Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Selasa, 29 Mei 2012

Penegakan HAM Di Ranah Jurnalistik (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis

Saat kita mendengar kata jurnalis, lantas yang terfikir dalam benak kita adalah kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan untuk mencari, meliput, dan menyampaikan berita atau informasi – informasi penting kepada masyarakat luas dengan tujuan seluruh masyarakat didunia dapat mengetahui perkembangan situasi yang ada di daerah bahkan belahan dunia lain guna menjadi konsumsi publik. Namun sadarkah kita bahwa pekerjaan mulia ini terkadang sering terabaikan oleh publik karena peran mereka yang selalu berada dibalik layar pemberitaan. Sehingga tidak jarang peran mereka yang begitu urgen dalam mencari, meliput, dan menyampaikan berita sering terlupakan oleh masyarakat luas. Kaum jurnalistik yang akrab disapa dengan sebutan pers juga tidak jarang menemui hambatan dan rintangan dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari karena berbagai macam halangan yang siap kapan saja dan dimana saja menggangu tugas mereka dengan berbagai alasan yang bersifat sentimen. Sesuai isi pasal 1 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Jika mengacu pada penjelasan isi undang-undang tersebut, maka sudah sewajarnya kaum juru warta tersebut memiliki hak untuk meliput segala sesuatu hal yang bertujuan untuk konsumsi publik yang tentunya bersifat fakta dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Tetapi realita yang terjadi justru berkata lain, dimana para awak wartawan sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dalam menjalankan tugas jurnalistik mereka. Banyak kasus yang terjadi mengenai pelanggaran HAM didunia jurnalistik yang dialami oleh para wartawan baik saat mereka menjalankan tugas jurnalistik maupun saat mereka sedang tidak bertugas yang tentunya di latarbelakangi oleh ketidak senangan sebagian oknum yang merasa dirinya dirugikan oleh pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan yang bersangkutan sehingga menciderai nama baik oknum yang bersangkutan. Ini merupakan hal yang konyol jika kita lihat dari sudut pandang profesionalitas. Sebab bukankah pemberitaan yang mereka muat adalah sesuatu hal yang bersifat real dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Apalagi jika kita melihat tentang adanya pemberitaan positif yang dapat menaikan citra seseorang atau lembaga yang dilakukan oleh para wartawan, sangat jarang ada respon positif yang diterima oleh kaum pers ataupun hanya sekedar ucapan terima kasih. Hal ini wajar karena sudah menjadi tugas dan kewajiban para wartawan untuk memuat dan menyampaikan setiap berita yang ada. Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa jika ada pemberitaan negatif yang memang nyata adanya, sering kali para wartawan atau bahkan kantor tempat wartawan tersebut bekerja menjadi sassaran kemarahan oknum atau pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan akibat pemberitaan yang dilakukan? Bukankah ini merupakan satu tindak diskriminatif terhadap para wartawan yang memiliki tugas peliputan berita yang ada dan itu di atur oleh UU No. 40 tahun 1999. Lalu diman lagi letak keadilan kepada kaum jurnalisme. Memang harus kita akui bahwa tidak jarang pula ada oknum yang sering memanfaatkan nama wartawan untuk mencapai kepentingan pribadi semata yang berakibat pada rusaknya citra wartawan dimata publik. Seperti dalam melakukan pungutan liar ke sekolah-sekolah atau instansi pemerintahan maupun swasta, banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menjual nama wartawan agar mendapat setoran dengan modus akan meliput berita-berita miring yang menyangkut tentang sekolah atau instansi-instansi tersebut. Tidak hanya itu, bahkan ada pula wartawan yang memang berprofesi sebagai wartawan melakukan peliputan liar diluar jam dinasnya sebagai wartawan demi mencari penghasilan tambahan yang berakibat pada rendahnya kepercayaan publik terhadap independensi profesi wartawan itu sendiri. Padahal sesuai pernyataan ketua PWI Cabang Sumatera Utara, Muhammad Syahrir dalam melakukan pemaparan makalahnya dengan materi : “Pendidikan HAM Bagi Jurnalis; Menuju Jurnalisme Berbasis HAM di Sumut” saat diskusi publik yang diadakan oleh Pusham Unimed yang bekerjasama dengan PWI Cabang Sumut dan Asian Agri yang mengusung tema “Jurnalisme Berbasis HAM” tanggal 6 Desember 2011 kemarin yang menjelaskan bahwa seseorang itu hanya berhak dikatakan wartawan apabila dia sedang melakukan tugas jurnalistik. Namun apabila seseorang itu tidak sedang melakukan tugas jurnalistik, dia bukanlah dikatakan wartawan, atau dengan kata lain profesi wartawan itu tidak bisa dipakai setiap saat. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai siapa saja yang berhak mendapat predikat sebagai seorang wartawan. Sebab jika kita melihat Undang-undang nomor 40 tahu 1999 yang mengatur tentang pers mengatakan bahwa setiap warga negara indonesia berhak mendirikan perusahaan pers tanpa ada kriteria tertentu yang mengaturnya asalkan perusahaan pers tersebut harus berbentuk badan hukum Indonesia. Ini mengindikasikan ketidaksakralan profesi wartawan dimata publik sehingga dapat merusak integritas oknum wartawan karena tidak adanya kriteria khusus bagi seseorang yang ingin menjadi wartawan yang berakibat pada munculnya wartawan-wartawan yang tidak profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Padahal jika kita melihat pada zaman Orde Baru, seseorang yang ingin menjadi wartawan wajib menjadi anggota PWI yang membutuhkan waktu antara 8 sampai 10 tahun untuk berhak menjadi anggota PWI setelah melakukan serangkaian uji test dan training dalam peliputan berita. Dan setiap pejabat publik pada saat itu diberikan semacam buku putih yang berisi identitas wartawan yg tergabung dalam PWI, maka dengan sendirinya wartawan yg bukan anggota PWI tidak bisa melakukan wawancara apalagi melakukan pungutan liar. Sehingga setiap hal dan kegiatan yang dilakukan oleh para wartawan dapat di koordinir dengan baik tanpa ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oknum wartawan yang dapat merusak citra kaum jurnalis. Namun hal tersebut tidak berlaku lagi pada saat ini. Dengan dasar Hak Asasi Manusia, Era Reformasi mempersilahkan semua orang untuk bisa menjadi wartawan, mendirikan organisasi pers, dan lain-lain. Inilah yang mengakibatkan terjadinya ketidak profesionalan wartawan-wartawan instant dalam melaksanakan tugas jurnalistik yang akan merusak citra dari insan pers itu sendiri karena tingkah segelintir oknum wartawan yang memanfaatkan profesinya justru saat diluar tugas dinas jurnalistik. Kalau sudah begini bagaimana Hak-Hak para wartawan dapat di Protect dengan baik jika banyak perusahaan – perusahaan atau organisasi wartawan yang lahir dari produk instan yang tentunya sulit untuk melindungi Hak – Hak para wartawannya yang senantiasa terabaikan karena profesi mereka yang bersentuhan langsung dengan berbagai masalah yang ada. Apalagi banyak wartawan yang tidak dibekali pengetahuan yang memadai untuk mendukung profesi meraka yang selalu bersentuhan dengan beragam kejadia yang berbada – beda. Karena hal yang paling dituntut dari para wartawan bukanlah gayanya tetapi karyanya sesuai yang disampaikan oleh M. Syahrir. satu hal yang harus kita pahami jika kita membicarakan masalah penegakkan HAM dikalangan jurnalistik yaitu bahwa gaung dari jurnalisme berbasis HAM sangat tipis, gemanya tidak menonjol khususnya di Sumut. Dimana seharusnya insan pers harus lebih responsif dalam melaksanakan jurnalisme yang berbasis HAM, seperti yang diutarakan Wardjamil dalam diskusi publik tersebut. Apalagi sering kali sajian – sajian media sering dikaitkan dengan isu Hak Asasi Manusia, namun mengapa hingga saat ini jurnalisme sangat jarang yang berbasis HAM. Hal Ini tidak lain dikarenakan pemahaman yang rendah insan media terhadap Hak Asasi Manusia. sebab seberapa jauh pers memahami kebebasan pers yang dibatasi oleh HAM adalah hal yang paling urgen. Harus diakui pula, para wartawan juga tidak jarang mengabaikan hak-hak orang lain dalam memuat berita, seperti apabila ada oknum pejabat yang tersandung masalak korupsai, tidak hany oknum yang bersangkutan saja yang namanya mencuat kepermukaan, melainkan juga pihak keluarga oknum yang bersangkutan tidak jarang ikut terseret dan terbawa-bawa dalam pemberitaan media. Disini sekali lagi sangat dibutuhkan keprofesionalan dari awak media dalam memuat pemberitaan yang ada, jangan sampai merugikan pihak-pihak lain yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu masalah. Karena wartawan tidak berhak melakukan asas praduga tak bersalah, sebab yang berhak memvonis seseorang bersalah atau tidak bukanlah tugas dari wartawan. Wartawan hanya berhak memuat berita fakta yang ada dan biarkan publik yang menilainya sendiri. Begitu juga halnya publik, kedewasaan publik sangat dibutuhkan dalam terwujudnya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi pers yang termasuk golongan rentan pelanggaran HAM.

0 comments:

Posting Komentar