Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Jumat, 13 September 2013

Munir : Semangat Hidup (Opini Galamedia)

Oleh : EKA AZWIN LUBIS
Ku bisa tenggelam di lautan,
Aku bisa diracun di udara,
Aku bisa terbunuh di troto jalan...
Tapi aku tak pernah mati,
Tak akan berhenti...


SEPENGGAL lirik lagu "Efek Rumah Kaca" tersebut merupakan gambaran bagaimana kisah perjuangan hidup seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib yang tewas dibunuh saat hendak melanjutkan studi ke Belanda. Dari sepenggal lirik lagu tersebut dapat kita lihat bagaimana dahsyatnya intimidasi yang harus dihadapi Munir sebagai seorang yang ingin memperjuangkan hak setiap manusia namun justru berujung pada kematian tragis akibat diracun dalam pesawat yang ditumpanginya ke Belanda.

Munir merupakan seorang aktivis HAM kelahiran Kota Batu, Malang, 47 tahun silam. Alumni Universitas Brawijaya Malang dan merupakan seorang keturunan arab ini adalah sosok pemberani yang memiliki jiwa sosial cukup tinggi terutama yang menyangkut hak-hak fundamental manusia. Sejak duduk dibangku kuliah, beliau aktif di organisasi HMI yang kemudian memperkaya wawasan berpikirnya dan ikut bergabung menjadi ralawan di LBH Surabaya dan semakin mendekatkan dirinya pada nasib rakyat-rakyat kecil yang haknya kerap diabaikan oleh pemerintah.

Setelah tamat kuliah, Munir diangkat menjadi Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya pada tahun 1992 hingga 1993. Pada tahun 1998 Munir mendirikan Kontras yang kemudian membuatnya semakin melebarkan sayap untuk memperjuangkan hak-hak manusia yang diabaikan oleh negara. Seiring didirikannya Kontras, semakin banyak pula kasus-kasus pelanggaran HAM yang ia perjuangkan, antara lain kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta saat pergolakan menolak rezim Orde Baru antara tahun 1997 sampai 1998, kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984 yang ia advokasi sejak 1998, kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II tahun 1998 sampai 1999, serta berperan aktif sebagai anggota komisi penyelidikan pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999, penggagas komisi perdamaian dan rekonsiliasi di Maluku, dan menjadi advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua.

Kasus yang Hilang Ditelan Waktu

Mei 2004, Munir mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 Hukum Humaniter di Belanda yang disponsori oleh ICCO dan harus berangkat bulan September tahun yang sama. Menjelang keberangkatannya kenegara Marco Van Baten tersebut, berbagai acara perpisahan dilakukan oleh sahabat-sahabat dan para korban pelanggaran HAM yang pernah merasakan jasanya baik itu ketika beliau bekerjadi LBH, Imparsial, maupun lembaga yang ia dirikan sendiri yakni Kontras. Pesan, kesan, dan semangat dari sahabat, keluarga serta korban pelanggaran HAM menemani keberangkatannya menuju Belanda.

Ketika berada dalam pesawat, Munir bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang kebetulan sedang tidak bertugas dan menawarkannya untuk duduk di kelas bisnis meskipun dalam tiket milik Munir berada di kelas ekonomi. Setelah ngobrol dengan Pollycarpus, munir dan penumpang lainnya ditawari minuman pembuka oleh pramugari pesawat, dan Munir pun memilih untuk minum jus jeruk.

Pesawat yang mereka tumpangi transit di Singapura sebelum melanjutkan penerbangan ke Belanda. Saat berada di Singapura, Pollycarpus turun karena tujuannya hanya sampai di sana. Setelah melakukan penerbangan dari Singapura menuju Belanda, perut Munir mulai sakit yang membuatnya berulang-ulang keluar masuk toilet sehingga beliau lemas serta kehabisan tenaga hingga akhirnya mengembuskan nafas terakhir di dalam pesawat tersebut.

