Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Rabu, 10 Oktober 2012

Mengembalikan Nama Besar PSMS (Opini Medan Bisnis)



Oleh : Eka Azwin Lubis
Tidak banyak stadion bagus yang dimiliki Indonesia saat ini. Infrastruktur stadion-stadion di Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar yang ditentukan baik itu oleh FIFA maupun AFC sebagai induk sebakbola di kawasan benua Asia.  Salah satu stadion yang ada di Indonesia dan masih sangat butuh banyak perawatan adalah, stadion yang berada di Kota Medan, yakni Stadion Teladan. 
Siapa tifosi sepakbola nasional yang tidak kenal dengan stadion berkapasitas 15.000 penonton yang terletak di sudut Kota M Medan ini. Stadion yang menjadi kebanggaan masyarakat Medan ini sempat menjadi tempat yang cukup angker bagi tim-tim dari luar yang bertandang ke sana.
Persatuan Sepakbola Medan Sekitarnya (PSMS) yang merupakan sang empunya kekuasaan terhadap stadion teladan ini, merupakan klub yang memiliki sejarah panjang dan nama besar dalam kancah sepakbola nasional.  Siapa yang tidak kenal permainan sepakbola ala rap-rap yang sempat populer dan cukup disegani di dunia sepakbola tanah air, terutama pada zaman kejayaannya, yakni saat kompetisi sepakbola Indonesia masih berbentuk perserikatan. Permainan keras dan penuh inovatif menjadi ciri khas tersendiri bagi klub kebanggaan rakyat Sumut, khususnya Kota Medan tersebut. 
Kejayaan dan nama besar PSMS tidak perlu diragukan lagi dalam mengarungi dinamika persepakbolaan di Indonesia. Sejak era perserikatan klub yang berdiri 21 April 1950 ini, terhitung pernah lima kali menjuarai kompetisi tersebut, yakni pada tahun 1967 dan 1971 ketika di final mengalahkan Persebaya Surabaya, tahun 1975 ketika menjadi juara bersama dengan Persija Jakarta, serta pada tahun 1983 dan 1985 setelah di final mengalahkan musuh bebuyutannya pada saat itu, Persib Bandung. Bahkan di saat-saat terakhir pagelaran kompetisi perserikatan ini sebelum berganti menjadi Liga Indonesia, PSMS Medan masih sempat menorehkan prestasi yakni menjadi Runner-Up setelah di final dikandaskan tim kuda hitam dari timur PSM Makassar.
Selain banyaknya prestasi yang diukir PSMS di era perserikatan itu, bakat-bakat potensial yang juga merupakan punggawa tim nasional Indonesia juga banyak yang dilahirkan dari klub yang merupakan embrio dari Medansche Voetbal Club (MSV) yang berdiri sejak tahun 1930. 
Tentunya kita tidak asing dengan nama Zulkarnaen Lubis, Iwan Karo-Karo, dan Nobon Kayamudin, pemain-pemain yang pada eranya sempat menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia tersebut merupakan putra-putra terbaik yang pernah dimiliki Sumut dan dibesarkan oleh klub PSMS Medan.
Setelah kompetisi sepakbola Indonesia beralih nama menjadi Liga Indonesia, sinar kekuatan PSMS d ikancah sepakbola nasional belum juga redup. Permainan keras dan ngotot menjadi kunci dari kekuatan yang dimiliki oleh tim yang memiliki kostum kebesaran berwarna hijau tersebut. Tidak ada kata imbang apalagi kalah jika sudah bermain di kandang yakni stadion kebesaran Teladan Medan. Siapapun lawan yang dihadapi, poin penuhlah yang menjadi target tunggal dalam setiap laganya.
Bahkan tim-tim kuat seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya, yang sejak era perserikatan telah menjadi musuh bebuyutannya, tetap merasa gentar jikalau sudah bermain di Stadion Teladan Medan, kandang PSMS. Jangankan untuk meraih kemenangan, untuk mencuri poin imbang saja mereka harus merjibaku dalam meladeni permainan anak PSMS yang tak kenal kompromi.
