Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Kamis, 28 Februari 2013

Peran Vital Mahasiswa Dalam Perubahan (Opini Radar Bangka)


Oleh : Eka Azwin Lubis (Kabid PTKP HMI FIS dan Stfa Pusham Unimed)
Tidak ada atau hanya segelintir orang tua yang menginginkan anaknya akan menjadi aktivis mahasiswa jika kelak duduk dibangku perguruan tinggi. Sejatinya tanggung jawab moral seorang anak kepada orang tuanya apabila memasuki dunia kampus adalah menyelesaikan studi dengan baik tanpa harus mengalami kendala yang berarti apalagi yang datang dari diri sendiri. Sebab disinilah peran aktif seorang peserta didik dipertaruhkan. Bila waktu duduk dibangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, seorang guru memiliki peran yang lebih optimal dalam memancing minat belajar siswanya. Namun di perguruan tinggi pola tersebut diubah 180 derajat, dimana peserta didik yang kemudian disebut Mahasiswa, yang harus berperan aktif untuk mendapatkan ilmu yang maksimal, sementara sang dosen lebih berperan sebagai fasilitator transformasi ilmu yang sedang ditimbah. Apapun hasil yang didapat oleh Mahasiswa, semua berpulang pada pribadi masing-masing dalam mengaktualisasikan diri sesuai pola transformasi yang diterapkan dosen.

Sehingga dengan cara yang seperti ini tanggung jawab akademisi secara awam  harus lebih dikedepankan oleh setiap mahasiswa agar tidak blunder dikala masa studi berakhir. Mahasiswa seakan dituntut untuk tidak memfokuskan diri pada hal lain kecuali mata kuliah yang mereka hadapi agar konsentrasi yang dimiliki tidak terpecah dan semua ilmu yang diberi mampu diterima secara optimal.

Namun bukankah jika mahasiswa hanya fokus pada studinya dikampus, meraka akan melupakan peran yang mereka emban sebagai agent of change, agent of social control, maupun iron stock. Tidak salah jika kita menilai bahwa mereka yang menyandang status sebagai sarjana dengan pengalaman ilmu yang optimal karena didapat dengan cara fokus pada pelajaran semasa kuliah akan menjadi penerus peradaban bangsa, namun apakah peran mereka yang lainnya seperti pelaku perubahan dan pelaku pengawal kehidupan sosial dapat terimplementasikan jikalau mereka melulu terfokus pada doktrin mata kuliah yang tentunya mengharamkan untuk turun kejalan melakukan unjuk rasa sebagai perwujudan pengawal dinamika sosial. 

Disinilah kedewasaan Mahasiswa sesungguhnya tertempa dengan matang karena mereka mampu untuk menyesuaikan ruang yang mereka tempati dengan peran dan tanggung jawab yang mereka emban. Tidak adil jika kita berfikir bahwa setiap mahasiswa yang hari-harinya disibukan untuk aktif mengikuti perkembangan dan mengawal dinamika birokrasi yang terjadi, memiliki Indeks Prestasi yang rendah. Sebab Mahasiswa yang dapat menempatkan diri sesuai dengan dunianyalah yang memiliki kecerdasan akan ruang dan kedisiplinan akan waktu.

Antara Peran dan Tanggung Jawab

Status sosial yang melekat pada diri setiap Mahasiswa selalu menggiring kita yang pernah dan sedang berada didunia kampus seakan memiliki segala sesuatu yang seakan diatas status sosial masyarakat pada umumnya. Tidak tau faktor apa yang menjadi penyebab hal tersebut dapat terjadi, semua seolah datang dengan sendirinya karena budaya yang muncul secara otodidak. Hal ini terlihat dari pandangan umum yang sering menganggap bahwa Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang punya pola fikir dan sudut pandang yang berbeda dalam menanggapi satu masalah yang muncul ditengah dinamika kehidupan bermasyarakat. Beragam ungkapan melekat pada diri Mahasiswa yang semakin mempertegas peran Mahasiswa itu sendiri sebagai elemen yang vital dalam kehidupan. 

