Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Kamis, 07 Juni 2012

Makalah LK - II Pandeglang





ORIENTASI DAN REALITA KADER HMI 


 ( Degradasi Idealisme & Responsif Kader ) 
1. Pendahuluan
       a. Latar Belakang
     Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin dan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah bagi setiap insan manusia yang ada didunia. Karena islam senantiasa mengajarkan kebajikan kepada umat manusia dan mengatur kehidupan mereka sesuai dengan fitrahnya sebagai pemimpin dimuka bumi. Hal inilah yang membuat manusia dalam menjalankan hidup harus senantiasa berpedoman pada Al-qur’an dan Al-hadits. Sehingga sudah sewajarnya ini yang menjadi landasan bagi manusia untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah, termasuk nikmat untuk hidup. Manusia sendiri secara hakikatnya merupakan mahluk yang diciptakan Allah sebagai pemimpin didunia karena telah diberikan anugrah berupa akal pikiran dan hawa nafsu yang tentunya tidak dimiliki oleh mahluk hidup lain. Manusia juga merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga dari itu sesuai dengan sifat kodratinya manusia juga harus hidup secara tolong menolong. Hidup seimbang antara dunia dan akhirat, menyesuaikan kepentingan individu dan kelompok, serta dapat mengatur keseimbangan iman yang merupakan prinsip abadi, ilmu yang merupakan kendaran diri dan amal yang merupakan bekal yang hakiki adalah kriteria seorang mukmin sejati. Oleh sebab itu dalam hidupnya manusia diberikan akal oleh Allah untuk dapat berfikir dan belajar sehingga tidak menjadi orang – orang yang merugi dunia dan akhirat. Dalam proses belajar itu sendiri, manusia dihadapkan pada beberapa kesempatan yang senantiasa dapat memberikan ilmu pengetahuan dalam hidupnya, dimulai dari lingkungan keluarga yang merupakan arena belajar awal sebelum seorang manusia terjun ke dunia pendidikan formal. Setelah lingkungan keluarga, maka setiap manusia berhak menerima pendidikan formal disekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Dalam hal ini Negara juga menjamin hak tersebut yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan. Jika kita bicara pendidikan formal, maka diantara hal yang paling urgen adalah manakala seseorang itu telah berstatus sebagai mahasiswa dan mulai dikategorikan sebagai manusia intelektual. Status inilah yang coba kita linier kan dengan substansi dasar tujuan dari seseorang itu menuntut ilmu sehingga perlahan akan mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan dalam menjalani hidupnya manusia senantiasa mengalami perubahan. Begitu juga dengan halnya pendidikan, dimana seorang insan harus senantiasa berubah dalam menuntut Ilmu, tidak hanya taraf berfikir yang semakin bertambah dan membuat manusia semakin cerdas, tetapi juga jenjang pendidikan yang jika kita bicara pendidikan formal dimulai dari seseorang itu berstatus siswa hingga puncaknya dikala seseorang itu berstatus mahasiswa baik di strata pertama maupun selanjutnya. Karena islam merupakan agama yang menuntut umatnya harus menjadi orang yang cerdas. Jika kita bicara Mahasiswa, maka menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan pasal 19, mahasiswa adalah hanya sebatas sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiyah, Mahasiswa terdiri dari dua kata, yaitu ” Maha ” yang berarti tinggi dan ” Siswa ” yang berarti subyek pembelajar. Jadi dari segi bahasa “ Mahasiswa ” diartikan sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas. Namun jika kita memaknai Mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit pemikiran kita, sebab meski ia disebut Mahasiswa maka diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar ( study ), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang ikon-ikon pembaharu dan pelopor-pelopor perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat dan bangsa. Apabila kita flash back melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. Mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi Mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya Mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang mayoritas beragama islam.
