Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Selasa, 26 Maret 2013

Sulitnya Hak Atas Air di Negara Maritim (Opini Lampung Post)



Oleh : Eka Azwin Lubis

(Staf Pusat Studi HAM Unimed)

Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Jaminan hukum yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang No 7 tahun 2004 tengan Sumber Daya Air, merupakan suatu hak fundamental yang harus dipenuhi oleh Negara kepada seluruh warga negara, mengingat begitu urgennya kemanfaatan air dalam kehidupan manusia.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhan (P. Ginting dkk, IPS-Geografi, hal.17).

Dari data tersebut, maka Indonesia mendapat julukan sebagai negara maritim karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan, sehingga hal yang wajar jika produk hukum tentang jaminan hak atas air itu muncul dengan harapan tidak ada lagi permasalahan dalam pemenuhan hak atas air bagi setiap warga negara.

Meski begitu, hingga saat ini kerap kita dengan persoalan tentang  pemenuhan hak atas air yang belum dapat dipenuhi secara optimal oleh negara, sehingga menimbulkan berbagai polemik di tengah kehidupan masyarakat.

Apabila curah hujan tinggi, dengan seketika daratan kota-kota besar tanah air akan digenangi air yang tidak memiliki tempat untuk bermuara. Banjir sangat akrab dengan kehidupan masyarakat di kota, sehingga apabila musim hujan tiba, air seolah menjadi musuh paling besar bagi mereka yang kerap dihantui bencana banjir.

Banjir yang menjadi agenda rutin yang dihadapi oleh rakyat Indonesia ini juga membawa dampak yang dahsyat dalam melumpuhkan berbagai aktivitas sosial masyarakat. Sudah menjadi ketentuan dengan datangnya banjir maka roda ekonomi juga akan macet. Segala aspek dan elemen kehidupan akan terkendala dengan datangnya banjir, sehingga tidak jarang inflasi ekonomi terjadi akibat banjir. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan waktu datang dan surutnya banjir secara pasti, yang jelas banjir yang diakibatkan semakin sulitnya mencari tempat untuk mengalir dan bermuara air serta semakin sedikitnya pohon yang mampu untuk menyerap air hujan, rutin terjadi dan belum tau sampai kapan dapat teratasi.

Sebaliknya, apabila musim kemarau datang, bencana kekeringan kerap melanda daerah-daerah di tanah air. Dampak yang ditimbulkan dari bencana kekeringan ini tidak kalah hebat jika disbanding dampak dari bencana banjir.

Jelas saja, apabila bencana kekeringan melanda, maka sektor pertanian dengan seketika akan tersendat. Jika pertanian tersendat akibat sulitnya mendapatkan air, efek terusan yang muncul adalah naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok ditengah kehidupan masyarakat.

Meskipun masalah banjir dan kekeringan ini telah berulang kali terjadi, namun hingga kini belum ada solusi kongkrit dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah klasik yang seolah tidak berkesudahan ini. Banyak solusi yang telah ditawarkan oleh pakar untuk menyelesaikan masalah banjir di ibukota dan kekeringan di daerah, namun tetap saja ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini menjadi kendala dari terselesaikannya bancana yang diakibatkan oleh kelebihan dan kekurangan air tersebut.

Krisis Air di Negara Maritim

Dalam acara Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag (Maret, 2000) disebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025. Penyebabnya antara lain kelemahan dalam pengelolaan air, seperti pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam menyediakan air.

Dari penjelasan tersebut, dikhawatirkan sumber daya air secara kuantitatif akan semakin terbatas dan secara kualitatif akan semakin menurun, sebab harus kita pahami, meskipun sumber daya air merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, namun adakalanya ketersediaan air tidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya masalah ini, pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kebutuhan air baik jumlahnya maupun kualitasnya.

Secara global, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Jacques Diouf menyatakan bahwa saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun hal yang kontradiksi terjadi manakala ketersediaan air justru mengalami penurunan. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan air telah berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan, sebab tanpa akses air minum yang higienis dikhawatirkan sekitar 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit.

Bahkan satu penelitian menyatakan penduduk Indonesia saat ini yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia, tingkat akses sumber air di pedesaan mencapai 94 persen. Di negara Indonesia yang kaya sumber daya air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya menyentuh level 69 persen, lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72 persen.

Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.

Pada tahun 2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun.

Di daerah perkotaan seperti Jakarta, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari.


0 comments:

Posting Komentar