Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Jumat, 26 Juli 2013

Negara Abai Hak Narapidana (Opini Pontianak Post)



Oleh : Eka Azwin Lubis
Menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Narapidana adalah Terpidana yang Menjalani Pidana Hilang Kemerdekaan di LAPAS.  Meski berada dalam tahanan, bukan berarti narapidana tidak punya hak yang harus dijaga dan dihormati oleh setiap orang, sebab pada dasarnya semua narapidana yang ditahan karena melakukan tindak kejahatan merupakan manusia yang memiliki hak serta kewajiban sama di mata hukum sehingga tidak dapat dinafikan oleh siapapun dengan alasan status mereka yang seorang narapidana.
Pesoalan muncul manakala perspektif yang terbangun adalah setiap orang yang berstatus narapidana tidak layak untuk mendapatkan haknya secara utuh karena dia telah melanggar hak orang lain. Kerancuan berfikir inilah yang kemudian diamini oleh tindakan hukum yang dilakukan oleh para pemangku kewajiban dengan melakukan tindakan sesuka hati meraka terhadap narapidana.
Kasus yang paling hangat terkait keterancaman hak-hak narapidana selama menjalani masa tahanan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan ketika para narapidana ramai-ramai membakar lapas karena tidak adanya ketersediaan air dan listrik kepada mereka. Tentu permasalahan pembakaran lapas yang berakibat tewasnya 5 orang napi dan sipir serta kaburnya ratusan napi ini tidak hanya bermotif seperti yang dijelaskan di atas saja, ada permasalahan kompleks lain yang mendasari aksi brutal para napi yang kemudian membuat dunia hukum Indonesia tersontak atas apa yang terjadi di salah satu lapas terbesar di Indonesia ini.
Pengawasan yang super ketat dari para sipir lapas seolah tidak mampu meredam amukan napi yang merasa jengah dengan tindakan yang mereka alami sehingga muncul inisiatif untuk menyusun scenario yang berujung pada pembakaran lapas dan kaburnya ratusan napi dari tanjung gusta.
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan bahwa kasus ini terjadi akibat over kapasitas di dalam lapas tanjung gusta. Lapas yang hanya mampu menapung sekitar seribu napi tersebut justru dihuni oleh sekitar 2500an napi. Minimnya ketersediaan tempat merupakan penyebab over kapasitas ini, sehingga suka atau tidak suka tempat yang ada harus dimaksimalkan untuk menampung para pelaku tindak kejahatan yang semakin hari jumlahnya semakin banyak dan tidak diikuti dengan perbaikan sarana yang memadai untuk menampung mereka.
Alasan ini tentu terlalu usang untuk dikonsumsi publik sebab sama-sama kita pahami bahwa harusnya tidak ada lagi alasan over kapasitas yang muncul setiap kali ada kasus kaburnya tahanan di lapas, sebab besarnya kucuran dana ke Kemenkumham agaknya cukup untuk menambah jumlah lapas dan memperbaiki setiap lapas yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Pemerintah tidak boleh tutup mata atas kejadian ini dan mencari kambing hitam serta segala alasan untuk memperbaiki diri, sebab apapun ceritanya, jika ada permasalahan yang terjadi di lapas maka Kemenkumham lah yang harus bertanggung jawab. Jika sudah tidak mampu mengemban amanah untuk mengurus hak asasi setiap manusia Indonesia, satu langkah bijak yang harus diambil oleh Menkumham adalah mengundurkan diri.
Pada prinsipnya mengurus HAM bukan sekedar jatah jabatan melainkan harus benar-benar profesional dalam mengemban amanah yang diberikan. Karena kurang profesionalnya Menkumham Indonesia saat inilah yang membuat rancuh kehidupan hukum dan HAM kita, sehingga apabila ada permasalah yang berkaitan dengan hukum dan HAM di negara ini, maka Wamenkumham jauh lebih aktif dan progresif dalam menyikapinya, sementara sang menteri hanya menjadi penyemangat dari belakang.
Jangan salahkan sipir lapas yang bekerja dengan penuh tekanan dari para napi yang mendapat kehidupan tidak layak selama berada dalam tahanan. Sipir yang mendapat gaji minim dari apa yang merka kerjakan kerap menjadi kambing hitam dari setiap apa yang terjadi di lapas, sementara di sisi lain mereka jugalah yang harus menanggung beban karena berhadapan langsung dengan narapidana yang terkadang tidak segan-segan menebar teror karena mendapatkan pelayanan yang jauh dari niali-nilai manusiawi.