        b. Tujuan Penulisan
       Mahasiswa – mahasiswa yang merupakan kaum pembaharuan dianggap mampu menjadi motor pergerakan demi terwujudnya kemaslahatn umat secara universal. Sebab pola fikir masyarakat selalu berorientasi bahwa mahasiswalah yang mampu mengakomodir segala keluhan yang dialami masyarakat dan memberikan input kepada penguasa. Salah satu wadah yang merupakan tempat berhimpunanya mahasiswa yang beragama islam dan memiliki satu cita – cita mulia untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta diridhoi Allah adalah Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ). Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) sendiri merupakan organisasi kemahasiswaan yang berasas islam dan berlandaskan pada al-qur’an dan al-hadits yang tertua di Indonesia. HMI berdiri pada tanggal 14 Rabbiul awal 1366 atau bertepatan dengan 5 februari 1947 di Sekolah Tinggi Islam ( STI ) yang kini bernama Universitas Islam Indonesia ( UII ) tepatnya dikota Yogyakarta dan merupakan wadah bagi setiap Mahasiswa islam yang diharapkan mampu menjadi generasi muda penerus peradaban bangsa yang di ridhoi Allah. Adapun latar belakang berdirinya HMI adalah melihat dan menyadari keadaan kehhidupan Mahasiswa yang beragama islam pada saat itu yang pada umumnya belum memahami dan mengamalka ajaran agamanya yang merupakan ajaran yang haq lagi sempurna seperti yang telah dijelaskan diatas. Keadaan yang demikian merupakan akibat dari sistem pendidikan dan kondisi kehidupan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu perlu dibentuk organisasi sebagai wadah untuk mengubah keadaan tersebut. Organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane ini diharapkan mampu untuk menyesuaikan diri dengan pola fikir Mahasiswa islam yang selalu menginginkan inovasi dan perubahan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan agamanya yang menuntut tanggung jawab akan akal fikiran yang dianugrahkan agar dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur serta diridhoi Allah. Oleh sebab itu HMI melalui kader – kadernya diharapkan juga harus berperan aktif baik kedalam maupun keluar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu baru berusia dua tahun. Maka HMI mencoba untuk berperan aktif dalam menjalankan panji-panji roda pemerintahan yang menganut sistem demokrasi dalam bernegara yang memang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia karena Maka dari itulah HMI yang pada dasarnya memiliki kader-kader yang potensial dan bermilitansi tinggi mulai diperhitungkan dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Apalagi HMI bukanlah oreganisasi asal-asalan yang dibentuk memang untuk menciptakan dan membina Mahasiswa - Mahasiswi Islam yang cerdas, berani, berguna dan memiliki dedikasi tinggi terhadap bangsa, peduli terhadap kondisi umat, peka terhadap kehidupan rakyat dan yang terpenting adalah taat kepada ALLAH sang pencipta seperti yang dijelaskan pada Pasal 4 Konstitusi HMI tentang tujuan HMI yang berbunyi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala“

2. Tinjauan Pustaka
       Indonesia yang merupakan negara kesatuan telah menetapkan Demokrasi selaku haluan sistem pengelolaan kenegaraan. Sehingga semua pihak yang merupakan warga negara Indonesia berhak untuk ikut berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Sebab Demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah (mederegeren), baik secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (Demokrasi Langsung) maupun secara tidak langsung seperti yang terdapat dalam negara-negara modern. Begitu juga halnya HMI yang merupakan wadah bagi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Sehingga dalam pola pengkaderan selalu ditekankan bagaimana seharusnya seorang anggota biasa HMI itu menanggapi realita demokrasi Indonesia yang masih belum konsekuen