Dokter yang mengaotopsi jenazah Munir menemukan senyawa arsenik dalam kandungan minuman dan makanan yang disajikan oleh pramugari yang diketahui atas suruhan Pollycarpus agar sosok Munir yang senantiasa mengkritik pemerintah dapat diam dengan cara dibunuh.

Belakangan titik terang tentang siapadalang yang menyuruh Polly membunuh Munir mulai terungkap dengan terseretnya nama Mayjen (purn) Muchdi PR. Namun pada tahun 2008, Muchdi justru divonis bebas oleh majelis hakim dengan alasan tidak cukup bukti atas keterlibatannya dalam kasus tersebut. Tentu saja keputusan ini sangat kontroversial, namun itulah wajah hukum di Indonesia karena segalanya bisa direkayasa sehingga tidak menghilangkan bekas sama sekali layaknya kasus Munir yang hingga kini bagai hilang ditelan waktu.

Kini sembilan tahun sudah Munir meninggalkan kita, namun cita-cita mulia Munir untuk memperjuangkan hak asasi setiap manusia tetap harus diteruskan demi terlindunginya hak setiap manusia, sebab meskipun Munir telah tiada, namun semangat perjuangannnya tidak boleh juga ikut mati.
(Staf Pusat Studi HAM Unimed)**

Rabu, 04 September 2013

Medan dan Dampak Metropolitan (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin LubisSebagai salah satu kota metropolitan dan berstatus kota terbesar nomor tiga di Indonesia, Kota Medan kerap diwarnai dengan suasana kemacetan lalu lintas yang hingga kini belum bisa ditemui solusinya. Beragam faktor penyebab kemacetan yang terjadi di kota Medan, mulai dari sempitnya jalan, padatnya kendaraan yang melintas, pedagang yang berjualan di bahu jalan, hingga minimnya kesadaran masyarakat dalam memarkirkan kendaraan sesuai tempatnya sehingga banyak kendaraan yang justru parkir disepanjang bahu jalan.

Jika kita bahas satu persatu penyebab kesemrawutan lalu lintas di kota Medan ini, tentu kita akan menemukan banyak kejanggalan karena pada dasarnya semua penyebab ketidakteraturan lalu lintas ini sudah memiliki aturan masing-masing namun belum sampai pada tahap implementasi secara matang.

Sempitnya badan jalan agaknya bukan sesuatu yang rasional menjadi penyebab kemacetan di kota Medan mengingat ibu kota Sumatera Utara ini adalah salah satu wilayah dengan predikat pembangunan yang cukup baik, apalagi status kota metropolitan harusnya membuat pemerintah kota sadar untuk berbenah diri demi memenuhi kapasitas kota metropolitan yang sesuai standar, namun tidak bisa dipungkiri bahwa itulah realita yang terjadi saat ini.

Banyak kita temui jalanan kota Medan yang belum sesuai untuk dikategorikan layak sebab ukurannya yang sangat sempit. Jika kita melintas di kawasan Sukaramai hingga simpang Jalan Bromo, pasti akan memakan waktu yang sangat lama karena ketersediaan ukuran jalan tidak sesuai dengan kuantitas kendaraan yang melintas. Itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa jalan tersebut belum sesuai standar karena ukuranya yang sangat sempit.

Selain sempitnya jalan, yang menjadi penyebab kemacetan di kota Medan tentu banyaknya jumlah kendaraan yang berlalu lalang hingga menyebabkan padatnya lalu lintas. Sama seperti di kota-kota besar lain, faktor kuantitas kendaraan sangat berdampak pada sistem lalu lintas di kota Medan. Masyarakat kalangan menengah keatas cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ketimbang menggunakan jasa angkutan umum yang jumlahnya juga tidak kalah banyak dibanding kendaraan pribadi.

Kita bisa bayangkan jika banyaknya trayek kendaraan umum yang beroperasi ditambah dengan kendaraan pribadi yang terus menerus meningkat jumlahnya, namun tidak didukung dengan ketersediaan jalan yang memadai, semakin memperburuk suasana lalu lintas di Medan.

