Indonesia merupakan bangsa yang
multietnis dimana bermacam suku bangsa, budaya, dan adat istiadat berada dalam
naungan bangsa yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Indonesia
memiliki suku bangsa yang mencapai 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja
terdapat 270 suku. Selain suku, Indonesia juga negara dengan bahasa daerah
terbanyak di dunia yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang
digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain terdiri dari beragam suku
dan budaya, Indonesia juga merupakan negara yang dihuni oleh penduduk yang
memeluk beragam agama pula. Tak kurang ada enam agama resmi yang diakui
pemerintah untuk dianut oleh warga negara Indonesia yakni Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan terakhir Konghucu. Hal tersebut
belum termasuk mereka yang tidak memeluk agama samawi tetapi berkeyakinan
dengan hal – hal yang mereka anggap sebagai perwujudan dari Sang Maha Kuasa,
seperti kepercayaan Parmalim dan Pelbegu dipedalaman Sumatera Utara, atau
kepercayaan suku Badui dipedalaman Banten, yang kesemuanya juga dijamin
keberadaanya oleh pemerintah sesuai isi pasal 29 ayat 2 Undang – Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Namun ada hal urgen yang ternyata
masih menggangu stabilitas dari cita-cita mulia bangsa Indonesia dalam
menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa yakni minimnya nilai toleransi yang
justru terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka
kini semakin dijamin oleh hukum sehingga kebebasan mereka sebagai warga negara
yang memangku kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi.
Hal ini terlihat dari bagaimana
masyarakat kita kini masih mengalami sifat intoleransi antar sesamanya dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Konflik horizontal yang diakibatkan berbagai
perbedaan diantara masyarakat kita masih marak terjadi diera reformasi ini.
Kemajemukan seolah menjadi musuh dalam mengarungi kehidupan negara yang katanya
menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih belum mampu diterima
secara utuh oleh rakyat kita yang notabenenya terdiri dari beragam suku bangsa,
agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Hal ini terlihat dari banyaknya
sengketa yang mewarnai era reformasi dewasa ini yang diakibatkan oleh perbedaan
yang ada ditengah-tengah masyarakat kita. Mulai dari konflik agama yang
belakangan mulai merebak ramai kepermukaan. Ahmadiyah yang dianggap sebagai
aliran sesat justru diparangi secara tidak manusiawi oleh sesama umat islam
yang menyatakan aliran tersebut harus dibubarkan. Atau konflik antara umat
Islam dan umat Kristen di Bogor mengenai keberadaan Gereja Kristen Indonesia
Taman Yasmin yang membuat hubungan antar umat beragama sempat memanas,
pembantaian terhadap pemeluk aliran Ahmadiyah di Cikesik Banten, hingga yang
paling hangat adalah pembantaian terhadap pemeluk islam syiah di Sampang Madura
yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Bukankah bangsa kita merupakan
bangsa yang gemar berdialog atau bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai
silang pendapat atau perbedaan yang ada sesuai isi butir keempat Pancasila.
Lalu mengapa ketika ada golongan yang merupakan sesama anak negeri ini
namun memiliki keyakinan yang sedikit berbeda justru diperangi secara brutal
tanpa memandang kaidah-kaidah agama itu sendiri yang mengedepankan cinta kasih
antara sesama manusia dan kedamaian bagi pemeluknya. Toleransi Kita Masih Dipertanyakan Kedewasaan
dan sikap toleransi bangsa Indonesia dalam menghargai perbedaan yang ada
kembali diuji, umat Islam Syiah di kabupaten Sampang Madura kembali mendapat
perlakuan yang sangat tidak manusiawi oleh oknum-oknum yang menganggap aliran
yang mereka ikuti sesat.
Akibat pembantaian tersebut dua orang pengikut
Islam Syaih di Sampang meninggal dunia. Ini merupakan cambukan bagi kita semua
karena hingga hari ini bangsa kita masih sangat intoleran terhadap kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Satu hal yang naif dilakukan oleh orang-orang yang
mengaku beragama namun justru melakukan hal-hal yang jauh dari nilai-nilai
agama dalam mempertahankan kepercayaannya. Seharusnya mereka yang memiliki
pemahaman bahwa aliran Islam Syiah tersebut keliru, lebih bersikap dewasa
dengan mengajak dialog para pengikut islam syiah dan menghindari
tindakan-tindakan yang sporadis yang justru menjauhkan mereka dari
ajaran-ajaran agama. Tokoh agama harusnya juga menggunakan peran mereka sebagai
pentolan umat dalam mengambil keputusan dengan cara menempatkan diri sebagai
mediator dari kedua pihak yang berbeda pandangan tersebut. Namun agaknya tokoh
agama justru bersikap apatis terhadap perlakuan yang sangat tidak manusiawi
yang dialami oleh warga Syiah di Sampang. Bahkan hal yang paling ironis adalah
manakala isu sara yang menyangkut kaum minoritas ini merambat ke ranah politik
dimana ada oknum yang merasa bahwa kelompok minoritas tidak pantas untuk
memimpin bangsa ini karena mereka hanya berjumlah segelintir.
Sekali lagi ini menunjukan satu ketidakdewasaan berfikir bangsa kita yang
masih belum bisa menerima kehidupan yang penuh dengan dinamika keberagaman baik
itu suku, agama, maupun kepercayaan. Jika hal ini
dibiarkan terus terjadi, niscaya persatuan dan kesatuan bangsa akan mengalami
satu kemunduran karena sudah tidak adanya lagi sifat toleransi yang ditunjukan
antar sesama umat beragama. Pemerintah yang menjadi wadah dari sistem
kenegaraan, seolah juga tidak mampu untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga
negaranya terutama kaum minoritas yang mendapat perlakuan kasar dari kelompok
mayoritas. Sikap diam pemerintah inilah yang semakin lama semakin membuat
kelompok minoritas seolah kehilangan haknya dalam menjalankan kepercayaannya
yang meskipun telah dilindungi oleh dasar konstitusi negara. Padahal selain
telah membuat banyak aturan tentang penegakan HAM, Indonesia juga merupakan
negara yang kembali terpilih sebagai salah satu anggota dewan HAM PBB. Namun
tetap saja negara yang telah menjadikan HAM sebagai salah satu orientasi mutlak
dalam menjalankan kehidupan bernegaranya ini ternyata belum mampu untuk
mengaplikasikan segala bentuk jaminan akan kebebasan warga negaranya untuk
mendapatkan hak asasinya.
Banyak peraturan yang membahas
tentang penegakan HAM telah dibuat oleh Indonesia sebagai instrumen baku untuk
menjamin tegaknya hak-hak dasar setiap warga negara Indonesia. Mulai dari
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dari International
Covenant On Economic, Social And Cultural Rights atau Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun
2005 tentang Hak Sipil dan Politik yang juga merupakan hasil ratifikasi dari
International Covenant On Civil And Political Rights atau Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik. Namun semua itu seolah hampa karena hingga
kini hak-hak warga negara terutama kaum minoritas masih saja kerap diabaikan
oleh negara sehingga berbagai konflik yang mengakibatkan kaum minoritas semakin
terpinggirkan dan hampir tidak mendapat perlindungan hukum kembali marak
terjadi.***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS Unimed dan Staf
Pusham Unimed.
Sumber : Analisa 29 Agustus 2012
0 comments:
Posting Komentar