dalam penerapannya karena masih banyak kita temui pola – pola sentralistik. Dan solusi cerdas harus siap diberikan oleh para kader – kader HMI. Apalagi Hal ini diikuti oleh kebutuhan untuk memperbaiki hukum dan ketertiban, menghilangkan ketegangan, dan peperangan sipil, dan mempromosikan ideal demokrasi didalam sistem politik pemerintahan yang nantinya diharapkan akan memperhatikan prioritas domestik termasuk akses kepada sistem pendidikan yang lebih baik untuk membasmi butah huruf dan kebodohan serta meraih kesetaraan gender, keadilan sosial, dan kebebasan beragama. Yang saat ini belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Sehingga inilah sebenarnya pembelajaran sesungguhnya bagi seorang kader untuk menempa jiwa responsif dan kepedulian mereka dalam menghadapi tantangan birokrat yang belum bersahabat dengan kemakmuran rakyat luas. Oleh sebab itulah kader HMI seperti dijelaskan diatas harus mampu memberikan angin segar kepada masyarakat yang bosan dengan kehidupan yang kurang bersahabat ini. Maka perlahan rasa kepercayaan mereka terhadap pemerintah mulai terkikis. Apalagi jika saat ini kita melihat tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sangat minim. Sebagai contoh jika kita mencermati fenomena rakyat yang tidak puas dengan kinerja DPR yang merupakan wakil mereka, hal ini bisa dilihat sebagai indikasi adanya komunikasi dan pemahaman yang tidak berimbang antara legislatif dan rakyatnya. DPR yang seharusnya mengevaluasi sejauhmana sistem komunikasi yang telah dibangun selama ini dilaksanakan, terutama dengan sistem dengar pendapat. Disinilah seharusnya kader HMI dapat mengambil moment sebagai kaum terpelajar untuk menjembatani segala keinginan rakyat dengan cara berkomunikasi dengan anggota DPR secara intensif untuk mengubah gaya pemerintahan yang hanya memikirkan kepentingan individu semata. Sehingga dengan berubahnya gaya pemerintahan ini diharapkan keadilan dan kemakmuran masyarakat dapat terwujud. Sebab salah satu contoh adalah supremasi hukum merupakan harapan yang tak kunjung terwujud di Indonesia. Tampaknya hukum hanya ampuh untuk orang miskin dan bodoh, tetapi sangat tumpul terhadap penguasa dsn pengusaha. Maka Bukan hal yang naif jika kita merasa bahwa sistem pemerintahan saat ini dapat diubah dengan perhatian dan kontroling yang ekstra terutama oleh kader HMI yang merupakan kaum terpelajar yang cerdas dan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Masyarakat juga harus siap untuk menerima perubahan kerana penyimpangan dalam satu negara juga tidak semata – mata selalu dilakukan oleh pihak pemerintahan. Karena tidak jarang masyarakat – masyarakat jahat juga terlibat dalam tindakan-tindakan yang merugikan orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompoknya semata tanpa memikirkan nasib orang lain. Tindakan – tindakan brutal terkadang menghiasi kehidupan bangsa karena ulah sekelompok masyarakat yang berbuat tindak kriminal yang beragam. Hal inilah yang disebut sebagai kejahatan terorgaisir. Sebagaimana korupsi, kejahatan terorganisir merupakan prevalensi dalam masyarakat yang dicirikan oleh pertemanan dan patrimonialisme. Lalu jangan pernah berfikir bahwa keadaan pemerintahan dan masyarakat yang sekarang ini sudah mentok tanpa bisa diperbaiki. Karena Tidak ada satu individu dan masyarakat yang dapat luput dari suatu perubahan. Perubahan adalah suatu keharusan, karena diinginkan atau tidak perubahan itu mutlak terjadi. Oleh sebab itu perubahan demi kemajuan bangsa merupakan tugas kita semua baik pemerintah maupun rakyat. Dan peran kader HMI adalah sebagai wadah bagi mereka yang tidak memahami pola perubahan sosial yang memang sulit dimengerti, jangankan oleh rakyat awam, tetapi juga oleh para oknum pemerintah yang memang banyak kurang memahami orientasi perubahan demi keadilan dan kemakmuran masyarakat.