Senin, 15 Juli 2013

Subsidi BBM Tidak Membuat Miskin Negara (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis 
Pemerintah kembali mengeluarkan wacana untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setelah beberapa kali gagal untuk merealisasikan wacana ini sejak tahun lalu. Banyak pihak yang menganggap kebijakan pemerintah ini sudah tidak populer dimata masyarakat luas. Apalagi jika kita bandingkan harga BBM dinegara berkembang yang keadaan ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, kita akan menemui fakta yang sangat funtastis.
Venezuela merupakan negara berkembang dikawasan Amerika Latin yang mematok harga tak lebih dari 585 Rupiah untuk penjualan satu liter BBM. Negaranya Alm. Hugo Chavez tersebut merupakan negara yang sektor ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Turkmenistan yang notabenenya juga merupakan negara berkembang, mampu menjual BBM kepada rakyatnya hanya dengan harga 936 Rupiah per liter. Dan masih banyak lagi negara yang sama-sama sedang berkembang seperti Nigeria, Libya, dan Iran, yang mampu menjual BBM kepada rakyatnya dengan harga yang sangat rendah.
Dapat dibayangkan bahwa lebih mahal harga sebatang rokok di Indonesia dari pada seliter BBM dinegara-negara tersebut. Hal yang sesungguhnya sangat memprihatinkan terjadi dinegara kita yang memiliki kekayaan minyak bumi namun masih belum mampu menjual BBM dengan harga yang rendah.
Harapan rakyat Indonesia dapat membeli BBM dengan harga rendah seperti negara berkembang diatas agaknya hanya akan menjadi mimpi disiang bolong. Bukan turunnya harga BBM yang dibincangkan oleh pemerintah kita, namun justru kebijakan untuk menaikan harga BBM yang dibahas oleh pemerintah belakangan ini menyusul naiknya harga minyak dunia. Pemerintah berdalih apabila subsidi yang selama ini dikeluarkan untuk harga BBM tidak dikurangi, maka APBN negara akan mengalami defisit. Benarkah demikian?
Jika kita melihat kompilasi data dari beberapa ekonom yang tidak bermahzab neolib, Pertamina yang merupakan perusahaan negara yang membidangi masalah minyak memperoleh hasil penjualan BBM premium pertahun sebanyak 63 milyar liter dengan harga 4.500 Rupiah per liter, yang berarti hasilnya 283,5 Triliun Rupiah. Namun Pertamina harus membayar impor dari pasar Internasional 149.887 Triliun Rupiah, biaya pembelian pertamina dari pemerintah sebesar 224,546 Triliun Rupiah, dan pengeluaran uang untuk Lifting + Refining + Transporting (LTR) oleh pertamina adalah 63 Milyar @ 566 Rupiah yang sama dengan 35.658 Triliun Rupiah. Berarti seluruh jumlah pengeluaran partamina adalah 410.091 Triliun Rupiah. Pengeluaran dan penghasilan pertamina pertahunnya selisih 126.591 Triliun Rupiah, dan angka tersebutlah yang harus disubsidi pemerintah.
Namun harus diingat juga bahwa pemerintah memperoleh hasil penjualan kepada pertamina sebagaimana tadi telah disebutkan diatas yang mencapai 224.546 Triliun Rupiah. Maka jika hasil penjualan pemerintah kepada pertamina dikurang dengan jumlah dana untuk subsidi BBM, kita akan menemui hasil 224,546 Triliun Rupiah - 126.591 Triliun Rupiah, yang berarti sama dengan 97.955 Triliun Rupiah.
Yang jadi pertanyaan adalah kemana dana bersih 97.955 Triliun Rupiah yang dihasilkan pemerintah selama satu tahun penjualan BBM premium. Bukankan tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam hal ini. Kesimpulannya adalah dana APBN sebenarnya tidak akan defisit apabila pemerintah terus mensubsidi BBM kepada rakyat. Justru keuntungan bersih pertahun yang didapat pemerintah setelah mensubsidi BBM yang mencapai 97.955 Triliun Rupiah. Apakah masih kurang banyak keuntungan yang dihasilkan pemerintah sehingga ingin membuat kebijakan untuk menaikan harga BBM.