Mulai dari agent of change yang menempatkan mahasiswa sebagai pelopor perubahan yang menjadi titik tolak berubahnya orientasi kehidupan kearah yang lebih baik. Ada juga yang beranggapan bahwa Mahasiswa merupakan agent of social control, dimana peran aktif Mahasiswa dalam mengawal berbagai bentuk kehidupan dan permasalahanya sangat dituntut karena ada pandangan bahwa Mahasiswalah kaum yang netral dan belum terkontaminasi dengan berbagai kepentingan yang berjalan seiring dengan permasalahan terutama yang menyangkut kebijakan publik.

Semua hal tersebut tidaklah keliru apalagi berlebihan. Sebab suka atau tidak suka jika kita berkata dalam konteks nasional, kita harus berani jujur mengatakan bahwa mahasiswa jugalah yang mampu untuk memangku peran sebagai pengubah berbagai sistem yang dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan pola fikir, karakter, dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia sehingga dinilai menyimpang dengan cita-cita hidup bangsa. Hal ini terbukti saat mahasiswa mampu untuk mengubah peradaban pemerintahan Orde Baru yang berkuasa tak kurang dari 32 tahun menjadi pemerintahan yang mengagungkan Reformasi sebagai cita-cita birokrasi bangsa.  

Saat itu Mahasiswa merupakan tonggak terdepan dari runtuhnya pemerintahan Soeharto yang akrab dikenal sebagai zaman Orde Baru. Sistem pemerintahan ala Diktator yang diterpakan oleh Soeharto pada masa itu membuat semua pihak seolah tak punya daya untuk melawan dan menyuarakan kebebasan demokrasinya. Sehingga tidak heran jika beliau mampu untuk menngemban amanah sebagai orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun dengan memenangkan 7 kali pemilu.

Rasa bosan yang dialami masyarakat atas kepemimpinan soeharto, mambuat mahasiswa tergugah dan menjadi motor pergerakan untuk melawan penindasan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Berawal dari krisis moneter yang menerpa sebagian kawasan Asia termasuk Indonesia dan berdampak pada melonjaknya berbagai harga bahan kebutuhan pokok. 

Moment tersebut dimanfaatkan oleh para agent of change tersebut untuk menghimpun persatuan dan kekuatan dalam menumbangkan rezim yang dianggap sudah usang dan tidak mampu lagi membawa Indonesia untuk berlayar menuju kehidupan masyarakat yang madani. Perlawanan Mahasiswa untuk menyongsong perubahan tersebut bukanlah tanpa rintangan, sebab keberanian kaum intelektual muda ini harus dibayar mahal dengan melayangnya nyawa beberapa Mahasiswa pahlawan reformasi karena protes mereka terhadap pemerintah yang dianggap gagal menstabilkan perekonomian bangsa direspon pemerintah dengan menurunkan pasukan keamanan negara yang saat itu masih dipegang oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sehingga menimbulkan gejolak dihampir seluruh pelosok negeri.

Namun perlawanan demi perubahan tersebut bukanlah satu hal yang sia-sia. Praktis Presiden Soeharto yang hampir mustahil untuk dilengserkan, harus rela meletakan jabatannya sebelum masa baktinya sebagai presiden yang memenangkan pemilu untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut usai dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie untuk menakhodai negara ini. Hal tersebut semakin mempertegas peran mahasiswa sebagai pelaku perubahan yang mampu mengubah apapun yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan kamaslahatan umat termasuk kedudukan seorang presiden sekalipun.

Tidak akan kita temui ada pihak yang rela berlelah letih untuk menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak yang mereka anggap sudah keluar dari koridor hak akan wewenangnya kecuali Mahasiswa. Unjuk rasa seolah menjadi salah satu mata kuliah non kurikulum yang tetap dilaksanakan Mahasiswa untuk mengontrol berbagai penyimpangan yang mereka temui sebagai agent of social control. (**)

Selasa, 26 Februari 2013

Hak Atas Pendidikan Bagi Anak Jalanan (Opini Bangka Pos)



 Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. 
Pasal 26 ayat 1 DUHAM PBB tahun 1948 tersebut merupakan landasan konstitusi yang dipakai secara universal oleh semua bangsa di dunia untuk menjamin perwujudan dan pelaksaan hak atas pendidikan bagi semua orang tanpa terkecuali. Karena pendidikan merupakan salah satu hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara terhadap seluruh rakyatnya sehingga diharapkan tercipta kehidupan berbangsa yang cerdas lagi berpengetahuan.
Indonesia agaknya juga sadar akan hal ini sehingga menjadikan pendidikan sebagai hal yang urgen dan perlu untuk dipenuhi akan keberadaannya kepada seluruh rakyatnya. Selain telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) kedalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang didalamnya mengatur hak atas pendidikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusi bangsa, hak atas pendidikan juga diatur dan dijamin keberadaannya oleh negara seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945.
Hal ini memperkuat isi preambule UUD 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dengan kata lain dapat diartikan bahwa hak akan pendidikan benar-benar dijamin keberadaanya secara mutlak oleh negara sehingga tercapailah apa yang menjadi cita-cita bangsa seperti yang tertuang dalam preambule dasar konstitusi negara tersebut.
Pemerintah sebagai awak yang menakhodai jalannya negara memiliki andil yang sangat signifikan atas terwujudnya pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Bukan hanya mereka yang berada dikalangan menengah keatas saja yang berhak untuk mengenyam manisnya dunia pendidikan, namun semua warga negara Indonesia juga berhak untuk merasakan nikmatnya berpengetahuan dan menjadi orang yang berpendidikan. Tidak ada diskriminasi akan pencapaian hak atas pendidikan sebagaimana yang tertulis diatas. Sebab semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum untuk mendapat pendidikan tanpa memandang strata sosial dan latar belakangnya karena negara dengan tegas telah menjamin hal tersebut.
Oleh sebab itu, dalam konstitusi juga dijelaskan bahwa negara menganggarkan dana  yang cukup besar pula untuk dunia pendidikan demi terpenuhinya hak atas pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat untuk menjamin terwujudnya hak atas  pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya memerlukan dana yang sangat besar. Sehingga wajar jika negara memprioritaskan 20% dana APBN untuk dunia pendidikan. Semua pihak agaknya merasa maklum dengan hal ini karena kita semua menyadari memang sudah menjadi sesuatu yang lumrah bahwa negara memerlukan dana yang besar untuk dikucurkan demi terpenuhinya salah satu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara memberikan pemenuhan hak atas pendidikan secara merata.
Kaum Yang Terlupakan
Namun  cita-cita mulia negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh tersebut agaknya belum dapat terealisasi dengan optimal. Terbukti hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang berparadigma bahwa pendidikan sebagai sesuatu yang hanya menjadi hak sebagian golongan saja. Sementara sebagian lainnya masih merasa pendidikan bukanlah bagian dari hidup mereka meskipun pemenuhannya telah dijamin oleh negara.
Salah satu contoh nyata adalah mereka anak-anak yang masih berusia produktif yang harusnya berada dibangku sekolahan, justru hidup seliweran dijalanan untuk mencari makan. Mengamen, mengemis, bahkan mencopet, merupakan agenda rutin yang harus mereka lalui untuk mengisi hari-harinya. Dunia pendidikan seolah menjadi hal yang tabuh bagi mereka karena tidak adanya perhatian dari pihak manapun termasuk pemerintah untuk memperkenalkan dunia yang seharusnya mereka tempati diusia mereka yang relatif masih belia.
Tanggung jawab sosial dari pemerintah akan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia seolah nihil jika kita melihat banyaknya anak-anak negeri ini yang justru hidup dijalanan dan memilih untuk mencari uang karena tidak adanya perhatian yang maksimal dari mereka yang memiliki tanggung jawab akan pendidikan bagi anak-anak jalanan tersebut.
Dengan begini peran aktif dari pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi anak jalanan ini sangat dibutuhkan aplikasi realnya, karena kucuran anggaran yang cukup besar dari dana APBN untuk dunia pendidikan tersebut jika dikelola dengan baik pasti akan ,mampu menjamin pemenuhan pendidikan bagi semua rakyat Indonesia yang berada diusia 18 tahun kebawah yang merupakan usia produktif untuk mengenyam dunia pendidikan.
Kucuran dana APBN yang sangat besar juga ternyata belum mampu dikelola dengan baik dan maksimal oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hak atas pendidikan termasuk bagi anak-anak jalanan. Hidup mereka ternyata belum dijamin oleh negara secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Sebab jangankan untuk mendapat kesejahteraan dan penghidupan yang layak, untuk mendapat hak atas pendidikan yang telah diatur dalam DUHAM PBB sekalipun mereka tidak mampu.
Sungguh hal yang ironis mengingat salah satu tujuan negara yang terdapat dalam preambule UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi satu mimpi yang utopis. Karena yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi hak mereka yang memiliki uang dan mengenyampingkan hak mereka yang hidup dijalanan dan tidak memiliki dana untuk membeli mahalnya ilmu yang ditawarkan dalam dunia pendidikan.
Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan klasik yang hingga kini belum jua menemui jawaban meskipun berbagai aturan telah dibuat. Apakah semua itu hanya menjadi simbolis bagi negara ini kepada dunia luar agar mengaggap bangsa kita merupakan bangsa yang menjamin secara mutlak hak atas pendidikan walaupun realita yang terjadi ternyata sangat memprihatinkan. Teori memang tak selamanya semanis realita. 
Sumber : Bangka Pos, 26 Februari 2013