3. Pembahasan 
             a. Orientasi Kader
       Dalam menghadapi perubahan sosial dan dinamika politik Indonesia seiring bergantinya beberapa sistem pemerintahan dari mulai orde lama, orde baru, hingga saat ini zaman reformasi, HMI tetap eksis dalam menciptakan kader-kader yang potensial dan bermilitansi tinggi terhadap organisasi dan negara sesuai dengan isi pasal 4 konstitusi yang telah dijelaskan diatas. Hal ini terbukti dari hingga saat ini HMI lah organisasi keislaman yang memiliki basis masa terbesar dan jaringan terluas di Indonesia. Namun harus kita akui pula bagaimana karakter kader – kader HMI pada saat ini yang perlahan mulai meninggalkan jiwa idialisnya sebagai kaum intelek yang terbina untuk menciptakan kemaslahatan umat dan bangsa yang berpegang teguh pada prinsip – prinsip islam. Hal ini dikarenakan beralihnya haluan orientasi sebahagian kader yang telah berfikir pragmatis demi mendapat satu eksistensi individu dengan mengenyampingkan kepentingan organisasi dan rakyat luas. Dimulai dari bagaimana kita acap kali melihat kader – kader yang tidak peka lagi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang mengalami satu kebuntuhan sosial akibat birokarsi yang dijalankan oleh penguasa negeri sering kali tidak berpihak pada mereka. Kader HMI yang notabenenya adalah Mahasiswa yang terbina dan memiliki kecerdasan sosial yang bertugas sebagai wadah mediasi antara mayarakat yang tertindas dengan pemerintah, justru tidak menunjukan jati dirinya sebagai kaum yang siap mengabdi kepada masyarakat sesuai tujuan dari HMI itu sendiri. Hal ini terbukti dari realita yang terjadi, satu contoh yang dekat adalah bagaimana kader HMI belum mampu memberikan input kepada pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai kewenangan Daerah diwilayah laut sesuai amanat Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 tantang Pemerintaha Daerah. Otonomi Daerah memberikan wewenang kepada Provinsi untuk mengelola wilayah Darat dan Wilayah Laut. Sehingga apabila PP itu segera di keluarkan maka para nelayan yang berada didaerah dapar memanfaatkan kekayaan alam laut sesuai prosedur yang dibuat oleh kepala daerah yang dekat dan mengerti dengan apa yang harus mereka perbuat seperti eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi dan apa diinginkan oleh nelayan didaerahnya. Dan pada akhirnya keadaan laut yang telah menjadi tanggung jawab pemda dapat dijaga dan dilestarikan dengan baik. Karena jika semua diatur secara sentralistik maka lautan Indonesia yang sangat luas akan kurang terperhatikan karena minimnya jumpal personil negara yang tersentral dalam menjaga kelautan dan berdampak pada buruknya pendapatan dari hasil kinerja nelayan yang selalu kalah disegi perlengkapan oleh nelayan asing yang senantiasa mencuri kekayaan biota laut Indonesia. Namun hingga saat ini PP mengenai Kewenangan Daerah di wilayah laut belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal berdasarkan Pasal 132 ayat 1 ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang – undang ini sudah harus selesai selambat – lambatnya satu tahun semenjak undang – undang ini ditetapkan. Dari satu contoh real tentang permasalahan yang urgen ini kader HMI seharusnya dapat mengambil sikap dengan memberikan input dan presser kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan PP tersebut. Agar tidak terjadi lagi pencurian ikan yang dilakukan oleh pihak asing akibat kurang perhatiannya pemerintah pusat dalam mengontrol laut Indonesia yang teramat laus dan berakibat pada penderitaan yang dialami oleh nelayan lokal yang memiliki peralatan minim dalam mencari nafkah. Apabila kader HMI mampu menjadi motor pergerakan dalanm mendorong pemerintah akan hal ini, bukan tidak mungkin pemerintah daerah yang nantinya memiliki kewenangan untuk menjaga wilayah laut didaerahnya masing – masing akan lebih memperhatikan nasib para nelayannya yang