Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Selasa, 14 Mei 2013

Hadapi Pemilu dengan Fair Play (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin Lubis.


Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun. 
Dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki posisi yang kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya relatif lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer dalam menjalankan roda birokrasi dimana setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden sebagai pemangku kekuasaan negara dan pemerintahan, harus mendapat restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Division of Power (pembagian kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala sistem parlementer. 
Sehingga dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa dalam pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah cara yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 
Oleh sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang diterapkan negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam mengaktualisasikan kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang bermunculan setiap kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi, seperti yang akan terjadi pada tahun 2014 mendatang, dimana ada 10 partai politik yang akan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. 
Dari 10 parpol yang akan bersaing tersebut, belum berarti mereka pasti memiliki hak mendapat jatah kursi di DPR RI. Hal ini dikarenakan penerapan Parlemen Threshold yang mengharuskan setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara nasional untuk berhak mendapat jatah kursi di DPR. Seperti pada pemilu tahun 2009 lalu, hanya Partai Demokrat (20,85%), Golkar (14,45 %), PDIP (14,03 %), PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra (4,46 %), dan Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR pusat untuk periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain peserta pemilu 2004 yang mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi di DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Menunggu Korban Selanjutnya
PKS merupakan salah satu partai yang mendapat pukulan telak menjelang pemilu 2014 mendatang, setelah Presidennya Lutfi Hasan Ishak tersandung kasus korupsi daging sapi impor yang kemudian menyeret namanya menjadi tahanan KPK. 
Presiden PKS yang baru, Anis Matta mengungkapkan bahwa ada konspirasi besar yang mengakibatkan pimpinan partai mereka menjadi korban kasus daging sapi impor. Sama-sama kita ketahui bahwa PKS merupakan satu parpol koalisi yang sering membuat manuver politik.
Kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun rupiah merupakan manuver politik pertama yang dilakukan oleh partai tarbiyah tersebut. PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi mendorong terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana talangan yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan klimaks dalam penyelesaiannya.
Tidak berhenti sampai disitu sikap PKS yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah, Pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu April 2012 lalu, PKS juga merupakan salah satu parpol yang menolak untuk mendukung kebijakan tidak populer tersebut. Bahkan manakala beberapa parpol koalisi menolak kebijakan tersebut dengan cara dan bahasa yang normatif sehingga harga BBM urung dinaikkan oleh pemerintah namun berdampak pada munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya, sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai yang menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi lain menolak dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan dengan tegas mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai partai berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka ambil mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun jatah kursi dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul manuver politik yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri yang dihuni oleh kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika yang dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul berbagai kebijakan PKS yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai berkuasa, sempat memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu koalisi kepada partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini merupakan partai oposisi, coba kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan barisan pemerintah sembari berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari koalisi. Silaturahmi politik antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut segera digelar untuk mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Menanggapi isu tersebut, Prabowo Subianto selaku ketua Partai Gerindra segera menepis anggapan kalau partainya akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Menurutnya, ajakan partai demokrat tidak sampai masuk dalam ranah koalisi partai, namun hanya sebatas pada ajakan kerjasama parlementer saja. Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Syarifuddin Sudding, menyatakan tidak tergiur dengan tawaran partai Demokrat agar Hanura masuk kedalam koalisi.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk menyejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan yang mengacu pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap kebijakan pemerintah. ***

Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed.

0 comments:

Posting Komentar