Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Senin, 17 September 2012

Ketika Hakim Tidak Netral

Oleh : Eka Azwin Lubis.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Isi pasal 1 Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman tersebut menggambarkan bahwa hakim memiliki legitimasi yang dijamin oleh negara dalam menegakkan hukum secara adil dan merdeka tanpa intervensi dari pihak manapun. Praktis hanya kebenaran yang hakikilah yang menjadi orientasi bagi setiap hakim yang mengemban amanah Pancasila demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan.
Oleh sebab itu dalam menjalankan kewajibannya seorang hakim harus bebas dari ikatan atau tekanan dari pihak manapun yang terkadang diciptakan oleh orang - orang yang bersalah dan menginginkan pengkerdilan keadilan di negara ini. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Lalu ada Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga peradilan dimana hasil keputusannya bersifat final. Tidak seperti Mahkamah Agung yang memiliki beberapa lingkungan peradilan dibawahnya seperti dijelaskan diatas.Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).

Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Cita - cita UUD 1945 pasca amandemen adalah eksistensi lembaga peradilan Indonesia dalam menegakkan hukum dinegara ini dapat terus terjaga sehingga hukum benar - benar menjadi panglima dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab jika satu negara telah dapat menjadikan hukum itu sebagai panglima maka mustahil jika kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya akan sulit terwujud. Pihak - pihak yang terlibat dalam menjalankan penegakan hukum tersebut juga dituntut idealismenya dalam melaksanakan tugasnya.

Hakim seperti yang tergambar diatas juga merupakan salah satu pihak yang harus memiliki dedikasi dan idealisme tinggi dalam menjunjung kesakralan hukum yang hanya berpihak pada kebenaran tanpa melihat kepentingan apa yang ada dibelakangnya. Berat tanggung jawab moral yang harus dimiliki dan dijaga oleh seorang hakim dalam menjaga eksistensi idealismenya untuk menegakkan hukum. Apalagi realita saat ini menggiring kita pada pemikiran pragmatis yang harus mengenyampingkan keadilan demi kepentingan sebahagian golongan yang memiliki kekuasaan.

Meskipun harus diakui secara jujur terkadang nurani para hakim nakal menolak untuk melakukan keputusan - keputusan kontroversi yang merugikan pihak - pihak yang seharusnya tidak pantas untuk dipersalahkan dan membela pihak - pihak yang bersalah, namun kencangnya terpaan angin yang menguji keteguhan idealisme seorang hakim terkadang tidak bisa dilawan sehingga kejujuran dan idealisme tersebut harus tergadai demi kepentingan pribadi.

Hal ini terbukti dari banyaknya pelanggaran - pelanggaran yang dilakukan oknum - oknum hakim nakal yang disadari atau tidak prilaku mereka telah menciderai keadilan di Indonesia yang saat ini sangat mahal harganya. Siapa yang memiliki kekuasaan dan kedigdayaan maka dia bisa membeli keadilan dinegeri ini yang senantiasa digadaikan oleh oknum hakim yang gemar berselingkuh dari idealismenya.

Wajah Murung Keadilan

Putusan hakim yang merupakan penetapan bagi seseorang tersebut dinyatakan bersalah atau tidak, seakan tidak lagi menjadi jaminan bahwa keadilan yang hakiki menjadi orientasi didalamnya. Bagaimana tidak, banyak permainan yang terjadi dalam mempengaruhi keputusan hakim sehingga hukum yang berlandaskan keadilan sudah menjadi hal yang langka. Hal ini dikarenakan uang dan kekuasaanlah yang menjadi panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara sehingga semua seakan bisa dibeli termasuk keadilan.

Bahkan tidak jarang hakim - hakim nakal sendiri yang menawarkan diri untuk menggadaikan idealismenya dengan cara melakukan pemerasan terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa yang menjalani proses hukum agar tidak menjadi terpidana.

Kita masih ingat bagaimana pada September tahun 2006 lalu kasasi Mahkamah Agung memvonis 4,5 tahun penjara kepada hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman Alossitandi yang melakukan pemerasan terhadap kepala Analisis Unit Manajemen Risiko Jamsostek, Walter Sigalingging yang menjadi saksi dalam kasus korupsi Jamsostek. Hal ini mengindikasikan bahwa oknum hakim tidak hanya menjadi korban intervensi dalam menegakkan keadilan, namun juga menjadi pelaku perdagangan keadilan.