selama ini jauh dari kesejahteraan dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah akan nasib mereka. Sekali lagi harus diakui bahwa realita keadaan mayoritas kader justru sangat jauh dari misi pergerakan dan perjuangan yang mengedepankan terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan hidup makmur. Karena pada dasarnya saat ini mayoritas kader lebih mengedepankan sisi akademisi yang mereka jalani demi tercapainya targetan – targetan pribadi. Sehingga hal – hal yang bersentuhan dengan nasib rakyat harus dikesampingkan karena mereka beranggapan bahwa tujuan utama mereka adalah menuntut ilmu demi tercapainya gelar sarjana yang akan disandang. Sementara HMI hanyalah sekedar organisasi untuk wadah menambah koneksi dan persahabatan tanpa berfikir apa sebenarnya substansi seorang kader itu sendiri yang harusnya memberikan pengabdian kepada masyarakat luas tanpa harus mengenyampingkan tugas akademisi yang harus berjalan seimbang dengan prilaku mulia yang pro rakyat dan siap terjun demi memeprjuangkan hak – hak rakyat. Meskipun pola pengkaderan hingga saat ini masih mengedepankan rasa solidarisme sesama mahluk sebangsa, namun agaknya hal tersebut hanya menjadi formalitas belaka tanpa diikuti oleh implementasi nyata oleh sebahagian kader yang berfikiran pragmatis tadi. Karena mau tidak mau pola pengkaderan yang disiplin tersebut harus tetap dilalui demi status yang akan didapat seorang mahasiswa sebagai kader HMI. Namun setelah itu mengenai penerapan dan aplikasi dari apa yang didapat semasa basic training kembali lagi pada pribadi masing – masing bagaimana menyikapinya. Yang saat ini mayoritas disikapi dengan dingin tanpa ada rasa memiliki tanggung jawab akan seorang insan akademis yang berperan demi terwujudnya kemaslahatan umat yang diridhoi Allah. Padahal jika kita melihat apa yang sebenarnya menjadi harapan dan impian umat islam saat ini, maka kita akan menemui jawaban yang menuntut tanggung jawab dan peran aktif kita sebagai insan – insan akademisi yang cerdas dan bernafaskan islam untuk membantu merealisasikan semua mimpi saudara – saudara kita yang tentunya dengan izin Allah. Karena saat ini kaum muslim menghadapi banyak permasalahan dan keprihatinan yang sama dengan orang lain. Ketika ditanya mengenai harapan dan impian mereka, banyak responden pertama – tama menyebutkan permasalahan ekonomi. Mereka menginginkan Kondisi ekonomi yang lebih baik, kesempatan kerja, standart hidup yang lebih baik demi masa depan yang lebih baik lagi. Bukankah ini merupakan tugas kita selaku kader HMI yang mengaku peka dan toleransi terhadap nasib rakyat apalagi yang satu kaidah dengan kita. Ekonomi yang senantiasa menjadi leader dalam permasalahan umat seolah menjadi beban yang sulit diselesaikan. Namun bukan berarti dengan daya fikir dan semangat idealis kita yang telah ditempah sebagai mahasiswa yang berorientasi pada kesejahteraan umat, permasalah klasik tersebut perlahan–lahan akan terkikis dengan management konsep yang kita ciptakan. Selain masalah ekonomi, masih banyak lagi masalah–masalah pelik yang menunggu kesadaran dan partisipan kader HMI yang ditempa militan dan responsif dalam membantu dan bertanggung jawab akan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur serta di ridhoi Allah. Kasus pelanggaran HAM yang mulai santer terdengar lagi kepermukaan, senantiasa menghiasi pemberitaan untuk konsumsi publik. Negara yang seharusnya menjadi lembaga yang bertanggung jawab akan perlindungan dan penegakan HAM bagi setiap rakyatnya, justru bertindak brutal dan acuh dalam menanggapi permasalahan HAM. Disini sekali lagi dituntut kepekaan dari kader yang seyogyanya berjiwa sosialis dan menjunjung tinggi pri kemanusiaan untuk segera tanggap dalam menyelesaikan kasus–kasus ini dengan cara mendorong pemerintah agar lebih peduli terhadap hak–hak kodrati rakyatnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak