalam menerapkan pelayanan ditubuh PLN yang jujur dan ikhlas tanpa korupsi, seperti yang diungkapkan oleh  Eddy D. Erningpraja, Direktur SDM dan Umum PLN.
Menteri Naik Kereta Api dan Ojek
Kesederhanaan tampaknya tak bisa luput dari diri seorang Dahlan Iskan. Bahkan satu kali Dahlan pernah bercerita tentang kehidupan masa kecilnya yang bertemankan kain sarung. Suatu kali beliau pernah diundang Presiden SBY untuk menghadiri rapat kerja pemerintah di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat tanggal 23 Desember 2011.
Karena takut kena macet dan terlambat beliau pergi menggunakan kereta api AC (commuter line) tanpa ditemani oleh ajudan atau pengawal layaknya seorang Menteri. Tidak sampai disitu, saat beliau tiba dan turun distasiun Bogor, beliau langsung mencari ojek untuk menuju Istana Bogor tempat rapat digelar.nDan Sebelum pukul 09.00 beliau sudah tiba di Istana Bogor dan tidak terlambat menghadiri rapat yang dipimpin Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono pada pukul 09.00.
Kejadian tersebut bukanlah hal yang aneh bagi Dahlan Iskan, sebab beliau memang senantiasa naik Kereta Api dalam beberapa kali kesempatan. Dan sewaktu beliau berada didalam Kerata kelas Ekonomi yang tarifnya hanya Rp 6000, beliau tidak pernah sungkan untuk bercengkrama dengan penumpang lainnya.
Jauh sebelum menjadi Menteri, Dahlan juga memiliki kebiasaan berangkat ke kantor berjalan kaki saat menjadi Dirut PLN. Hal ini mengingatkan kita pada sosok Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran yang tidak mau menggunakan fasilitas negara berupa mobil dinas dan lebih memilih mobil pribadi miliknya jenis Peugeot 504 buatan tahun 1977 sebagai kendaraan yang menghatarkannya dalam menjalankan tugas kenegaraan dan tanpa didampingi supir karena beliau lebih suka mengemudi sendiri.
Dahlan Iskan sudah menyusun program kerjanya sebagai Menneg BUMN seperti mengurangi campur tangan pemerintah di BUMN untuk memberi kebebasan dan otoritas kepada para direktur utamanya melakukan aksi-aksi korporasi. Selain itu beliau juga telah memiliki Program restrukturisasi aset dan downsizing (penyusutan jumlah) sejumlah badan usaha.
Dahlan juga menyatakan akan memangkas agenda rapat yang dinilainya tidak terlalu penting. Terlalu banyak rapat itu harus dikurangi 50 persen. Undangan ke BUMN juga harus dikurangi 50 persen,  kata beliau. “Lebih banyak kerja dari pada bikin rapat,” seperti yang ditulis viva team.
Kalau semua pejabat di Indonesia memiliki jiwa dan sifat seperti Dahlan Iskan yang santun dan bersahaja, bukan hal yang mustahil kalau Indonesia akan lebih terpandang karena kesederhanaan pemimpin dan rakyatnya dalam menjalankan hidup. Karena Indonesia merupakan negara yang masih kuat dengan budaya paternalistiknya, sehingga ketika pemimpinnya memberikan contoh otomatis anak buah mengikutinya.(*)


Penulis Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Sumut Pos, 8 November 2012