Belum lagi kasus suap yang merupakan kasus paling laris dalam penyimpangan yang dilakukan oleh oknum hakim nakal. Ibrahim yang merupakan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara divonis 3 tahun penjara pada Maret tahun lalu akibat menerima suap senilai 300 juta rupiah dari pengacara PT Sabar Ganda dalam kasus sengketa tanah dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ditangani Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Lalu disambung dengan kasus yang cukup fenomenal dimana mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan yang berstatus sebagai terdakwa menyuap Hakim Muhtadi Asnun yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Tangerang sebesar 40.000 US Dollar. Muhtadi Asnun sendiri pada tingkat banding divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

Kasus suap menyuap hakim belum selesai sampai disitu. Diawal tahun 2012 ini dimana banyak orang berharap sistem peradilan yang lebih baik ternyata masih menjadi hal yang utopis. Nama Imas Dianasari mencuat kepermukaan dan menambah daftar hitam kasus hakim yang menerima suap. Imas divonis 6,5 tahun oleh Pengadilan Tipikor Bandung atas dugaan suap untuk perkara hubungan industrial PT Onamba Indonesia pada 30 januari 2012 kemarin. Sementara Syarifuddin Umar yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dituntut 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akibat dugaan suap dari Puguh Wirawan terkait kasus kepailitan PT Sky Camping Indonesia.

Apakah setelah terungkapnya kasus Syarifuddin tersebut maka kasus suap menyuap antara pihak yang bermasalah dengan para hakim nakal yang hobi menggadaikan idealismenya akan tutup buku. Jika kita menjawab iya maka terlalu dini kita mengambil kesimpulan tersebut. Sebab selagi idealisme akan penegakkan hukum yang adil dan jujur masih sering diselingkuhi oleh kepentingan pribadi maka penyimpangan juga akan senantiasa mengikuti. Menurut Sekjen Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub sejak tahun 2005 sampai 2011 sendiri Komisi Yudisial menerima laporan dari masyarakat mengenai prilaku hakim nakal lebih dari 13.000 kasus.

Jika kita menyangka penghasilan seorang hakim yang menjadi faktor penyebab mereka melakukan tindakan tersebut maka sesungguhnya dugaan kita keliru. Sebab menurut Ketua Lembaga Pemerhati Hukum dan Kebijakan Publik (LPKHP) Jawa Barat, Erland Jayaputra apabila alasan upah rendah yang diberikan kepada hakim yang memicu mereka untuk bertindak nakal maka hal itu sangat tidak beralasan. Pasalnya gaji yang diberikan negara kepada para hakim sudah relevan. Akan tetapi permasalahan utamanya yakni karakter dan mental hakim yang tidak baik sehingga memicu sikap tindakan hakim yang di luar koridor.

Kita tentu merindukan sosok - sosok hakim kita yang berkarakter bak Bao Zheng yang merupakan seorang hakim pada zaman dinasti Ming di Tiongkok. Dia tidak segan mengangkat kasus yang melibatkan para pejabat negara yang melakukan pelanggaran. Seperti contohnya enam kali dia melapor pada kaisar dan meminta kaisar agar memecat pejabat tinggi Zhang Yaozhuo yang merupakan paman dari selir kelas atas kerajaan. Selain itu hakim Bao juga pernah tujuh kali menyarankan kanselir untuk memecat Wang Kui yang merupakan seorang pejabat tinggi lain yang juga kepercayaan kaisar. Bahkan dia pernah beberapa kali membujuk kaisar untuk memecat Perdana Mentri Song Yang. Mereka semua terindikasi melakukan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain.

Jika semua hakim kita seperti Bao Zheng maka keadilan tidak lagi menjadi barang yang mahal dan hanya dapat dimiliki oleh penguasa, namun juga oleh semua rakyat Indonesia. Dan kemuliaan seorang hakim sebagai oknum penegak hukum yang hakiki akan senantiasa terjaga eksistensinya. ***

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/09/18/75208/ketika_hakim_tidak_netral/

0 comments:

Posting Komentar