Jika melihat hasil keuntungan yang didapat pemerintah selama ini dalam penjualan BBM kepada masyarakat, wajar kiranya penolakan terjadi seiring ingin dinaikaanya harga BBM oleh pemerintah. Penolakan-penolakan tersebut terjadi setiap hari diseluruh daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan anarkis. Meskipun cara-cara anarkis sangat tidak dibenarkan dalam setiap aksi unjuk rasa, namun cara tersebutlah yang dianggap ampuh oleh para pengunjuk rasa untuk menggugah hati para penguasa negeri ini untuk mengurungkan niat menaikan harga BBM.
Fenomena Tahunan
Tentu masih segar dalam ingatan kita satu tahun yang lalu wacana kenaikan harga BBM juga dilontarkan oleh pemerintah, namun hasilnya adalah selain penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, anggota DPR sebagai pemerintah legislatif juga tidak seluruhnya mendukung kebijakan untuk menaikan harga BBM tersebut.
Sebagian dari mereka justru dengan tegas menyatakan bahwa harga BBM tidak perlu dinaikan karena sesungguhnya tidak ada ancaman akan jebolnya dana APBN apabila harga BBM tidak dinaikan.
Dari sembilan fraksi di DPR, tiga fraksi dengan tegas menolak wacana kenaikan harga BBM apapun alasannya. Sebab mereka menganggap kebijakan ini sangat tidak pro rakyat dan bukan kebijakan yang populer. Apalagi saat ini dana APBN masih mampu untuk mensubsidi harga BBM meskipun harga minyak dunia sedang mengalami kenaikan.
Fraksi PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura merupakan tiga fraksi yang tegas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Sementara enam fraksi yang merupakan koalisi dari pemerintah sendiri tidak memiliki kesepemahaman dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM ini atau dengan kata lain terjadi pecah kongsi dalam sikap keenam fraksi koalisi.
Opsi yang ditawarkan dalam sidang paripurna tahun lalu adalah isi pasal 7 ayat 6 tersebut tidak mengalami penambahan atau mengalami penambahan. Jika opsi pertama disetujui maka harga BBM tidak akan naik karena sudah ditegaskan dalam pasal 7 ayat 6 tersebut.
Sementara apabila opsi kedua tersebut yang diambil, maka ada penambahan pasal 7 ayat 6a yang menyatakan pemerintah bisa menaikan harga BBM apabila harga pasaran minyak dunia meningkat hingga 15 % yang artinya ada kemungkinan bahwa harga BBM akan berubah sesuai harga pasaran minyak dunia.
Akhirnya melalui sidang yang sempat diwarnai insiden kericuhan tersebut diambil opsi yang kedua dengan cara voting. Sungguh hal yang ironis melihat bagaimana pemerintah kita sampai saat ini belum bisa memahami nasib rakyatnya sendiri.
Meskipun mereka berdalih subsidi yang ditarik akan dialihkan pada berbagai sektor lain termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Namun kebijakan untuk memberi bantuan kepada rakyat miskin tersebut nantinya juga pasti akan mengalami pro kontra dalam pelaksanaannya seperti halnya Bantuan Langsung Tunai yang merupakan program sejenis dan saat ini telah mandek karena tidak sesuai sasaran dalam penyalurannya.
Semoga pemerintah kita semakin bijak dalam membuat keputusan yang menentukan nasib rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang berprikemanusiaan.
Sudah sepatutnya seluruh warga negara Indonesia saling menghargai dan mengerti nasib sesamanya, termasuk pemerintah yang merupakan wakil rakyat, harus memahami kondisi rakyatnya. Jangan hanya ingin memperkaya diri sendiri namun nasib rakyat banyak diabaikan.***
Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed

Jurus Provokasi Televisi (Opini Analisa)