Sabtu, 02 Februari 2013

Kisah Panjang Artis dan Narkoba (Opini Sinar Indonesia Baru)



Oleh :
 Eka Azwin Lubis

Kita semua tentu masih ingat kasus yang pernah menjerat pelawak Polo, Gogon, hingga penyanyi dangdut kawakan, Imam S Arifin. Mereka sempat terjerambab dalam lembah hitam narkoba yang mengantarkan mereka ke pengapnya jeruji besi penjara. Para artis yang memiliki segudang prestasi tersebut seakan lupa bahwa mereka selalu mendapat sorotan publik dimana dan kapanpun berada termasuk ketika mereka tersandung kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Nama besar yang selama ini meraka usahakan, seolah hancur seketika menyusul terungkapnya perbuatan kotor mereka yang akrab dengan narkoba.
Faktor limpahan materi agaknya menjadi penyebab mereka untuk mencoba terjun ke dunia hitam yang tanpa disadari akan merampas populariotasnya. Tidak hanya kalangan artis yang senantiasa terlibat dalam penggunaan narkoba, bahkan keluarga pesohor republik ini juga kerap menggunakan narkoba. Satu contoh adalah Raka Widyarma yang merupakan anak dari aktor sekaligus wakil gubernur banten, Rano Karno yang tertangkap polisi saat memesan lima butir ekstasi via online dari Malaysia.
Belakangan kasus tentang keterlibatan artis dalam penggunaan narkoba kembali muncul pasca ditangkapnya Raffi Ahmad bersama 17 temannya termasuk pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar serta artis senior WandA Hamidah, saat melakukan pesta narkoba di rumah miliknya. Kejadian ini kembali mempertegas bahwa nama besar dan limpaham materi yang mereka menjadikan mereka akrab dengan barang haram tersebut.
Indonesia sendiri merupakan negara yang manjadikan Narkoba sebagai barang yang ilegal dan tidak dibenarkan untuk beredar di negara ini. Sehingga bagi siapa saja baik itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang kedapatan berhubungan dengan narkoba baik itu pengguna, pengedar, atau bahkan hanya sekedar kurir diwilayah hukum Indonesia, maka pihak kepolisian akan segera menindak tegas mereka tanpa memandang latar belakangnya.
Namun meskipun tindakan tegas telah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pemberantasan narkoba di Indonesia tetap saja peredaran narkoba masih merajalela dinegeri ini. Terlihat dari jumlah pecandunya di Indonesia yang makin tahun semakin meningkat. Yang menjadi sasaran dari kejahatan narkoba tidak hanya mereka yang memiliki uang banyak, melainkan hampir semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda, dari yang kaya sampai yang hidup pas – pasan, hingga mereka yang berpendidikan sampai yang buta akan ilmu pengetahuan ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Untuk kaum muda yang merupakan pemangku peredaban masa depan dan sedang menempuh jenjang pendidikan saja, jumlah mereka yang akrab dengan narkoba sangat memprihatinkan. Bayangkan saja hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia atau sekitar 921.695 orang. Angka ini tentu saja tidak bisa ditolerir lagi. Sebab seandainya hal ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia kedepannya akan menjadi negara yang berpredikat sebagai surga narkoba dunia.
Menurut Kabid Pembinaan dan Pencegahan Badan Narkotika Provinsi Sumatera Utara, Arifin Sianipar, dari jumlah tersebut, 61 persen diantaranya menggunakan narkoba jenis analgesic dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem. Hal tersebut mempertegas indikasi bahwa narkoba tidak hanya digunakan oleh kaum proletar yang memiliki dana besar untuk mendapatkannya. Sebab bagi seorang siswa SMP sekalipun untuk membeli sekaleng lem cukup dengan menyisihkan uang jajan yang diberikan orang tuanya.