Minimnya kesadaran masyarakat dalam berkendara juga menjadi penyebab utama buruknya lalu lintas di Medan. Jika supir-supir angkutan umum memiliki mental yang jelek dalam mengemudikan kendaraannya demi mendapat penumpang yang maksimal, mental para pengemudi kendaraan pribadi juga tidak kalah jeleknya dibanding supir-supir angkutan umum tadi karena kerap memarkirkan kendaraan sesuka hati mereka. Jalanan yang sempit ditambah dengan jumlah kendaraan yang banyak, semakin semrawut karena sebagian bahu jalan justru dimanfaatkan sebagai lahan parkir oleh oknum-oknum yang memiliki kendaraan mewah namun berprilaku primitif.

Yang tidak kalah urgen penyebab kemacetan di kota Medan adalah penggunaan bahu jalan sebagai wadah untuk berjualan para pedagang kaki lima yang semakin hari semakin tidak kebagian lahan untuk menjajakan barang dagangannya. Kurang adil kiranya jika kita harus menumpukan kesalahan kepada para pedagang yang menggunakan bahu jalan untuk berjualan sebagai penyebab kemacetan yang ada. Mereka tidak punya pilihan lapak lain untuk menggelar dagangan jika tidak di bahu jalan yang ada karena pemerintah kota tidak menyediakan tempat yang sesuai untuk mereka.

Lagi-lagi saya akan mengambil contoh di kawasan Sukaramai untuk membuktikan fenomena pedagang yang berjualan di sepanjang bahu jalan. Semenjak terbakarnya pasar Sukaramai, pemerintah kota hingga kini belum merelokasi tempat mereka untuk berdagang sehingga satu-satunya alternatif yang mereka lakukan untuk terus menyambung hidup adalah menggelar barang dagangannya di bahu Jalan Sukaramai. Tentu saja ketidakpedulian dari pemerintah kota atas semua hal ini menjadi penyebab semrawutnya lalu lintas di kota Medan. 

Polisi yang Dibenci Namun Dicari

Polisi lalu lintas (Polantas) memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengatasi kesemrawutan lalu lintas. Kemacetan yang terjadi akibat ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keadaan lalu lintas di kota Medan agaknya bisa sedikit diminimalisir dengan optimalnya peran aparat kepolisian khususnya mereka yang berada di satuan lalu lintas. 

Kita acapkali melihat korps baju cokelat ini rela berpanas-panasan untuk mengurai kemacetan yang terjadi, bahkan tidak jarang pula apabila hujan datang, mereka yang memiliki tanggung jawab agar tertibnya lalu lintas, rela bergumul dengan hujan dan hanya berbekal jas hujan untuk terus melayani masyarakat agar kemacetan tidak terjadi, bahkan sering padamnya traffic light di kota Medan juga seakan tidak menjadi kendala yang berarti jika para polantas sudah turun dan mengatur lalu lintas agar tetap tertib. 

Namun ada satu catatan tentang peran para aparat kepolisian yang berada dalam satuan lalu lintas. Jasa yang sudah ditorehkan dan mendapat apresiasi dari banyak pihak tersebut jangan sampai pupus karena ulah segelintir oknum nakal yang kerap memanfaatkan perannya di satuan lalu lintas untuk mencari uang tambahan dengan cara-cara ilegal. 

Memang benar Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas mengatur cara berlalu lintas hingga sanksi yang diberikan kepada para pelanggar lalu lintas yang berkendara tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Persoalannya adalah kita kerap menemui oknum-oknum nakal tadi justru beroperasi tidak sesuai dengan aturan yang ada sehingga uang yang didapat dari pelanggar lalu lintas justru masuk ke kantong pribadi.