Oleh: Eka Azwin Lubis
Di abad ini televisi memiliki peran signifikan dalam percaturan hidup manusia di semua lini. Sebagai media yang memiliki fasilitas audio visual, televisi mampu mnyuguhkan hal yang bisa didengar layaknya radio sekaligus juga dapat dilihat oleh mata. Banyak kejadian di seluruh belahan dunia yang dapat kita saksikan secara langsung melalui tayangan televisi. 
Berkat kecanggihan fasilitasnya pula, televisi kini menjadi parameter tersendiri untuk mendongkrak popularitas seseorang. Seperti pepatah klasik yang menyatakan bahwa siapa yang ingin menguasai dunia, maka ia harus menguasai media. Agaknya pepatah ini disadari betul oleh insan manusia yang terus menjadikan televisi sebagai sarana untuk meraih popularitas demi tercapainya kepentingan yang dia inginkan.
Jika kita merujuk pada konteks pertelevisian dalam negeri, peran televisi terasa sangat begitu urgen karena mayoritas penduduk Indonesia sudah menjadikan televisi sebagai bahan kebutuhan primer. Kita bisa bayangkan banyak hal yang menjadi kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh televisi, mulai dari hiburan, olahraga, hingga segala jenis berita terus menghiasi tayangan televisi, sehingga tidak jarang manusia rela menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di depan televisi. 
Karena hal tersebut tidak heran jika belakangan dunia politik Indonesia juga tertular latah televisi. Segala aktivitas yang berkaitan dengan perpolitikan bangsa dapat dengan gamblang disaksikan oleh semua masyarakat melalui jasa televisi. 
Netralitas televisi
Jika bicara tentang tayangan berita, tentu kita sepakat bahwa ada dua stasiun televisi di negara ini yang punya kekuatan besar dalam menyita perhatian pemirsa karena suguhan berita yang diberikan cukup banyak. TV One dan Metro TV adalah dua stasiun televisi yang menjadikan berita sebagai prioritas penayangannya. Mereka mencoba untuk membedakan haluan dari stasiun lain yang selama ini condong untuk menayangkan sinetron, hiburan, atau kuis, sehingga dengan mudah masyarakat Indonesia yang memiliki minat terhadap segala jenis berita untuk memperbarui khasanah informasinya beralih kekedua stasiun tadi.
Persoalan muncul manakala televisi telah dijadikan panggung pertarungan politik karena netralitasnya dalam memainkan peran mediator terkesan semu. Sama-sama kita ketahui bahwa saat ini stasiun-stasiun besar televisi dimiliki oleh orang-orang yang sarat kepentingan dengan dunia politik tanah air. 
Surya Paloh yang kini menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) merupakan pemiliki Metro TV yang sama-sama kita ketahui banyak menyuguhkan berita tentang konstalasi politik Indonesia. 
Dengan demikian sudah barang tentu Metro TV begitu kental dengan warna Nasdem yang kemudian sedikit menciderai netralitasnya sebagai parameter berita tanah air. Tentu kita sering mengalami fenomena ketika sedang asyik menonton tayangan berita di Metro TV, seketika dikejutkan dengan Breaking News untuk menayangkan Surya Paloh yang sedang berpidato di suatu tempat. Hingga saat ini saya belum mengetahui apa substansi dari hal tersebut jika kita merujuk pada urgensifitas isi pidato beliau.
Memang tidak salah bila beliau dan seluruh kru Metro TV melakukan hal tersebut karena yang berpidato juga yang punya media, namun jika melihat pada profesionalitas penayangan, hal tersebut agak kurang berkena karena sesungguhnya Surya Paloh hanyalah seorang ketua umum parpol yang tentu saja bukan satu-satunya di Indonesia. 