Belakangan saat beranjak ketahun 2000-an, prestasi PSMS kambali gemilang, meskipun tidak pernah meraih gelar juara Liga Indonesia. Namun setidaknya skuad Ayam Kinantan kembali menunjukan tajinya dengan terus menjadi tim yang disegani oleh lawan-lawannya.
Seolah tidak pernah kehabisan bibit-bibit pemain berbakat, nama-nama pemain besar kembali dilahirkan PSMS Medan yang kemudian menghiasi skuad tim nasional. Saktiawan Sinaga, Mahyadi Panggabean, Legimin Raharjo, hingga Markus Haris Maulana. Mereka semua merupakan pemain-pemain yang juga berkontribusi menghantarkan PSMS menjadi runner-up liga Indonesia pada tahun 2007 sebelum liga ini berganti nama menjadi Liga Super Indonesia. 
Meskipun di partai final mereka dikalahkan sesama tim dari sumatera, Sriwijaya FC dengan skor 3-1, namun ini membuktikan bahwa superior PSMS masih diakui di liga domestik.
Satu hal yang mungkin sama-sama kita ketahui adalah PSMS merupakan klub penguasa Piala Bang Yos, yang merupakan kejuaraan mini yang diadakan oleh Gubernur Jakarta pada saat itu Sutiyoso. Sebab PSMS merupakan tim yang mampu memenangi kejuaran ini tiga kali berturut-turut sejak edisi kedua gelaran ini hingga edisi yang keempat pada tahun 2006.
Ayam Kinantan yang Kehilangan Taji.
Namun istilah tersebut agaknya pas untuk menggambarkan keadaan PSMS Medan pada saat ini. Jika dahulu Stadion Teladan seolah menjadi neraka bagi tim-tim tamu yang bertandang ke Medan, kini teladan justru menjadi lumbung poin bagi klub lawan yang berlaga menghadapi PSMS Medan. 
Kesan angker seolah hilang menyusul buruknya prestasi yang didapat PSMS Medan pasca promosi kembali ke Liga Super, setelah sempat terdegradasi pada tahun 2008. Skuad PSMS yang dahulu diisi oleh pemain-pemain berkualitas, praktis saat itu justru banyak dihuni pemain-pemain yang kapasitasnya kurang memadai untuk berlaga di kompetisi tertinggi tanah air.
Jangankan untuk bersaing dengan musuh-musuh bebuyutan masa lalu seperti Persija, Persib, ataupun Arema, menghadapi tim-tim yang sejarahnya jauh di bawah PSMS seperti PSPS Pekanbaru, PSAP Sigli, hingga klub-klub dari pulau Kalimantan saja PSMS sangat kerepotan. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran yang dialami tim Ayam Kinantan tersebut. Mulai dari hengkangnya beberapa pemain top seperti Saktiawan, Mahyadi, Supardi, Legimin dan lain-lain, menejemen pengelolaan klub yang amburadul juga menjadi satu faktor vital yang menyebabkan merosotnya prestasi PSMS sehingga tidak sesuai lagi dengan nama besar yang disandangnya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan PSMS agaknya hanya ingin mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan nama besar PSMS tanpa diiringi niatan untuk mengembalikan kejayaan tim kebanggaan masyarakat Medan. Ini terbukti dari minimnya perhatian terhadap perawatan Stadion Teladan yang dianggap AFC belum layak menggelar pertandingan internasional. Bahkan hal yang paling parah mengenai pola kepengurusan PSMS adalah, seringnya keterlambatan pembayaran gaji yang dilakukan pihak menejemen kepada para pemain yang berimbas pada menurunya mental pemain akibat belum menerima haknya. 
Apakah situasi ini akan terus dibiarkan terjadi, jika kita sama-sama mencintai PSMS Medan dan menginginkan kedigdayaannya terulang kembali, maka mari sama-sama berbuat untuk membangun PSMS ke arah kejayaannya lagi. Terkhusus bagi para pengurus, sudah saatnya prestasi PSMS yang menjadi prioritas utama dalam kinerja mereka, bukan lagi mengurusi kantong masing-masing dengan memanfaatkan nama besar si ayam kinantan




Sumber : Medan Bisnis, 10 Oktober 2012

0 comments:

Posting Komentar