 Generasi muda yang merupakan generasi produktif merupakan sasaran empuk bagi penyebaran narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan Jumlah pengguna narkoba terbanyak adalah mereka yang berada pada usia 20 hingga 34 tahun. Sedangkan jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh pecandunya yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi adalah jenis heroin yang mencapai 10.768 orang, lalu mereka yang menggunakan ganja yang mencapai  1.774 orang dan sabu-sabu sebanyak 984 orang.
Para pecandu narkoba umumnya cenderung menutup diri atau tidak terbuka dengan orang lain tentang apa kegiatan negatif yang mereka lakukan. Praktis hanya sebagian kecil yang berani untuk menyatakan dirinya sebagai pengguna narkoba dan berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya akan obat–obat terlarang tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah pecandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tahun 2010 hanya 17.734 orang. Ini menunjukan bahwa betapa minimnya niat para pecandu narkoba untuk mengakhiri penggunaan narkoba dalam hidup mereka.
Padahal jumlah pengguna narkoba di Indonesia menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai 3,2 juta orang atau 1,5 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang menggunakan narkoba dengan alat bantu berupa jarum suntik, yang berakibat 60 persen pecandu dengan alat bentu tersebut terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain. BNN menambahkan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan guna mencegah maraknya peredaran narkoba, yakni pencegahan dengan cara melakukan sosialisasi secara intensif akan bahaya narkoba, penindakan bagi yang terbukti menjadi pengedar dan pengguna, serta rehabilitasi dan pendampingan terhadap pengguna narkoba.
Indonesia Lahan Subur Peredaran Narkoba
Berdasarkan data dari BNN, peredaran narkoba di Indonesia memiliki nilai yang fantastis sehingga menjadi daya tarik besar buat para pemainnya. Pada periode Januari sampai November 2011 saja peredaran narkoba mencapai 28 Milyar Rupiah lebih, tapi nilai ini hanyalah sebagian kecil dari peredaran sesungguhnya di Indonesia. Selain itu perbandingan harga narkoba di Indonesia dengan diluar negeri sangat jauh berbeda. Salah satu contohnya adalah narkoba favorit di kalangan para pemakainya adalah shabu-shabu, di Malaysia di bandrol 300.000 Rupiah tapi di sini bisa berharga sampai Rp. 2 Milyar lebih.
Cara yang dilakukan oleh pengedar narkoba ini seolah juga tidak ada habisnya. Belakangan ada hal baru yang mulai terungkap oleh aparat kepolisian tentang cara transaksi narkoba dari luar negeri. Internet yang selama ini akrab dengan kehidupan kaula muda perlahan mulai dimanfaatkan untuk media transaksi narkoba.
Menurut Kepala Humas BNN Kombes Polisi Sumirat Dwiyanto, sejak awal Februari 2012 lalu dalam pertemuan internasional yang dihadiri BNN, sudah dibahas mengenai kemungkinan digunakannya media online untuk transaksi narkoba di Indonesia. Melalui intelejen BNN, disimpulkan bahwa pengedar narkoba internasional via internet biasanya kerap menggunakan kode atau sandi tertentu untuk melakukan transaksi. 
Pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberantas peredaran Narkoba di Indonesia, sebab perlahan cara yang digunakan oleh para pengedar narkoba juga semakin canggih dan terorganisir. Oleh sebab itu peran aktif pemerintah dan petugas yang berwenang harus lebih ditingkatkan demi memelihara kondusifitas anak bangsa agar tidak terkontaminasi narkotika.

Penulis : Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed