Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Sabtu, 13 Juli 2013

Pintar di Negara yang Salah (Opini Riau Pos)

Oleh : Eka Azwin Lubis
Kisah miris Helena Marthafriska Saragi Napitu sungguh menyentuh hati kita. Yakni  seorang siswi SMA Metheodist 2 Medan yang mendapat predikat siswa dengan nilai UN tertinggi peringkat 3 nasional, justru tidak lulus jalur SNMPTN/undangan.
Satu fenomena konyol terjadi di dunia pendidikan kita, bagaimana mungkin orang yang memiliki nilai tertinggi justru tidak lulus jalur undangan. Logika sederhana dalam benak kita tentu mempertanyakan, seberapa tinggi lagi nilai mereka yang lulus jalur undangan yang otomatis mengalahkan nilai Helena.
Helena merupakan ”anak bangsa yang cerdas di negara yang salah”. Saat mengikuti jalur undangan yang ditawarkan oleh sekolahnya, Helena memilih Fakultas Kedokteran UI dan Fakultas Kedokteran USU, namun ketika pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, namanya tidak muncul sebagai salah satu pemilik kursi di kedua PTN tersebut padahal sebelumnya dia mendapat predikat juara umum ketiga nilai UN tertinggi di Indonesia.
Hal ini menjawab pertanyaan kita bahwa semua kursi yang tersedia di PTN melalui jalur undangan sudah menjadi jatah-jatah para pemangku kepentingan tanpa melihat nilai UN yang harusnya menjadi salah satu acuan dalam seleksi penerimaan mahasiswa jalur undangan.
Kuatnya setoran ke orang-orang yang menjadikan dunia pendidikan sebagai wahana cari makan yang dilakukan oleh mereka yang menginginkan kursi di PTN melalui jalur undangan, mengalahkan nilai Helena yang sejatinya merupakan pemegang nilai tertinggi UN secara nasional.
Semoga saja pelaksaan SBMPTN ke depan yang merupakan harapan terakhir genarasi muda Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan di PTN kelas regular akan terhindar dari tindakan-tindakan memalukan dan tetap mengedepankan kejujuran dan etika moral.
Sudah sepatutnya dunia pendidikan kita melakukan introspeksi diri untuk terpeliharanya sistem pendidikan yang benar-benar mendidikan dan menghilangkan budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin lama semakin mengakar kuat dalam tubuh pendidikan kita.
Sangat memalukan jika pendidikan yang merupakan wahana pembentuk sumber daya manusia yang cerdas dan berkepribadian luhur harus diurus oleh mereka yang bermental hipokrit dan hanya berorientasi pada recehan semata.
Kesemrawutan pelaksaan UN jangan sampai tertular pada pelaksaan SBMPTN, sebab harus kita sadari bahwa begitu banyaknya generasi-generasi muda kita yang menggantungkan harapan mereka demi mewujudkan mimpi masuk PTN melalui pelaksaan SBMPTN ini.
Oleh sebab itu ayolah sama-sama kita jadikan pelaksanaan SBMPTN yang merupakan ajang baru bagi PTN untuk menyeleksi penerimaan mahasiswa baru, benar-benar bersih dari kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak.

Nama Baru, Pola Lama
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), merupakan cara baru yang dibuat pemerintah untuk menyeleksi para lulusan Sekolah Menengah Atas/sederajat yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri.
Hampir setiap tahun pola dan nama penjaringan calon-calon mahasiswa perguruan tinggi negeri ini berubah-ubah.  Tentu kita masih ingat sebelumnya seleksi untuk menentukan siapa-siapa yang layak menjadi mahasiswa di perguaruan tinggi negeri melalu jalur ujian bersama secara nasional ini bernama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
SNMPTN sendiri kini justru dijadikan nama untuk seleksi melalui jalur undangan bagi para peserta didik yang mendapat jatah dari sekolah masing-masing. Sebelum SNMPTN diperkenalkan, seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi negeri ini bernama Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Pada tahun 2013, SBMPTN diperkenalkan sebagai ajang penerimaan mahasiswa baru melalui jalur ujian tertulis dan praktik yang dilakukan pada tanggal 18 dan 19 Juni 2013  lalu di seluruh universitas negeri di Indonesia.
Dalam menghadapi ujian SBMPTN ini para peserta tidak kalah tegang dengan saat mereka melakukan Ujian Nasional yang penuh dengan rekayasa dalam pelaksaannya sebagai ajang penentu kelulusan mereka dari Sekolah Menengah Atas/Sederajat.
Meski pelaksanaan SBMPTN memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibanding pelaksaan UN, namun tidak menutup kemungkinan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan objektivitas hasil ujian akan timbul karena bobroknya sistem pendidikan yang ada saat ini.
Antrean panjang di hampir semua Bank Mandiri yang merupakan instansi tempat penjualan pin bagi calon mahasiswa yang ingin mendaftar SBMPTN, menunjukan tingginya minat dan antusias siswa/siswi Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri.
Sebagai salah satu representatif tingginya pemintat PTN adalah setiap tahun puluhan ribu orang mendaftar di setiap universitas negeri yang hanya menyediakan kursi tidak lebih dari puluhan ribu bagi calon mahasiswa baru.
Agaknya masyarakat Indonesia masih menggantungkan harapan yang besar untuk masuk PTN sebagai wadah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena harus diakui bahwa banyaknya keunggulan yang ada di PTN memberikan harapan segar bagi mereka yang selama ini memiliki anomali perspektif terhadap dunia pendidikan, seperti besarnya biaya kuliah.
Faktor ekonomi kerap menjadi kendala bagi kebanyakan orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, namun banyaknya beasiswa yang ditawarkan oleh PTN membuat mereka sedikit lega dan berambisi agar salah satu kursi di PTN menjadi hak anak mereka.
Tidak sedikit juga calon mahasiswa baru yang mengejar masuk PTN dengan motif gengsi, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa PTN memiliki image  yang lebih baik dibadingkan PTS yang pada dasarnya hal ini tidak bisa diamini dengan serta merta, karena kualitas pendidikan tidak sepenuhnya ditentukan dengan tempat bernaungnya peserta didik, melainkan lebih kepada sumber daya manusia yang akan menerima input ilmu dari dosen-dosennya.
Segala upaya dilakukan bagi mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan jatah jalur undangan dari sekolahnya agar tetap bisa masuk ke PTN, termasuk melalui jalur SBMPTN yang seleksinya tergolong berat karena memerlukan kerja keras dalam belajar dan keberuntungan yang harus menyertai.
Tidak hanya kecerdasan berpikir yang harus dimiliki, faktor keberuntungan juga sangan dominan dalam menentukan kelulusan kita saat mengikuti SBMPTN.  Oleh sebab itu, karena pertarungannya yang luar biasa dari, membuat SBMPTN mendapat image yang lebih tinggi daripada mereka yang masuk PTN melalui jalur undangan.
Kita pahami bahwa banyak manipulasi yang terjadi saat penyeleksian jalur undangan dilakukan, jika selama ini kita kerap berpikir bahwa kecurangan jalur undangan hanya dilakukan oleh sekolah dengan ”menyuci rapor” siswanya agar memiliki nilai yang tinggi dan dapat diterima di berbagai PTN, kini kebusukan baru dari jalur undangan kembali terungkap yang pelakunya tidak hanya pihak sekolah melainkan di tingkat pusat.***



Eka Azwin Lubis, Staf Pusat Studi HAM Unimed dan aktivis HMI

0 comments:

Posting Komentar