Lain lagi dengan TV One yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie. Stasiun yang berada dalam naungan VIVA bersama ANTV ini kerap menyuguhkan berita yang kental dengan nama Aburizal Bakrie (ARB). Kita sangat jarang mendapatkan ulasan terkait kasus lumpur lapindo di sidoarjo yang menyeret nama ARB sebagai aktor utama dalam tragedi tersebut karena hal itu dapat memupus popularitas ARB yang belakangan santer diberitakan sebagai salah satu calon presiden Indonesia.
Ada kejadian unik yang saya saksikan terkait hubungan TV One dengan kasus lumpur lapindo. Ketika saya mengikuti sekolah HAM di Kontras Jakarta sekitar pertengahan bulan juni 2012 lalu, ada seorang korban lumpur lapindo yang berjalan kaki dari sidoarjo ke Jakarta untuk mencari keadilan kepada presiden RI. 
Saat sampai di kantor kontras Jakarta saya melihat banyak stasiun televisi yang meliput korban dan mewawancarainya terkait tekatnya yang begitu besar, namun saya sama sekali tidak melihat presenter TV One hadir disana untuk turut meliput berita tersebut. Saya berfikir itu hal yang wajar karena korban akan membeberkan tentang kebobrokan sang pemilik TV One. 
Namun betapa terkejutnya saya ketika korban muncul di Apa Kabar Indonesia Malam yang merupakan salah satu tayangan TV One beberapa hari kemudian. Dalam tayangan tersebut korban meminta maaf kepada ARB karena telah melakukan hal tersebut karena menurutnya ARB adalah orang yang begitu baik dan dermawan sehingga tidak pantas untuk diadukan ke presiden. Aneh memang melihat fenomena tersebut karena kita seolah dihadapkan pada sandiwara politik usang yang dimainkan oleh pemangku kepentingan melalui media televisi.
Kecerdasan Presenter
Terlepas dari netralitas televisi yang masih semu, ada hal yang tidak kalah menarik untuk dibahas terkait penayangan televisi. Presenter merupakan orang yang begitu sentral dalam dunia pertevisian. Banyak cara dan ciri yang harus dimiliki oleh presenter televisi dalam menarik perhatian pemirsa.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiraman sosiolog UI, Thamrin Tomagola yang dilakukan oleh kader FPI, Munarman saat tayangan langsung di acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One. 
Sontak kasus itu menjadi pemberitaan yang heboh di tanah air karena sikap yang tidak dewasa dari kedua narasumber tersebut.
Namun ada satu hal yang harus dicermati dalam kejadian itu, peran presenter TV One dalam memancing emosi kedua narasumber untuk berdebat hingga terjadinya insiden memalukan itu cukup berhasil. 
Aksi provokasi tidak bisa lepas dalam setiap penayangan yang dilakukan oleh stasiun televisi kita, apalagi jika tokoh yang diundang memiliki faham yang berseberangan. Mereka seolah berfikir manakala perdebatan sengit terjadi maka minat pemirsa untuk menonton tayangan mereka akan semakin tinggi. Hal yang paling naïf adalah sikap menghakimi yang kerap dilakukan oleh stasiun televisi terhadap berbagai kasus. 
Lebih dari itu, tidak hanya presenter tayangan berita saja yang menjadi permasalahan dalam dunia pertelevisian kita. Olga Syahputra yang konon merupakan presenter diberbagai tayangan hiburan dan hanya mengandalkan modal lelucon kampungan sehingga kerap mengundang kontroversi.
Pelawak kacangan yang sama sekali tidak punya bakat melawak dan diorbitkan melalui beberapa tayangan hiburan itu belakangan tersandung kasus tentang pelecehan yang dilakukannya kepada seorang dokter di acara Facebookers yang ditayangakan oleh ANTV. 
Karena tidak punya kecerdasan dalam menghibur penonton, dia kerap menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon yang tidak jarang justru menyinggung sang objek leluconnya.
Semoga saja sekelumit tulisan ini mampu untuk menjadi bahan introspeksi kita semua bahwa televisi Indonesia saat ini masih sarat dengan nilai provokasi yang dimobilisasi oleh presenter yang kurang memiliki kecakapan dalam bermedia.***
* Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