perlu untuk berfikir terlalu lama untuk berbuat hal yang insyaallah mulia dan ditekankan oleh HMI. Karena jika bukan kita yang respon dan peduli terhadap nasib mereka, praktis hampir tidak ada lagi yang mau tau tentang apa yang sebenarnya dialami oleh masyarakat miskin karena semuanya telah ternyamankan dengan kepentingannya masing – masing sehingga merasa tidak perlu untuk melakukan perbuatan–perbuatan mulia. Padahal selain islam menuntut rasa persaudaraan dan saling tolong menolong, HMI sebagai wadah kita juga dengan jelas memerintahkan untuk senantiasa bertanggung jawab serta berperan aktif dalam menciptakan kemaslahatan umat manusia yang di ridhoi oleh Allah dan meyakini bahwa setiap hal yang kita lakukan mulia dan tujuan yang mulia tersebut pasti berhasil dengan izin Allah. Sehingga sebagai kader yang ditempah dengan baik, kita harus mampu menunjukan eksistensi kita layaknya seorang kader yang diimpikan oleh pasal 4 konstitusi HMI.
       b. Realita Militansi Kader
      Agaknya perubahan zaman juga mulai berpengaruh pada kondisi psikologis kader – kader HMI yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang antara kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan kesengsaraan yang dialami masyarakat agar tidak terlalu senjang dalam realita kehidupan yang nantinya dikhawatirkan akan menimbulkan konflik horizontal antar sesama rakyat Indonesia. Kader HMI yang senantiasa dinaungi rasa tanggung jawab akan keadilan dan kemakmuran yang tercipta ditengah kehidupan masyarakat yang di ridhoi Allah, perlahan mulai lupa akan tugas dan jati diri mereka sebagai kaum intelek yang bernafaskan islam dan peduli akan sesama. Hal tersebut bukanlah ispan jempol belaka, saat ini kita melihat banyak kader yang tidak respon dan peduli terhadap berbagai fenomena sosial yang menimpa masyarakat sehingga menggangu kenyamanan dan ketentraman hidup mereka. Seperti kita lihat dimana Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah, dimana 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Dan ini merupakan satu fakta yang menunjukan betapa besar dan luasnya tanah yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, dari jumlah pulau yang mencapai 17.504 buat tersebut, luas total daratan yang dimiliki Indonesia mencapai 1.922.570 km² dimana 1.829.570 km² merupakan daratan non-air dan 93.000 km² adalah daratan yang berair. Namun fakta yang terjadi adalah sengketa tanah yang tak kunjung usai jaga senantiasa terjadi di Indonesia. Bahkan belakangan gara – gara konflik tanah, negara terindikasi telah melakukan pelanggaran HAM karena telah melakukan tindakan brutal terhadap rakyat Mesuji, Lampung yang menolak lahan mereka di jadikan lahan kelapa sawit oleh pihak perusahaan swasta, dan warga Bima, NTB yang menolak daerahnya dibangun pertambangan karena takut akan terjadi pencemaran ekosistem. Namun pemerintah melalui aparat kepolisian merespon hal tersebut dengan tindakan brutal yang menelan korban jiwa. Dari kejadian diatas, disini dituntut bagaimana seharusnya kader HMI menyikapi masalah ini dengan melakukan tindakan solidarisme yang dilakukan secara serentak agar pemerintah juga meresponnya dengan serius. Seluruh kader HMI lah yang harus dapat mendermakan kemampuannya secara sukarela dan ikhlas demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran hidup masyarakat yang diridhoi Allah. Namun yang terjadi justru hanya segelintir kader yang peduli akan hal ini dengan menggelar aksi solidarisme terhadap korban kekerasan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua kader saat ini merasa terpanggil untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai insan akademis yang siap mengabdi terhadap keadilan dan kemakmuran masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Lalu dimana lagi letak orientasi kader yang mengaku sebagai mukmin yang cerdas serta bertanggung jawab akan kemaslahatan umat.
