Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Jumat, 14 Desember 2012

Intoleransi yang Membunuh Demokrasi Secara Perlahan (Opini Analisa)

 Oleh: 
Eka Azwin Lubis.

Pada era reformasi yang begitu mengagungkan demokrasi di segala sendi kehidupan bangsa, ternyata masih ada hal urgen yang menggangu stabilitas dari kehidupan berbangsa di Indonesia. Hal ini terlihat dari minimnya nilai toleransi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan setiap warga negara yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi.

Harus diakui secara jujur bahwa masyarakat kita saat ini masih mengalami krisis toleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kemajemukan seolah menjadi momok yang menakutkan dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih menjadi propaganda paling laris di dalam kehidupan bangsa yang notabenenya terdiri dari beragam suku, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat.

Mulai dari konflik antar umat beragama, sengketa lahan, hingga sifat saling menyalahkan yang saat ini begitu mendominasi sanubari rakyat Indonesia. Dominasi mayoritas dan tirani minoritas begitu kentara dalam dinamika kehidupan bangsa. Padahal salah satu semangat reformasi yang begitu diidamkan oleh seluruh bangsa ini adalah hilangnya sikap diskriminasi yang begitu lama membelenggu kebebasan rakyat.

Bukankah ini merupakan bentuk kebebasan yang intoleran dalam mengaplikasikan makna reformasi itu sendiri. Jika kita adil dalam berfikir, bukan hal yang berlebihan jikalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang hipokrit dalam mengimplementasikan cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kebersamaan, dan persaudaraan.

Jika kita rekam jejak kebelakang, empat belas tahun sudah reformasi di Indonesia terjadi. Semangat perubahan yang berorientasi pada jaminan kebebasan dan kedaulatan rakyat secara mutlak menjadi cita-cita bersama yang diusung oleh para pejuang reformasi dalam upaya menumbangkan rezim orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto.

Bukan pekerjaan yang mudah bagi mereka yang ingin melepaskan republik ini dari pengapnya kekuasaan otoriter dan mendambakan hidup dinegara yang menjamin kebebasan dan hak-hak rakyatnya. Sebab rintangan yang mereka hadapi adalah melawan rezim penguasa yang memiliki power luar biasa sehingga tidak tergoyahkan sampai 32 tahun masa kepemimpinan.

Kebosanan akan diskriminasi dan pengkerdilan demokrasi terjawab manakala rakyat secara masif menyuarakan perlawanan atas sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Soeharto dan menuntut perubahan birokrasi yang lebih menjamin hak-hak warga negara.

Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi trisakti, semanggi 1 dan semanggi 2 yang memakan korban jiwa dan harta benda akibat bentrokan yang terjadi antara demonstran dengan aparat keamanan yang berdalih ingin menjaga stabilitas keamanan Negara hingga berakhir pada pendudukan secara paksa kantor DPR/MPR oleh mahasiswa yang menjadi motor dari semua pergerakan melawan rezim orde baru.

Memang peristiwa-peristiwa itu bukanlah cerminan perjuangan untuk menumbangkan rezim soeharto secara keseluruhan, namun setidaknya itu merupakan klimaks dari semua pergerakan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia yang pada akhrinya benar-benar berhasil menumbangkan pemerintahan orde baru dan terciptanya era reformasi.
Cita-cita Pejuang Reformasi



Cita-cita pejuang reformasi yang menginginkan jaminan akan kebebasan rakyat sebagai pemangku kedaulatan tertinggi negara ini seakan menemui titik terang setelah Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 secara resmi membacakan surat pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie.

Praktis Indonesia pada saat itu menatap era baru dalam menaungi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan rakyat yang selama masa orde baru sangat dikekang oleh penguasa meskipun telah dijamin oleh konstitusi, mulai dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca reformasi.

Peraturan-peraturan baru yang menjadi jaminan hukum bagi rakyat untuk mengekplorasi segala haknya terus bermunculan pasca berjalannya era reformasi. Jika pada saat pemerintahan Soeharto rakyat sangat dikekang dalam menyampaikan pendapatnya dimuka umum sebagai upaya untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, reformasi justru menjamin kebebasan tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, selama tidak melanggar norma-norma dan kaidah hukum yang berlaku. Ini merupakan satu langkah awal yang memberi angin segar kepada masyarakat Indonesia untuk merasakan kehidupan yang benar-benar berdemokrasi dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Pers yang merupakan lumbung informasi juga mendapatkan hak akan kebebasannya dalam meliput, membuat, dan menyampaikan berita kepada masyarakat secara luas. Kehidupan mereka yang pada zaman orde baru sangat akrab dengan berbagai intervensi politik, saat ini seakan memasuki lembaran baru dalam menjalankan tugas jurnalistik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers yang memberi kekuatan hukum dan menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Selain itu bobroknya pemerintahan orde baru yang diselimuti oleh hantu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme karena minimnya pengawasan dan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh pemerintah, mulai ditata ulang pada zaman reformasi ini. Transparansi dan akuntabilitas anggaran negara, kebijakan pemerintah, maupun segala hal yang menyangkut nasib rakyat menjadi satu sorotan tajam yang perlahan mulai diperbaiki oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memberi ruang bagi rakyat untuk dapat mengikuti secara langsung berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi yang benar-benar berhaluan pada kedaulatan rakyat. Sampai-sampai presiden yang merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dulunya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada saat itu, kini pada era reformasi, dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak pilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kebebasan rakyat dalam menggapai semua haknya yang dahulu dikerdilkan oleh pemerintah, perlahan mulai terealisasi oleh peraturan-peraturan baru yang dibuat.

Namun seperti yang dijabarkan diatas, persoalan intoleransi yang kini muncul seiring berjalannya kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang siap membunuh kemapanan demokrasi kita secara perlahan. Bukan hal yang mustahil jika tatanan demokrasi yang sudah dikonsep secara baik akan hilang sia-sia karena tidak adanya lagi sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama pemangku kedaulatan republik ini.***

Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed


0 comments:

Posting Komentar