Krisis Identitas Masyarakat (Opini Kendari Pos)

Oleh : Eka Azwin Lubis *)

Hari  ini kita dihadapkan oleh berbagai peristiwa sosial yang senantiasa terjadi silih berganti seolah tanpa henti. Mulai dari ketimpangan sosial yang terus menjadi masalah ditengah kehidupan berbangsa sehingga perlahan mulai mengikis eksistensi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang seyogyanya merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia karena dipilih langsung oleh masyarakat Indonesia melalui pemilihan umum untuk diamanatkan menjadi orang-orang yang dapat menyambung berbagai aspirasi rakyat untuk mendapatkan kelayakan hidup dalam berkebangsaan.

Selain itu masalah ekonomi yang tak kunjung usai juga menjadi satu hal yang cukup urgen dalam setiap pembahasan kinerja pemerintah diberbagai tempat. Belum lagi masalah-masalah lain seperti kebebasan berkeyakinan dan beragama yang kerap menimbulkan konflik antar sesama pemeluk agama yang memiliki pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menjalankan ritual agama dan kepercayaannya, dimana makin hari rakyat Indonesia makin tidak dewasa dalam menerima berbagai perbedaan yang ada karena Indonesia memang bukanlah tempat atau negaranya satu golongan saja sehingga kita tetap harus bersentuhan langsung dengan mereka yang memiliki perbedaan dan kedewasaan untuk  dapat menerima dan saling bertoleransi dengan perbedaan itu kerap menjadi tuntutan.

Negara ini sangat disubukan oleh banyaknya masalah yang diakibatkan oleh ketidak harmonisan antara pihak pemerintah dan masyarakatnya dalam menjalankan roda kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan pemerintah yang seharusnya menjadi orientasi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan justru sibuk mementingkan masalah pribadinya sehingga menghilangkan rasa idealismenya sebagai pelayan rakyat yang bertugas memberikan atau memfasilitasi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Tidak hanya pemerintah saja yang saat ini mengalami krisis identitas,  rakyat juga seolah tidak menyadari apa substansi dari bagaimana cara menjadi warga negara yang baik. Kita disibukan dengan cara kita yang lebih mengedepankan kritisi tanpa memberi solusi. Hal ini dapat dilihat dari kurang dewasanya masyarakat kita dalam menanggapi masalah-masalah yang timbul ditengah-tengah mereka. Yang mereka pahami hanyalah jika ada berbagai ketimpangan baik itu sosial, ekonomi, maupun ranah kehidupan lain yang berbau nepotisme itu semata – mata merupakan kesalahan dari pemerintah. Sementara rakyat hanyalah orang yang menjalankan aturan yang ada sehingga tidak pantas untuk dipersalahkan. Cara pandang yang seperti inilah yang saat ini masih tertanam kuat dalam pola fikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.
Jika begini harus kita akui secara cerdas bahwa hal yang harus dibenahi tidak hanya dari pihak pemerintahnya saja, tetapi yang lebih urgen adalah bagaimana pola fikir masyarakat yang juga harus mendapat perhatian lebih untuk diperbaiki agar keduanya berjalan seimbang. Kerana jikalau pemerintahan berjalan bagus sekalipun namun tidak didukung dengan kedewasaan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa maka harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang madani hanya akan menjadi suatu mimpi yang utopis.

Vox Populity Vox Dai

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagitu sakralnya kalimat tersebut dimana rakyatlah yang dijadikan orientasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sekarang mencoba untuk menerapkan hal tersebut. Terbukti dari pemerintahan yang ada saat ini baik Legislatif maupun Eksekutif semuanya dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih. Tidak hanya ditataran pusat, sistem pemilihan ala demokrasi secara langsung ini juga dipraktikan untuk memilih pemerintahan daerah.

Berarti teori yang ada dikonstitusi yang menyatakan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat telah teraplikasi secara real. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin jika pemangku kedaulatan itu sendiri didominasi oleh orang – orang yang tidak cerdas yang cenderung masih berfikiran pragmatisme dan egosentris seperti yang diutarakan oleh Quadi Azam bahwa kecil kemungkinan negara dapat berjalan stabil jika rakyatnya hanya bisa memberi sumbangsih pada pemerintah sekedar kritisi tanpa diiringi oleh solusi.
Kita paham betul bagaimana tiap kali pesta demokrasi akan segera digelar, maka dengan otomatis masyarakat mulai ternyamankan oleh hamburan uang yang dikucurkan oleh orang-orang yang memiliki niatan untuk duduk dikursi pemerintahan yang mengatasnamakan wakil rakyat. Apa pernah kita melihat jika ada oknum yang mencoba untuk melakukan praktik Money Politic dalam rangka mencari dukungan, maka ramai-ramai masyarakat yang diajak untuk konsolidasi menolaknya. Jawabnya tentu tidak, mereka justru memanfaatkan moment ini untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sifatnya sementara.

