Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Senin, 26 November 2012

Apakah Keadilan Hanya Milik Mereka ? (Opini Analisa)


 Oleh : Eka Azwin Lubis

Negara Indonesia adalah negara hukum.  Bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia adalah negara yang senantiasa mengedepankan hukum yang hanya berpihak pada kebenaran demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono senantiasa mengatakan Indonesia harus menjadikan hukum sebagai panglima dalam menjalankan kehidupan bangsa disegala sektor agar keadilan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat. Hal ini seolah mempertegas supremasi hukum di Indonesia, karena selain telah dijamin penegakannya oleh dasar konstitusi negara tetapi juga disakralkan oleh pemimpin negeri untuk dijadikan landasan dalam manivestasi keadilan yang hakiki.
Jika aplikasi berjalan lurus dengan teori maka bukan hal yang mustahil butir ke lima Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akan terwujud tanpa ada diskriminatif dan nepotisme dalam pengamalannya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan beragam suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat.
Para pelopor bangsa Indonesia telah mampu untuk mempersatukan perbedaan itu semua dengan satu tekat yakni persamaan derajad bagi semua bangsa Indonesia dimata hukum dan mengedepankan keadilan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga Indonesia menjadi negara kesatuan sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika, dimana semua golongan yang ada menjadi satu kesatuan utuh dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah wujud nyata yang dicita-citakan oleh para pejuang negeri dengan harapan setiap perbedaan yang ada pasti dapat disatukan dengan misi persatuan tanpa memandang kemajemukan yang ada sebagai masalah yang dapat memunculkan sikap ketidakadilan antar satu golongan dengan golongan lainnya yang dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan sesama anak negeri.
Satu hal yang perlu dipahami adalah keadilan tidak akan terwujud tanpa tegaknya hukum yang mengatur. Maka seperti yang dijelaskan diatas Indonesia menegaskan bahwa negara ini berbentuk negara hukum. Keadilanlah yang harus berada diatas segala – galanya dalam menakhodai jalannya kehidupan bangsa yang diharapkan akan mewujudkan kejayaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masih Adakah Keadilan Itu ?
Mungkin agak aneh ketika kita mendengar bagaimana seorang Ibu yang sedang mengandung dan akan segera melahirkan, lalu datang ke sebuah rumah sakit dengan maksud untuk segera mendapat pertolongan, namun yang didapat bukannya pertolongan dari seorang dokter atau bidan melainkan justru seorang petugas rumah sakit yang menanyakan apakah ibu punya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Hal tersebutlah yang senantiasa terjadi menimpa rakyat kecil yang ingin mendapatkan hak atas hidupnya yang telah diatur dalam UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 15 ayat 1 yang menerangkan bahwa Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Yang dalam hal ini dimaksudkan bahwa keadaan tertentu tersebut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, sesuai penjelasan ayat 2b pasal 15 UU tersebut.
Disini jelas bahwa yang berkewajiban untuk menyambut dan menangani sang ibu hamil hanya tenaga kesehatan yang ahli, bukannya seorang petugas rumah sakit yang menanyakan ada atau tidaknya Jamkesmas.
Hal ini merupakan satu contoh betapa aplikasi dilapangan selalu berbanding terbalik dengan apa yang menjadi teori dalam Undang – Undang atau bahkan UUD 1945 yang merupakan dasar hukum untuk perwujudan keadilan di negara ini. Banyak lagi ketidak sesuaian yang terjadi ditengah masyarakat yang terus mengancam eksistensi keadilan dimata negara hukum.
Hal ini berbanding terbalik dengan kehidupan yang dirasakan oleh anggota DPR yang katanya merupakan wakil dari rakyat. Agaknya nama wakil rakyat tersebut hanya disandang dikala ada dana yang diperuntukkan buat rakyat harus melalui persetujuan mereka sebagai wakilnya, namun ketika ada boomerang nyata yang mengancam kehidupan orang yang diwakilinya mereka seolah tuli dan buta untuk menanggapi hal tersebut.
Fasilitas yang diterima oleh anggota dewan yang terhormat sangat besar, jika kita lihat pendapatan mereka yang duduk dikursi anggota DPR periode 2004-2011, untuk gaji pokok mereka pendapatan Rp 4.200.000/bulan, lalu ada tunjangan Jabatan Rp 9.700.000/ bulan, Uang paket Rp 2.000.000/bulan, Beras Rp 30.090/jiwa/bulan, Keluarga: suami/istri (10% X Gaji pokok Rp 420. 000/bln), anak (25 X Gaji pokok Rp 84.000/jiwa/bulan), Khusus pph, pasal 21 Rp 2.699.813. Belum lagi tunjangan lain-lain seperti Tunjangan kehormatan Rp 3.720.000/ bulan, Komunikasi intensif Rp 4.140.000/bulan, Bantuan langganan listrik dan telepon Rp 4.000. 000, Pansus Rp 2.000.000/undang-undang per paket, Asisten anggota (1 orang Rp 2.250.000/bulan), dan Fasilitas kredit mobil Rp 70. 000.000/orang/per periode. Itu semua belum termasuk biaya perjalanan, Rumah jabatan, dan Perawatan kesehatan uang duka dan biaya pemakaman jika ada anggota keluarga mereka yang meninggal.
Jumlah yang fantastis sekaligus membuat miris jika melihat kinerja sebahagian dari mereka yang menciderai hati para rakyat yang mengamanahkan jabatan tersebut kepada mereka. Budaya korupsi berjamaah yang selalu melibatkan anggota dewan dan para sekutunya merupakan cerminan betapa keadilan di negara hukum ini masih kerdil.
Kita bisa bayangkan bagaimana keadilan dinegara ini sangat mahal harganya dan sangat susah dicari wujud nyatanya. Sehingga tak kurang seorang tukang sampah rela menititkan air matanya melihat kehidupan rekan se profesinya menjalani kehidupan yang menyedihkan karena berada di negara yang tidak menghargai wujud keadilan kepada seluruh rakyatnya.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed.



0 comments:

Posting Komentar