Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Selasa, 29 Mei 2012

Mengabdi Pada Kebodohan

Oleh : Eka Azwin Lubis

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ayat 1 Pasal 1 Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan tersebut menggambarkan urgensifitas pendidikan yang harus dienyam oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali guna memperkaya wawasannya dalam menjalankan hidup yang potensial dan berkepribadian. Sebab jika seseorang yang terlahir kemuka bumi tidak mendapat kesempatan untuk menjalani proses pendidikan baik secara formal, informal, maupun nonformal, maka praktis orang tersebut akan menjalani hidup yang tidak berorientasi. Islam sendiri jika kita melihat dari konteks sudut pandang agama menegaskan bahwa manusia harus belajar dari mulai buaian sampai liang lahat. Betapa tidak bisa dipungkiri bahwa kita harus senantiasa belajar dan belajar untuk menjadi manusia yang bermartabat dan berpengetahuan. Jika kita melihat dari sudut pandang filosofi pendidikan maka kita akan menemukan pernyataan bahwa pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran. Dari situ kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa urgennya pendidikan bagi setiap insan manusia yang ada didunia. Seperti yang dijelaskan Horton dan Hunt bahwa fungsi yang nyata (manifes) dari pendidikan itu antara lain Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat, Melestarikan kebudayaan, dan Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi. Hal ini linier dengan apa yang dikatakan oleh David Popenoe, dimana ada empat macam fungsi pendidikan yakni Transmisi (pemindahan) kebudayaan, Memilih dan mengajarkan peranan sosial, Menjamin integrasi sosial, Sekolah mengajarkan corak kepribadian, dan Sumber inovasi sosial. Praktis dari penjabaran tersebut semua masalah yang dihadapi manusia dalam menjalani kehidupan baik secara individu maupun sosial akan bisa diselesaikan dengan ilmu yang dimilikinya dengan wawasan berfikir dan etika sikapnya yang didapat dari berbagai sistem pendidikan baik diranah keluarga atau sering disebut pendidikan informal, masyarakat atau lingkungan yang disebut sistem pendidikan non formal, dan sekolah yang lazim disebut dengan pendidikan formal. Dalam konteks ini kita akan membahas bagaimana sistem pendidikan formal di Indonesia yang merupakan arena belajar bagi setiap warga negara Indonesia untuk menuntut ilmu yang legitimasinya dijamin oleh negara sesuai ayat 1 pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Oleh sebab itu setiap warga negara berkewajiban untuk menuntut ilmu dan Negara memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan isi ayat tersebut dengan memberikan fasilitas yang dapat menunjang terselenggaranya sistem pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang pada ayat 2 pasal 31 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Alergi Kecerdasan Bangsa Jika kita melihat salah satu poin penting yang menjadi acuan dalam preambule UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki cita – cita mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Betapa mulianya harapan para pelopor kemerdekaan yang meletakkan pendidikan menjadi hal yang harus mendapat perhatian khusus untuk dimajukan demi terciptanya kehidupan bangsa yang cerdas. Namun yang terjadi adalah Dos Sein But Dos Sollen, dimana apa yang menjadi harapan tidak selalu berjalan lurus dengan apa yang menjadi kenyataan. Realita saat ini menghadapkan kita pada fenomena yang sangat memprihatinkan dimana sistem pendidikan Indonesia masih sangat carut marut dalam implementasinya. Ada dua pihak yang menjadi objek dalam terselenggaranya pendidikan yang berbasis pencerdasan bangsa tanpa harus membebani rakyat. Yang pertama adalah dari pihak masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih ada memiliki pemikiran bahwa pendidikan bukanlah hal yang urgen dalam menjalani kehidupan. Ini terbukti dari masih banyaknya anak yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah menempuh pendidikan formal sedikitpun dikarenakan cara fikir yang masih kolot sehingga menganggap tanpa bersekolahpun tetap bisa hidup. Fenomena ini sering kita jumpai didaerah pedesaan. Sebahagian besar anak didesa yang umumnya jauh dari kota hanya menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar dan justru lebih memilih pergi ke kota pasca tamat menempuh pendidikan dijenjang sekolah dasar untuk bekerja dan mendapat uang yang dibawa pulang kampung sehingga dari situlah parameter keberhasilan mereka dalam menjalani hidup dianggap berhasil. Ada juga sebahagian yang memilih untuk turun ke sawah dan ladang untuk membantu orang tua tanpa harus memikirkan dunia pendidikan yang dinggap bukanlah jaminan akan kesuksesan. Yang lebih ironis adalah hingga saat ini masih banyak orang tua terutama di desa yang beranggapan bahwa anak perempuan tidak terlalu penting mengenyam pendidikan disekolah atau bahkan dunia kampus karena pada akhirnya akan balik ke dapur juga sebagaimana lazimnya seorang wanita. Anggapan mereka memang tidak keliru, sebab memang sudah menjadi kewajiban bagi seorang wanita untuk pergi melayani suaminya setelah menikah termasuk dalam urusan dapur. Tapi ada satu hal yang tidak disadari oleh para orang tua yang beranggapan seperti ini, karena anggapan seperti inilah yang membuat ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi karena perbedaan pendidikan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan. Maka wajar jika survey yang dilakukan oleh Ganis menyatakan Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah dan menurutnya Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Menurut Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, masih terdapat sebagian anak-anak usia sekolah yang belum menikmati pendidikan dasar. Akan tetapi jumlahnya terus menurun setiap tahunnya. Ia menjelaskan anak-anak yang mengalami putus sekolah diantaranya karena persoalan ekonomi. Oleh karena itu, upaya yang harus diambil adalah menyelesaikan masalah ekonomi tersebut dengan memberikan beasiswa kepada anak yang kurang mampu. Lebih lanjut beliau menyatakan meski sekolah dasar sudah tidak lagi memungut biaya, tetapi beasiswa ini diperlukan untuk mendukung siswa yang kurang mampu sehingga tetap dapat menempuh pendidikan dasar. Upaya lain juga akan dilakukan pemerintah, sehingga semua anak mendapatkan pendidikan. Pihak lain yang menjadi objek terkendalanya pemerataan pendidikan ini adalah pemerintah yang harusnya bertanggung jawab akan terlaksananya pencerdasan kehidupan bangsa. Padahal ada tambahan dana untuk sektor pendidikan sebesar Rp 15,612 triliun yang muncul sebagai dampak kenaikan anggaran belanja negara dalam APBN Perubahan 2011. Namun sekali lagi management yang carut marut membuat aliran dana tersebut tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Dunia pendidikan merupakan sektor yang paling rawan korupsi, selain korupsi uang , disini juga rawan terjadi korupsi kebijakan, korupsi program, dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dari pernyataan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, yang mengatakan bahwa kenaikan anggaran pendidikan bukan karena didasarkan kebutuhan, tetapi karena memenuhi konsekuensi kenaikan anggaran belanja. Itu terjadi karena Kemendiknas tidak menyiapkan desain program dan mata anggaran yang masih membutuhkan dana. Disinilah letak rawannya penyimpangan aliran dana pendidikan yang senantiasa menjadi lumbung korupsi yang berdampak pada minimnya tingkat kecerdasan anak bangsa karena tidak mengenyam pendidikan yang semestinya mereka dapatkan.

0 comments:

Posting Komentar