Bahkan hal yang lebih naïf adalah ketika mereka justru terkesan mencari-cari kesalahan dari pengendara yang kebetulan melintas di dekat mereka, dengan seketika mereka memberhentikan sang pengendara dan meminta kelengkapan surat tanda nomor kendaraan dan surat izin mengemudi, jika semua sudah terpenuhi dan tidak ditemukan kesalahan dari pengendara, maka jurus ngeles dari oknum nakal ini segera dilancarkan, seperti menuding pengendara telah melanggar traffic light yang jelas-jelas tidak dilakukan oleh pengendara. 

Peradilan ala damai di tempatpun tidak bisa dihindarkan dan disinilah terjadi kesalahan yang tanpa disadari telah melunturkan peran polisi yang memiliki jasa besar dalam berlalu lintas masyarakat. 

Semoga kita semua paham bahwa kesadaran berkendara akan membawa dampak dari sehatnya lalu lintas yang terjadi di kota Medan, dan semoga oknum-oknum polantas nakal dapat segera manyadari bahwa uang yang mereka dapat dari hasil menilang tanpa prosedur yang jelas tidak akan membawa berkah apalagi untuk dijadikan nafkah keluarga.***

Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI

"Menteri Kok Nggak Hafal Indonesia Raya?" (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin Lubis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita semua pasti sudah dikenalkan dengan identitas bangsa mulai dari nama ibukota negara, nama-nama pahlawan, isi dasar negara pancasila, arti semboyan bhineka tunggal ika, hingga lagu Indonesia Raya yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia agar terciptanya nilai nasionalisme dalam jiwa seluruh rakyat Indonesia sejak belia.

Ada pepatah klasik yang menyatakan bahwa lancar kaji karena diulang, agaknya hal tersebutlah yang menjadi pedoman guru-guru dan para orang tua kita dahulu untuk menanamkan nilai nasionalisme kepada anaknya sehingga kerap mengulang-ulang setiap apa yang berkaitan dengan identitas bangsa agar tidak keliru apalagi lupa dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari.

Hal ini tentu wajar mengingat apa yang telah diperjuangkan oleh para pahawan bangsa dalam merebut kemerdekaan dan menciptakan berbagai simbol-simbol negara untuk menjadi pembeda antara Indonesia sebagai negara yang majemuk namun tetap memiliki jati diri sebagai negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dengan negara lain di dunia, sehingga apa yang telah mereka perjuangkan dan ciptakan harus terus diamalkan oleh seluruh generasi penerus bangsa.

Namun ada satu hal yang unik terkait urgennya menghafal dan menghayati berbagai identitas bangsa yang sarat akan pesan moral dan makna tersebut karena di balik begitu gigihnya para guru kita dalam mengajari setiap anak didiknya di sekolah dasar untuk menghafal semua hal yang berkaitan dengan identitas bangsa seperti semboyan, dasar negara, pembukaan undang-undang dasar, hingga lagu kebangsaan.Ternyata hal tersebut terkesan menggelikan karena seorang Menteri di negara yang besar ini justru tidak hafal dengan pasti lagu Indonesia raya yang dahulu begitu dirindukan oleh seluruh pejuang bangsa untuk dapat dikumandangkan sembari berkibarnya sang saka merah putih.

Fenomena konyol ini terjadi saat laga sepakbola Liga Super Indonesia (LSI) antara Persib Bandung berhadapan dengan Persija Jakarta di stadion Maguwoharjo, Sleman (28/8) kemarin.

Laga yang sarat kontroversi karena kerap memicu bentrokan antara supporter kedua tim ini dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo. Awalnya Roy Suryo hadir untuk mengundang terciptanya kedamaian antara bobotoh dan the jak yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan, namun menjelang ditiupnya pluit kick off babak pertama dimulai, mantan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat ini diminta oleh panitia pelaksana pertandingan untuk memimpin lagu Indonesia raya.

