Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Kamis, 18 Oktober 2012

Pesawat Jatuh, Wartawan Jadi Korban (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis.
Jatuhnya pesawat tempur TNI AU jenis Hawk 200 di Jalan Amal, Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar Riau, memperpanjang catatan buruk dunia penerbangan kita. Meski tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini cukup menyita perhatian publik. Apalagi tercatat sejak tahun 2008 saja sudah terjadi 5 kali kecelakaan pesawat milik TNI.
Persitiwa jatuhnya pesawat Hercules C-130 A-1325 yang berawak 14 orang dan membawa 98 penumpang di desa Keplak, Kabupaten Madiun, pada Mei tahun 2009 lalu menjadi tragedi terakhir kecelakaan dunia penerbangan TNI sebelum jatuhnya pesawat Hawk 200 selasa lalu. Ini harusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah dalam memperhatikan berbagai infrastruktur TNI yang merupakan garda terdepan dalam mengawal kedaulatan Negara. Sebab apabila hal ini terus dibiarkan, maka hal-hal yang tidak kita inginkan akan terus berulang seperti yang kemarin terjadi.
Namun ada satu peristiwa yang juga cukup mencengangkan akibat jatuhnya pesawat Hawk 200 ini. Ada beberapa wartawan yang coba meliput persitiwa jatuhnya pesawat ini namun justru mendapat tindakan represif dari pihak TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru.
Mereka mengaku telah dianiaya oleh seorang oknum yang merasa keberatan atas tindakan mereka yang meliput kejadian jatuhnya pesawat tersebut sehingga oknum TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru yang belakangan diketahui berpangkat Letkol tersebut melakukan pemukulan dan mencekik leher wartawan. Didik Herwanto yang merupakan seorang pewarta foto Riau Pos, menjadi korban penganiayaan anggota TNI AU tersebut saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200.
Selain dianiaya, tampak dari beberapa gambar yang sempat didokumentasikan oleh sesama wartawan, kamera yang dipegang oleh didik juga diambil oleh oknum TNI AU yang lain. Tidak hanya didik yang mendapatkan prilaku tidak menyenangkan tersebut, beberapa wartawan lain seperti Febrianto B Anggoro dari Kantor Berita Antara Riau, Ari dari TV One, Dewo dari Riau channel dan dua wartawan dari Riau TV, juga sempat mendapatkan penganiayaan.
Pihak TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru mengatakan bahwa tindakan personilnya tersebut memang tidak bisa dibenarkan, namun satu hal yang menjadi alasan bagi oknum yang melakukan tindakan penganiayaan tersebut adalah mereka ingin tempat kejadian jatuhnya pesawat harus steril hingga situasi benar-benar aman, karena apabila terlalu banyak orang termasuk wartawan yang coba mendekat dan ingin mendokumentasikan peristiwa tersebut, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang benar apa yang menjadi alasan dari dilarangnya masyarakat termasuk wartawan yang mencoba mendekati bangkai pesawat yang baru jatuh, namun yang disayangkan adalah bagaimana cara oknum tersebut yang pada akhirnya memicu protes dari berbagai kalangan termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang mengecam keras kekerasan dan perampasan kamera yang dilakukan aparat TNI AU terhadap jurnalis yang sedang melakukan peliputan berita.
Sebab hal ini semakin memperpanjang kisah penganiayaan terhadap wartawan saat meliput berita. Pada tahun 2012 ini saja menurut LBH pers sudah terdapat 46 kasus kekerasan terhadap wartawan yang diantaranya terdiri dari 23 kekerasan fisik, dan 22 kekerasan nonfisik.
Sebelumnya ada dua wartawan dari Harian Kompas dan Harian Mercusuar yang sedang memotret antrean kendaraan di salah satu SPBU dikota Morowali, justru dipukuli oleh masyarakat. Lalu kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Batam, dimana seorang anggota TNI berseragam loreng mengintimidasi dan merampas kamera wartawan yang juga sedang meliput antrean di sebuah SPBU. Sedangkan di Lampung, wartawan harian Bongkar dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Lampung Utara ketika wartawan tersebut berusaha mengkonfirmasi dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat tersebut.
Selain itu kita tentu masih ingat bagaimana kisah tidak kalah tragis yang menimpah beberapa wartawan di Padang, Sumbar. Ketika itu beberapa wartawan Sindo TV/RCTI, Metro TV, SCTV, Favorit TV dan harian Padang Ekspres sedang meliput pembongkaran puluhan bangunan liar yang diduga menjadi lokasi prostitusi di kawasan pantai Bungus oleh Satpol PP dan warga setempat. Namun ketika mereka selesai meliput berita dan hendak kembali kekota, mereka justru mengalami intimidasi, pemukulan, dan perampasan kamera yang dilakukan oleh TNI angkatan laut.
Lalu apakah wartawan memang tidak boleh meliput berbagai hal yang sudah menjadi bagian dari kewajiban mereka sebagai pencari berita. Harusnya kita menyadari bahwa sudah tidak zamannya lagi tindakan kekerasan harus digunakan dalam menghadapi setiap masalah. Sebab dikhawatirkan image TNI akan kembali buruk di mata masyarakat menyusul peristiwa tersebut. Apalagi menurut Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, hal ini jelas merupakan kampanye buruk RUU Keamanan Nasional.
Ditambah lagi jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan tugas pokok dari TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sehingga harusnya TNI justru menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan Negara dari berbagai ancaman yang mengganggu stabilitas keutuhan NKRI, bukan malah menjadi oknum yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Semoga saja apa yang terjadi kemarin dapat menjadi bahan introspeksi diri bagi kita semua agar kita tetap berada dalam koridor-koridor tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga kedepannya diharapkan tidak ada lagi peristiwa seperti ini. Jaya TNI, Bravo Wartawan.***

Penulis adalah Mahasiswa PKn Unimed dan Staf Pusham Unimed 

Sumber : Analisa, 19 Oktober 1992

0 comments:

Posting Komentar