Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Sabtu, 09 Juni 2012

Mundur, Menunjukan Jiwa Besar dan Profesionalitas

Oleh : Eka Azwin Lubis

Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya. Itulah kalimat yang tercantum dalam pasal 21 ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM ) tahun 1948 yang menjadi dasar bagi semua manusia didunia ini memiliki hak yang sama untuk menjadi pejabat publik. Tak terkecuali di Indonesia bagaimana setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan untuk memangku jabatan apapun yang tidak bertentangan dengan dasar konstitusi. Apalagi Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Hal ini terlihat dari bagaimana seorang Presiden yang merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum yang digelar setiap lima tahun sekali. Tidak hanya dilembaga Eksekutif, pemerintahan dilembaga Legislatif juga menerapkan sistem pemilihan dengan demokrasi secara langsung. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kesemuanya merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia yang tentunya sudah memiliki hak pilih. Sistem seperti ini tidak hanya berlaku ditingkat pemerintahan pusat, bahkan pemerintahan daerah juga menerapkan demokrasi secara langsung untuk memilih kepala daerah baik Gubernur maupun Walikota/Bupati sebagai kepala pemerintah Eksekutif daerah maupun anggota DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pemerintah Legislatif daerah. Seorang Presiden yang terpilih untuk memimpin Indonesia dalam jangka waktu lima tahun kedepan memiliki hak prerogatif untuk menetukan siapa yang menjadi Menteri-Menteri dalam Kabinetnya. Presiden Indonesia saat ini, Soesilo Bambang Yudhoyono juga memiliki hak dan wewenang yang sama dalam memilih orang-orang yang dianggapnya mampu untuk menjadi Menteri yang memimpin Departement Kementrian, Non – Depatement Kementerian, maupun jabatan Setingkat Menteri. Para Menteri ini diharapkan mampu membantu kinerja Presiden dalam menangani bidangnya masing-masing. Oleh karena itu seharusnya seorang Menteri yang dipilih untuk berada dalam Kabinet merupakan orang yang betul-betul ahli dan Profesional dibidangnya sehingga Kabinet yang terbentuk merupakan Kabinet Zaken ( Kabinet Ahli). Namun yang terjadi saat ini justru berbeda dengan yang diharapkan, dimana mayoritas Menteri yang berada dalam Kabinet pemerintahan Presiden SBY yang telah berjalan hampir dua periode dan dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu I dan II, diisi oleh orang-orang yang berkecimpung didalam partai-partai koalisi pendukung kemenangan SBY baik saat berpasangan dengan Jusuf Kalla maupun dengan Boediono. Ini mengindikasikan bahwa pos-pos Menteri yang ada merupakan jatah bagi para partai koalisi pendukung SBY saat kampanye untuk menjadi Presiden, sehingga pada akhirnya yang berada dalam Kabinet bukanlah orang-orang yang Ahli dan Profesional untuk membantu kinerja Presiden. Intervensi terhadap Presiden dalam memilih Menteri juga santer diberitakan. Kalau sudah begini yang namanya profesionalitas kerja tentu dinomor dua kan. Sebab bagi mereka yang terpenting adalah membagi kekuasaan meskipun kepada yang bukan ahlinya. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya berbagai kemunduran yang dialami oleh masyarakat Indonesia diberbagai sektor karena yang memimpin negara bukanlah mereka yang mampu dan dapat mempertanggung jawabkan hasil kerjanya. Belum Siap Turun Jabatan Di Departemen Perhubungan misalnya, dimana kita melihat begitu banyak kecelakaan trasportasi baik laut, udara, maupun darat yang bertubi-tubi terjadi. Contohnya dari kecelakaan Pesawat tahun 2009 yang menewaskan 15 orang penumpang di Papua akibat Merpati Nusantara Airlines yang mereka tumpangi hilang dari peredaran dan Pesawat Cassa 212 yang jatuh di pegunungan Bahorok, Langkat baru-baru ini dan menewaskan semua penumpang dan kru pesawat yang menggambarkan buruknya jaminan keselamatan dalam penerbangan. Di trasnportasi laut dan darat hal yang sama juga sering kali terjadi, hal in dikarena transportasi di Indonesia ditangani oleh orang yang bukan ahli pada bidangnya. Freddy Numbery yang tadinya seorang Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Indonesia Bersatu ( KIB ) jilid I, menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid II menggantikan posisi Jusman Syafii Djamal. Pos Menteri yang ditinggalkan oleh Freddy ditempati oleh Fadel Muhammad yang justru berlatar belakang sebagai Gubernur Gorontalo. Pada KIB jilid I sendiri Menhub dijabat oleh Hatta Rajasa yang kemudian digantikan oleh Jusman Syafii Djamal pada Reshuffle ke 2 KIB jilid I pada tanggal 7 Mai 2007. Hatta Rajasa kemudian menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ( Mensesneg ). Belum lagi masa bakti SBY diperiode kedua kepemimpinannya usai, Freddy Numberi sebagai Menhub kembali diganti oleh Ever Ernest Mangindaan sebagai Menhub yang baru sesuai hasil Resshufle pada tanggal 18 Oktober 2011. Meskipun telah berulang kali berganti Menteri Perhubungan, berulang kali pula kecelakaan trasportasi terjadi, dan tidak satupun dari mereka yang bersedia meletakkan jabatan untuk mempertanggung jawabkan berbagai kecelakaan trasportasi yang terjadi. Tidak hanya dikawasan Kemenhub, banyak lagi Pos Kementerian yang berulang kali tukar pemimpin tanpa memperhatikan kapasitas dan akuntabilitasnya berupa siap untuk mundur apabila kinerjanya jauh dari memuaskan. Hal lain yang dapat dijadikan contoh adalah Kementrian Hukum dan HAM yang harusnya bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM yang belakangan marak terjadi, juga mengalami hal yang demikian. Hamid Awaluddin yang dipercaya menjadi Menkumhan pada KIB jilid I tidak dapat menuntaskan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu. Begitu juga dengan penggantinya Andi Mattalata yang memangku jabatan Menkumham setelah Resshufle ke 2 KIB jilid I pada tanggal 7 Mai 2007. Yang lebih parah adalah Amir Syamsuddin yang menjadi Menkumham pada KIB jilid II menggantikan Patrialis Akbar pasca Resshufle tanggal 18 Oktober 2011, yang tidak siap untuk mengundurkan diri meskipun telah terjadi dua fenomena besar yang menyita perhatian publik karena tindak kekerasan yang mengindikasi pada terjadinya pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Mesuji, Lampung dan Warga Bima, NTB. Kasus yang terakhir disebutkan ini masih hangat diperbincangkan menggantikan isu pembantaian warga di Mesuji, Lampung. Dimana pada Tanggal 23 Desember kemarin terjadi pemukulan dan penembakan aparat dalam pembubaran demo di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Demo ini berawal dari tuntutan warga agar Bupati Bima mencabut izin yang diberikan kepada PT SMN dan PT IMCP untuk penambangan emas di Kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape, Bima, NTB. Namun pihak kepolisian yang seharusnya mengawal dan memediasi para pendemo justru bertindak brutal dengan memukul dan menembak warga yang mengakibatkan dua warga Bima meninggal dunia yakni Arif Rahman dan Syaiful dan belasan warga lainnya luka akibat terkena peluru aparat kepolisian. Selain pihak Kemenkumham yang harus bertanggung jawab atas insiden ini, Polri juga harus siap pasang badan untuk mempertanggung jawabkan tindakan para personilnya tersebut. Timur Pradopo yang merupakan pemimpin tertinggi Kepolisian di Republik ini juga harus siap untuk mengundurkan diri apabila beliau tidak mampu untuk mempertanggung jawabkan tindakan anggotanya. Beliau memegang jabatan sebagai Kapolri sejak tahun 2010 setelah diusulkan oleh Presiden SBY kepada DPR RI selaku calon Kapolri. Dia menyisihkan Komjen Pol Nanan Soekarna dan Komjen Pol Imam Sudjarwo yang sebelumnya menjadi kandidat kuat calon Kapolri. Sebab suka atau tidak suka, Hak setiap warga negara harus dijamin dan dilindungi seutuhnya oleh negara. Jangan jusru para aparatur negara yang malah mengabaikan hak-hak setiap warga negara. Dan apabila hal ini terjadi, maka oknum-oknum yang berwenang harus siap untuk menanggalkan jabatannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan menunjukan sikap profesionalisme seorang negarawan. Kita masih ingat bagaimana Naoto Kan mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Jepang karena beliau merasa tidak mampu untuk mengemban amanah rakyat Jepang. Jiwa besar seperti inilah yang kita rindukan dari para pemimpin negeri yang rela melepaskan jabatannya akibat tidak terealisasinya kesejahteraan dan keamanan rakyat semasa kepemimpinannya.

0 comments:

Posting Komentar