       c. Minimnya Kepedulian Kader
      Sepertinya rasa peduli terhadap sesama tidak lagi dimiliki oleh semua kader HMI saat ini karena berbagai pengaruh perkembangan yang terjadi. Seperti kasus diatas dimana kader HMI yang seharusnya peka dan bertanggung jawab untuk mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan yang pro rakyat, justru hanya dilakukan oleh segelintir kader sehingga tidak dapat berpengaruh banyak terhadap kebijakan yang dibuat. Belum lagi jika kita melihat bagaimana ketimpangan sosial yang kerap kali terjadi dalam proses hukum di Indonesia. dimana para koruptor yang notabenenya telah mencuri uang rakyat dapat menikmati fasilitas mewah meskipun dalam proses menjalani hukuman, sementara rakyat kecil yang melakukan tindakan kriminal akibat lilitan kemiskinan yang menimpa mereka justru selalu ditindak tegas tanpa ampun. Seperti yang terjadi bagaimana Artalita Suryani tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mendapat fasilitas mewah berupa ruang tahanan yang dimodif ala kamar hotel bintang lima yang dilengkapi dengan berbagai layanan yang menjadi kebutuhan sang napi. Atau kisah dari tersangka kasus korupsi di Kantor Pajakan Gayus Tambunan yang saat ditahan justru bisa pelesiran ke bali untuk menonton pertandingan tenis Internasional, bahkan pergi keluar negeri dengan uang yang dia miliki hasil dari korupsi yang ia lakukan. Selain itu isu yang paling sering terjadi tentang pelayanan ekstra para napi berdasi ini adalah izin berobat yang senantiasa menjadi jurus ampuh bagi mereka yang tersandung masalah korupsi. Cara ini merupakan hal klasik yang selalu digunakan oleh koruptor sebagai upaya menunda-nunda persidangan yang berakhir pada terbenamnya kasus mereka dikemudian hari. Dimulai dari Sjamsul Nursalim tersangka kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II atau kasus Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dimana Bank ini menerima kucuran dana sebesar Rp28,4 triliun dari program BLBI. Dalam panggilan ketiga Kejagung, Sjamsul yang sedianya akan dimintai keterangan seputar negosiasi dalam perjanjian Master Settlement for Acquisition Agreement (MSAA) dengan Badan Pengawas Perbankan Nasional (BPPN) melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail dan Eri Hertiawan, menyatakan tidak bisa hadir karena sedang menjalani pengobatan di luar negari setelah pada dua panggilan sebelumnya dia juga tidak menghadiri persidangan. Hingga saat ini kasus tersebut belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya, bahkan sempat tersiar kabar bahwa Sjamsul saat ini telah menjadi buronan walaupun kabar tersebut dibantah oleh pihak Kejagung. Dilanjutkan pada kasus yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor. Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan Itu merupakan keputusan MA dan pemerintah hanya menjalankannya. Dan yang terbaru dan masih hangat adalah kasus yang menimpa istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaiti yang tersandung masalah kasus cek pelawat dan ditahan di rutan Pondok Bambu. Nunun yang sebelumnya menghuni Paviliun Dahlia ruang 112 bersama puluhan napi wanita lainnya, dipindahkan keruang 14 bersebelahan dengan Melinda Dee, tersangka kasus Citibank, karena Nunun berulang kali menderita sakit dan harus dirujuk kerumah sakit. Hingga pada saat ini ia hanya tinggal berdua dalam satu ruangan dengan Heni Farida tersangka kasus pemalsuan surat yang tentunya lebih nyaman dibanding ruang tahanan sebelumnya. Namun hal ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh rakyat kecil yang dihukum karena tindakan kriminal mereka yang dilakukan akibat kemiskinan