Masyarakat sangat jarang berfikir dampak yang luar biasa hebat apabila mereka memilih orang-orang yang memberikan uang untuk mengambil simpati mereka. Mereka enggan untuk memfilter calon-calon wakil mereka yang memiliki kapasitas dan tentunya loyalitas kepada mereka jika terpilih nanti meskipun mereka tidak memiliki uang atau benda yang bisa dibagi pada saat kampanye namun siap memberi perubahan perekonomian masyarakat dimasa depan. Masyarakat sangat malas berfikir secara idealis akan hal itu, yang ada justru fikiran pragmatis dimana sangat bodoh jika menyia-nyiakan rezeki yang ada meskipun boomerang kemiskinan akan tetap bersahabat dengan mereka.

Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis.

Contoh lain adalah kita selalu menganggap polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian.

Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap ”memeras” meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal.

Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. (***)

*) Staf Pusat Studi HAM Unimed dan Aktivis HMI)

Sabtu, 13 Juli 2013

Pintar di Negara yang Salah (Opini Riau Pos)

Oleh : Eka Azwin Lubis
Kisah miris Helena Marthafriska Saragi Napitu sungguh menyentuh hati kita. Yakni  seorang siswi SMA Metheodist 2 Medan yang mendapat predikat siswa dengan nilai UN tertinggi peringkat 3 nasional, justru tidak lulus jalur SNMPTN/undangan.
Satu fenomena konyol terjadi di dunia pendidikan kita, bagaimana mungkin orang yang memiliki nilai tertinggi justru tidak lulus jalur undangan. Logika sederhana dalam benak kita tentu mempertanyakan, seberapa tinggi lagi nilai mereka yang lulus jalur undangan yang otomatis mengalahkan nilai Helena.
Helena merupakan ”anak bangsa yang cerdas di negara yang salah”. Saat mengikuti jalur undangan yang ditawarkan oleh sekolahnya, Helena memilih Fakultas Kedokteran UI dan Fakultas Kedokteran USU, namun ketika pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, namanya tidak muncul sebagai salah satu pemilik kursi di kedua PTN tersebut padahal sebelumnya dia mendapat predikat juara umum ketiga nilai UN tertinggi di Indonesia.
Hal ini menjawab pertanyaan kita bahwa semua kursi yang tersedia di PTN melalui jalur undangan sudah menjadi jatah-jatah para pemangku kepentingan tanpa melihat nilai UN yang harusnya menjadi salah satu acuan dalam seleksi penerimaan mahasiswa jalur undangan.
Kuatnya setoran ke orang-orang yang menjadikan dunia pendidikan sebagai wahana cari makan yang dilakukan oleh mereka yang menginginkan kursi di PTN melalui jalur undangan, mengalahkan nilai Helena yang sejatinya merupakan pemegang nilai tertinggi UN secara nasional.
Semoga saja pelaksaan SBMPTN ke depan yang merupakan harapan terakhir genarasi muda Indonesia yang ingin mengenyam pendidikan di PTN kelas regular akan terhindar dari tindakan-tindakan memalukan dan tetap mengedepankan kejujuran dan etika moral.
Sudah sepatutnya dunia pendidikan kita melakukan introspeksi diri untuk terpeliharanya sistem pendidikan yang benar-benar mendidikan dan menghilangkan budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin lama semakin mengakar kuat dalam tubuh pendidikan kita.
Sangat memalukan jika pendidikan yang merupakan wahana pembentuk sumber daya manusia yang cerdas dan berkepribadian luhur harus diurus oleh mereka yang bermental hipokrit dan hanya berorientasi pada recehan semata.
Kesemrawutan pelaksaan UN jangan sampai tertular pada pelaksaan SBMPTN, sebab harus kita sadari bahwa begitu banyaknya generasi-generasi muda kita yang menggantungkan harapan mereka demi mewujudkan mimpi masuk PTN melalui pelaksaan SBMPTN ini.
Oleh sebab itu ayolah sama-sama kita jadikan pelaksanaan SBMPTN yang merupakan ajang baru bagi PTN untuk menyeleksi penerimaan mahasiswa baru, benar-benar bersih dari kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak.

