Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Sabtu, 09 Juni 2012

Kebebasan Yang Intoleran

Oleh : Eka Azwin Lubis 

Empat belas tahun sudah reformasi di Indonesia terjadi. Semangat perubahan yang berorientasi pada jaminan kebebasan dan kedaulatan rakyat secara mutlak menjadi cita-cita bersama yang diusung oleh para pejuang reformasi dalam upaya menumbangkan rezim orde baru dibawah pimpinan presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun pasca tumbangnya rezim orde lama dibawah pimpinan presiden Soekarno. Bukan pekerjaan yang mudah bagi mereka yang ingin melepaskan republik ini dari belenggu kekuasaan otoriter dan mendambakan hidup dinegara yang menjamin kebebasan dan hak-hak rakyatnya. Sebab rintangan yang mereka hadapi adalah melawan rezim penguasa yang memiliki power luar biasa sehingga tidak tergoyahkan sampai 32 tahun masa kepemimpinan. Hal ini terbukti manakala rakyat sudah jenuh dengan pola pemerintahan yang diterapkan oleh rezim orde baru dan menginginkan perubahan yang lebih menjamin hak-hak mereka, segera pemerintah melakukan antisipasi ekstra untuk mengkerdilkan semangat perlawanan yang mulai menggelora. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi trisakti, semanggi 1 dan semanggi 2 yang memakan korban jiwa dan harta benda akibat bentrokan yang terjadi antara demonstran dengan aparat keamanan yang berdalih ingin menjaga stabilitas keamanan negara hingga berakhir pada pendudukan secara paksa kantor DPR/MPR oleh mahasiswa yang menjadi motor dari semua pergerakan melawan rezim orde baru. Memang peristiwa-peristiwa itu bukanlah cerminan perjuangan untuk menumbangkan rezim soeharto secara keseluruhan, namun setidaknya itu merupakan klimaks dari semua pergerakan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia yang pada akhrinya benar-benar berhasil menumbangkan pemerintahan orde baru dan terciptanya era reformasi. Cita-cita pejuang reformasi yang menginginkan jaminan akan kebebasan rakyat sebagai pemangku kedaulatan tertinggi negara ini seakan menemui titik terang setelah presiden Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 secara resmi membacakan surat pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie. Praktis Indonesia pada saat itu seolah menatap era baru dalam menaungi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan rakyat yang selama masa orde baru sangat dikekang oleh penguasa meskipun telah dijamin oleh konstitusi, mulai dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca reformasi. Peraturan-peraturan baru yang menjadi jaminan hukum bagi rakyat untuk mengekplorasi segala haknya terus bermunculan pasca tumbangnya rezim orde baru. Jika pada saat pemerintahan presiden Soeharto rakyat sangat dikekang dalam menyampaikan pendapatnya dimuka umum sebagai upaya untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, era reformasi justru menjamin kebebasan tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum bagi seluruh rakyat Indonesia selama tidak melanggar norma-norma dan kaidah hukum yang berlaku. Ini merupakan satu langkah awal yang memberi angin segar kepada masyarakat Indonesia untuk merasakan kehidupan yang benar-benar berdemokrasi dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Pers yang merupakan lumbung informasi juga mendapatkan hak akan kebebasannya dalam meliput, membuat, dan menyampaikan berita kepada masyarakat secara luas. Kehidupan mereka yang pada zaman orde baru sangat akrab dengan berbagai intervensi politik, seakan memasuki lembaran baru dalam menjalankan tugas jurnalistik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang memberi kekuatan hukum dan menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik. Selain itu bobroknya pemerintahan orde baru yang diselimuti oleh hantu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena minimnya pengawasan dan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh pemerintah, mulai ditata ulang pada era reformasi. Transparansi dan akuntabilitas anggaran negara, kebijakan pemerintah, maupun segala hal yang menyangkut nasib rakyat menjadi satu sorotan tajam yang perlahan mulai diperbaiki oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang memberi ruang bagi rakyat untuk dapat mengikuti secara langsung berbagai kebijakan yang dibaut oleh pemerintah. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi yang benar-benar berhaluan pada kedaulatan rakyat. Sampai-sampai presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dulunya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada saat itu, kini pada era reformasi justru dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak pilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kebebasan rakyat dalam menggapai semua haknya yang dahulu dikerdilkan oleh pemerintah, perlahan mulai terealisasi oleh peraturan-peraturan baru yang dibuat pada era reformasi ini. Lebih Tepat Disebut Semi Reformasi Pasca era reformasi, hampir tidak adalagi yang namanya penangkapan misterius orang-orang yang berdemonstrasi yang dikahawatirkan menimbulkan provokasi publik, pembredelan media massa oleh pemerintah yang dianggap sebagai sumber pemicu keributan dan kekisruhan negara, atau maraknya tindakan–tindakan pemerintah yang mengacu pada manipulasi dana anggaran atau pembuatan kebijakan yang terkesan otoriter, karena semuanya kini telah diatur secara objektif melalui berbagai hirarki perundang-undangan guna meminimalisir tindak pengkerdilan demokrasi sesuai cita-cita reformasi. Namun ada hal urgen yang ternyata masih menggangu stabilitas dari cita-cita mulia reformasi tersebut yakni minimnya nilai toleransi yang justru terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan mereka sebagai warga negara yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi. Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat kita kini masih mengalami sifat intoleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Konflik horizontal yang diakibatkan berbagai perbedaan diantara masyarakat kita masih marak terjadi diera reformasi ini. Kemajemukan seolah menjadi musuh dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih belum mampu diterima secara utuh oleh rakyat kita yang notabenenya terdiri dari beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Hal ini terlihat dari banyaknya sengketa yang mewarnai era reformasi dewasa ini yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada ditengah-tengah masyarakat kita. Mulai dari konflik agama yang belakangan mulai merebak ramai kepermukaan. Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat justru diparangi secara tidak manusiawi oleh sesama umat islam yang menyatakan aliran tersebut harus dibubarkan. Atau konflik antara umat islam dan umat kristen di bogor mengenai keberadaan Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin yang membuat hubungan antar umat beragama sempat memanas akibat situasi konflik tersebut yang tak kunjung usai. Bukankan bangsa kita merupakan bangsa yang gemar berdialog atau bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai silang pendapat atau perbedaan yang ada sesuai isi butir keempat Pancasila. Lalu mengapa ketika ada golongan yang merupakan sesama anak negeri ini namun memiliki keyakinan yang sedikit berbeda justru diperangi secara brutal tanpa memandang kaidah-kaidah agama itu sendiri yang mengedepankan cinta kasih antara sesama manusia dan kedamaian bagi pemeluknya. Belum lagi peristiwa-peristiwa berdarah yang ditimbulkan akibat sengketa lahan yang sempat menyita perhatian nasional pasca terbongkarnya kasus penyiksaan di Mesuji Lampung yang diakibatkan oleh sengketa tanah ulayat dan disusul oleh tragedi Bima dengan kasus yang sama. Masih banyak lagi konflik-konflik horizontal yang terjadi di Indonesia pasca reformasi yang disebabkan oleh perbedaan pendapat atau selisih paham yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Bukankah ini merupakan bentuk kebebasan yang intoleran dalam mengaplikasikan makna reformasi itu sendiri. Jika kita masih terus mengedepankan sikap intoleran dalam mewarnai kehidupan demokrasi diera reformasi ini, bukan hal yang berlebihan jikalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang hipokrit dalam mengimplementasikan cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kebersamaan, dan persaudaraan.

0 comments:

Posting Komentar