yang dialami seperti yang terjadi pada Nenek Minah, seorang tua berusia 55 tahun yang harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan akibat perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Selain kasus sepele yang berakibat panjang yang dialami Nek Minah tadi, masih banyak kasus serupa yang juga menimpa para rakyat msikin yang menjadi sasaran penegakkan hukum secara tegas. Seperti yang dialami Basar (40) dan Kholil (51) warga Kediri yang akibat kemiskinan mereka nekat mencuri semangka dan berujung pada ditahannya kedua orang tua ini. Atau kasus yang terjadi di Sidoarjo, dimana Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Jawa Timur, memvonis 100 hari kurungan penjara terhadap terdakwa Puguh Irawan (24). Terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 363 KUHP setelah mencuri setandan pisang milik Soni Lukmanto, warga Desa Bluru, Kecamatan Sidoarjo. Yang terbaru adalah Kasus pencurian sandal jepit seharga Rp 30 ribu yang dilakukan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, AAL (15) yang saat ini kasusnya sudah sampai ke pengadilan. Sekali lagi kader – kader HMI yang diamanahkan sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala, agaknya mengalami penurunan orientasi karena belum mampu menunjukan eksistensinya berupa kepedulian akan realita yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang senantiasa mengalami ketimpangan sosial dalam menjalani hidup. Padahal kejadian – kejadian tersebut harusnya menjadi tugas kita untuk peduli terhadap sesama karena islam selalu mengajarkan rasa peduli demi terwujudnya keadilann dan kemakmuran mayarakat yang diridhoi Allah.

4. Penutup
          a. Kesimpulan
       Islam merupakan agama yang menerapkana ajaran yang haq dan sempurna sebagai landasan hdup bagi setiap insan manusia. Manusia yang merupaka khalifah dimuka bumi karena memiliki kelebihan berupa akal fikiran dan hawa nafsu sehingga dapat membedakan mana yang hal dan bathil harus senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah atas berbagai nikmat dan karunia yang telah Allah berikan, sehingga manusia dapat hidup bahagia dunia dan akhirat. Dalam hal mencapai kebahagiaan akhirat, manusia yang telah diberi akal dituntut untuk menjadi cerdas dengan jalan selalu menuntut ilmu agar mengetahui segala sesuatu yang belum diketahui. Sebagai contoh adalah Mahasiswa Indonesia yang beragam islam, ada wadah pendidikan diluar kelas yang dapat menempah kemampuan berfikir dan kepeduli terhadap sesama yakni Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ). Karena di HMI Mahasiswa Islam diberikan tanggung jawab sebagai tujuan mereka yang tidak hanya sekedar Mahasiswa tetapi juga sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala. Namun seiring bertukarnya zaman dan berjalannya waktu, militansi dan responsif sebahagian kader HMI juga perlahan terkikis. Hal ini terlihat dari berbagai fenomena diatas, dapat kita simpulkan bahwa saat ini orientasi kader HMI sudah mulai berubah dari apa yang menjadi tujuan sebenarnya HMI itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal yang diantaranya adalah perubahan orientasi beberapa kader HMI.

        b. Saran
       Kader HMI merupakan mahasiswa yang tidak hanya sekedar mahasiswa, tetapi insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala. Sehingga kader HMI harus tetap konsisten dengan apa yang menjadi tujuan setiap kader HMI tanpa pernah terkikis seirng dengan berputarnya waktu agar kemaslahatan umat benar – benar terjadi bersamaan dengan militansi yang dimiliki oleh setiap kader HMI yang siap mengabdi kepada Masyarakat.

0 comments:

Posting Komentar