Nama Baru, Pola Lama
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), merupakan cara baru yang dibuat pemerintah untuk menyeleksi para lulusan Sekolah Menengah Atas/sederajat yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri.
Hampir setiap tahun pola dan nama penjaringan calon-calon mahasiswa perguruan tinggi negeri ini berubah-ubah.  Tentu kita masih ingat sebelumnya seleksi untuk menentukan siapa-siapa yang layak menjadi mahasiswa di perguaruan tinggi negeri melalu jalur ujian bersama secara nasional ini bernama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
SNMPTN sendiri kini justru dijadikan nama untuk seleksi melalui jalur undangan bagi para peserta didik yang mendapat jatah dari sekolah masing-masing. Sebelum SNMPTN diperkenalkan, seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi negeri ini bernama Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Pada tahun 2013, SBMPTN diperkenalkan sebagai ajang penerimaan mahasiswa baru melalui jalur ujian tertulis dan praktik yang dilakukan pada tanggal 18 dan 19 Juni 2013  lalu di seluruh universitas negeri di Indonesia.
Dalam menghadapi ujian SBMPTN ini para peserta tidak kalah tegang dengan saat mereka melakukan Ujian Nasional yang penuh dengan rekayasa dalam pelaksaannya sebagai ajang penentu kelulusan mereka dari Sekolah Menengah Atas/Sederajat.
Meski pelaksanaan SBMPTN memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibanding pelaksaan UN, namun tidak menutup kemungkinan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan objektivitas hasil ujian akan timbul karena bobroknya sistem pendidikan yang ada saat ini.
Antrean panjang di hampir semua Bank Mandiri yang merupakan instansi tempat penjualan pin bagi calon mahasiswa yang ingin mendaftar SBMPTN, menunjukan tingginya minat dan antusias siswa/siswi Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri.
Sebagai salah satu representatif tingginya pemintat PTN adalah setiap tahun puluhan ribu orang mendaftar di setiap universitas negeri yang hanya menyediakan kursi tidak lebih dari puluhan ribu bagi calon mahasiswa baru.
Agaknya masyarakat Indonesia masih menggantungkan harapan yang besar untuk masuk PTN sebagai wadah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena harus diakui bahwa banyaknya keunggulan yang ada di PTN memberikan harapan segar bagi mereka yang selama ini memiliki anomali perspektif terhadap dunia pendidikan, seperti besarnya biaya kuliah.
Faktor ekonomi kerap menjadi kendala bagi kebanyakan orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, namun banyaknya beasiswa yang ditawarkan oleh PTN membuat mereka sedikit lega dan berambisi agar salah satu kursi di PTN menjadi hak anak mereka.
Tidak sedikit juga calon mahasiswa baru yang mengejar masuk PTN dengan motif gengsi, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa PTN memiliki image  yang lebih baik dibadingkan PTS yang pada dasarnya hal ini tidak bisa diamini dengan serta merta, karena kualitas pendidikan tidak sepenuhnya ditentukan dengan tempat bernaungnya peserta didik, melainkan lebih kepada sumber daya manusia yang akan menerima input ilmu dari dosen-dosennya.
Segala upaya dilakukan bagi mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan jatah jalur undangan dari sekolahnya agar tetap bisa masuk ke PTN, termasuk melalui jalur SBMPTN yang seleksinya tergolong berat karena memerlukan kerja keras dalam belajar dan keberuntungan yang harus menyertai.
Tidak hanya kecerdasan berpikir yang harus dimiliki, faktor keberuntungan juga sangan dominan dalam menentukan kelulusan kita saat mengikuti SBMPTN.  Oleh sebab itu, karena pertarungannya yang luar biasa dari, membuat SBMPTN mendapat image yang lebih tinggi daripada mereka yang masuk PTN melalui jalur undangan.
Kita pahami bahwa banyak manipulasi yang terjadi saat penyeleksian jalur undangan dilakukan, jika selama ini kita kerap berpikir bahwa kecurangan jalur undangan hanya dilakukan oleh sekolah dengan ”menyuci rapor” siswanya agar memiliki nilai yang tinggi dan dapat diterima di berbagai PTN, kini kebusukan baru dari jalur undangan kembali terungkap yang pelakunya tidak hanya pihak sekolah melainkan di tingkat pusat.***



Eka Azwin Lubis, Staf Pusat Studi HAM Unimed dan aktivis HMI