Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Minggu, 18 Maret 2012

Masihkah Indonesia Bangsa yang Santun (Opini Analisa)


Oleh : Eka Azwin Lubis

Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tersebut tidak hanya menjadi dasar hukum tentang kebebasan menyampaikan pendapat bagi rakyat Indonesia, namun juga seolah menjadi alasan bagi setiap orang untuk merdeka menggaungkan apapun yang ia inginkan kemuka umum baik itu berdampak positif maupun negatif. Mereka tidak peduli dengan apa substansi disahkannya Undang-Undang tersebut, namun yang lebih tampak adalah bagaimana mereka berfikir bahwa dengan Undang-Undang tersebut hak untuk menyampaikan pendapat dengan beragam cara dibenarkan karena landasan hukum dari Undang-Undang tersebut tanpa pernah mengkaji tanggung jawab moral yang mereka emban melekat sembari pendapat yang mereka lontarkan menjadi konsumsi publik.
Sehingga tidak jarang banyak rakyat Indonesia yang kebablasan dalam mengimplementasikan hak berpendapat mereka yang sering berujung pada terlanggarnya hak-hak orang lain akibat mereka yang dalam menyampaikan pendapat dilakukan dengan cara-cara diluar koridor aturan yang ada. Namun hal tersebut bagi sebahagian besar rakyat Indonesia seakan bukan hal yang urgen untuk dikaji mengingat anggapan mereka bahwa Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: mengeluarkan pikiran secara bebas; memperoleh perlindungan hukum. Sesuai isi pasal 5 Undang-Undang tersebut.

Padahal jika kita cermati, isi pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang tersebut diakhiri dengan tata cara atau ketentuan dalam menyampaikan pendapat yang diatur oleh pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang tersebut. Namun bangsa kita seolah ternyamankan dengan ketidaktahuannya atau sengaja menidaktaukan diri akan kaitan pasal-pasal selanjutnya yang menjelaskan isi pasal 1 ayat 1 tersebut.

Seperti yang ditegaskan dalam pasal 6 Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tersebut yang menyatakan bahwa Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Disitu dengan jelas dibuat aturan bagaimana seharusnya cara warga negara dalam melaksanakan haknya yang merdeka menyampaikan pendapat namun tetap dalam koridor aturan yang lebih santun, tidak mengganggu hak orang lain, tetap dibawah naungan hukum yang ada, serta yang terpenting adalah menjaga keutuhan bangsa. Bukankah dalam menggapai hak diiringi oleh kewajiban yang berjalan berdampingan dengan hak tersebut.
Lalu bagaimanakah warga negara Indonesia menjalankan hak berpendapatnya setelah ada jaminan hukum pasca reformasi. Realita saat ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang belum cukup dewasa untuk menerapkan kemerdekaan berpendapat yang diberikan oleh negara untuk menjadi jaminan hukum bagi kita semua dalam menyalurkan aspirasi kita secara langsung. Hal ini terbukti dari bagaimana bangsa kita yang telah lama terkungkung dalam pengkerdilan berpendapat pada zaman Orde Baru karena ditekan oleh pemerintah berkuasa pada saat itu, sehingga segala keluhan yang ada dalam kehidupan masyarakat hanya menjadi konsumsi pribadi atau golongannya saja tanpa bisa diketahui oleh dunia luas, seolah kini ingin melampiaskan semua unek-unek yang ada pasca disahkannya aturan yang mengatur kemerdekaan berpendapat dimuka umum tersebut saat ini.
Namun yang disayangkan adalah cara yang dilakukan terkesan justru menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, orang Indonesia yang terkenal santun dan lebih mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah, kini menjadi lebih sporadis dalam menuntut hak-haknya dalam menjalani kehidupan bernegara.
Kita jarang memikirkan bagaimana hak atau harga diri orang lain yang tergadai akibat cara kita menyampaikan pendapat yang dilakukan diluar norma-norma yang ada. Tidak ada lagi batasan bagi setiap orang yang ingin melakukan aksi dalam konteks menyampaikan pendapatnya dimuka umum. Semua seolah merdeka melakukan apa saja asalkan aspirasi mereka tersampaikan meskipun dilakukan dengan cara-cara yang sangat jauh dari adat ketimuran yang senantiasa dielu-elukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Semua Dianggap Sama
Pemerintah memang merupakan wakil dari rakyat yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini. Presidan, Wakil Presiden, dan semua Anggota MPR baik dari DPR maupun DPD merupakan orang-orang yang dipilih langsung oleh rakyat untuk diamanahkan menjadi wakil mereka dalam menjalankan roda Birokrasi.
Tapi bukan berarti mereka adalah Manusia sempurna yang tidak memiliki kesalahan dalam menjalankan tugasnya dan menyampaikan aspirasi rakyatnya. Mereka juga bukan merupakan orang-orang yang apabila melakukan kesalahan harus ditegur dengan berbagai caci maki dan sumpah serapah dari rakyat yang telah memilih mereka.
Namun yang terjadi saat ini adalah bagaimana bangsa kita senantiasa menyampaikan pendapatnya untuk mengkritisi kinerja oknum pemerintah dengan cara-cara yang kurang etis. Kita paham bahwa pemerintah sering melakukan penyimpangan dan kekeliruan dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga muncul kekesalan dan kekecewaan dari rakyat sehingga menimbulkan rasa ingin mengkritisi kinerja yang mereka lakukan. Tapi kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengkritisi pemerintah tidak jarang disalah artikan sehingga hal-hal yang tidak wajar sering terjadi dalam aksi menyampaikan pendapat yang dilakukan dengan beragam cara.
Kita sering menyaksikan Foto seorang Presiden yang merupakan salah satu simbol negara dibakar dijalanan oleh para pendemonstran. Belum lagi mereka yang tidak paham aturan dalam berpendapat melakukan hal yang sebenarnya menciderai martabat bangsa sendiri, seperti menuliskan inisial Presiden dibadan seekor Kerbau yang mereka bawa. Atau hal yang paling sering adalah hujatan-hujatan kepada Presiden yang dituliskan diatas spanduk atau kertas karton yang senantiasa menemani para pendemo yang ingin menyampaikan pendapat atau keluhannya.
Bukankah hal-hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa kita belum cukup dewasa untuk merespon bagaimana cara mengaplikasikan aturan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tersebut dalam menyampaikan pendapatnya.
Agaknya bangsa kita yang mengaku bangsa berketuhanan, berkemanusiaan, dan menjunjung tinggi moral dalam setiap tindakannya, harus lebih introspeksi diri agar tidak menjadi bangsa yang kehilangan identitasnya yang semakin hari makin terkikis sikap-sikap kesantunannya.
Jika rakyat Indonesia sendiri saja sudah menganggap sama rata semua martabat Pemimpinya, bukan hal yang mustahil jika bangsa lain juga akan mengecilkan martabat para pemimpin kita yang seyogyanya merupakan simbol dari bangsa Indonesia.***


Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed

0 comments:

Posting Komentar