Entah dengan dorongan semangat atau faktor keterpaksaan karena kewajiban sebagai pejabat negara, Roy Suryo memenuhi permintaan tersebut dan langsung memimpin semua orang yang ada di stadion termasuk pemain kedua tim untuk menyanyikan lagu Indonesia raya. Sial bagi kita seluruh rakyat Indonesia, ternyata seorang menteri yang berpredikat sebagai pakar telematika tersebut tidak hafal secara utuh lagu Indonesia raya yang kerap kita nyanyikan sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Tentu sesuatu yang miris sekaligus memalukan melihat hal ini dapat terjadi, sebab jika kita menarik nalar kewajaran dimana setiap manusia pasti memiliki kekhilafan yang barang kali menimpa roy suryo saat memimpin lagu Indonesia raya kemarin, agaknya itu tidak bisa diterima dengan rasional mengingat doktrin yang sudah kita semua terima sejak kecil bahwa lagu kebangsaan harus dihafal mati dan kerap dikumandangkan setiap kali ada upacara nasional.

Lebih dari itu, jika Roy Suryo memang seorang yang profesional, tentu dia telah mempersiapkan secara matang segala hal agar tidak mempermalukan dirinya dan seluruh bangsa Indonesia meskipun dengan waktu yang relatif singkat.

Lalu apakah tidak adil jika kita mengambil kesimpulan dini bahwa itulah bentuk anggap enteng seseorang terhadap suatu simbol negara yang sejatinya begitu sakral karena penuh perjuangan dalam menciptakannya dan menjadi wibawa tersendiri bagi bangsa Indonesia di mata dunia.

Patriotisme Semu

Kita selalu dituntut untuk memiliki jiwa patriot sebagai wujud loyaitas kita terhadap negara ini dan sebagai upaya menimbulkan rasa bela negara yang tidak boleh terkikis sampai kapanpun, namun para petinggi negara yang konon selalu melekatkan dirinya sebagai sosok yang mampu mengayomi dan memberi contoh kepada seluruh rakyat Indonesia yang majemuk ini justru menyepelekan hal-hal penting seperti yang dilakukan oleh Roy Suryo.

Sebelumnya kita juga pernah menyaksikan Megawati yang sedang melakukan debat kandidat untuk menjadi presiden Indonesia tahun 2009 lalu yang salah menyebutkan letak teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan penuh keyakinan megawati memaparkan visi dan misinya dalam memimpin negara ini jika terpilih menjadi presiden ke depannya. Beliau menyatakan sebagai negara yang besar dan memiliki posisi yang strategis karena diapit oleh dua  samudera hindia dan pasifik serta dua benua asia dan amerika, Indonesia dapat menjadi roda perekonomian dunia.

Tentu dengan seketika penjelasan megawati ini mengundang bahak tawa dari semua orang yang menyaksikan acara tersebut karena dia yang punya ambisi untuk memimpin negara ini justru tidak mengerti keadaan Indonesia secara utuh, apalagi hal tersebut tergolong sangat sepele.

Banyak lagi hal-hal memalukan terkait tidak hafalnya para pejabat negara dengan identitas bangsa. Setiap menjelang hari besar nasional seperti sumpah pemuda, pasti akan ada tayangan yang memperlihatkan wawancara kepada beberapa anggota DPR sembari mempertanyakan perihal isi dari sumpah pemuda tersebut. Dengan suara lantang layaknya wakil rakyat yang harus ditiru oleh rakyatnya, mereka menyebutkan satu persatu isi sumpah pemuda secara berantakan yang tanpa disadari telah menelanjangi harga dirinya sendiri karena mempertontonkan kebodohannya di mata publik.

Semoga kita semua dapat belajar dari apa yang dilakukan oleh Roy Suryo dan tokoh negara lain yang memiliki pengetahuan dangkal terkait identitas bangsa bahwa menyepelekan suatu hal urgen akan memperlihatkan kapasitasnya sebagai pejabat negara yang tidak pantas untuk menjadi contoh apalagi teladan.***

Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Peserta PPL di SMP Karya Serdang Lubuk Pakam.