Oleh : Eka Azwin Lubis
"Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Itulah kalimat yang tercantum
dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dan
tujuan dari isi pasal tersebut adalah bahwa setiap rakyat Indonesia berhak
untuk menggunakan kekayaan alam yang terdapat didalam bumi Indonesia untuk
menjamin kemakmuran hidup mereka melalui pemanfaatan hasil dari kekayaan alam
yang ada ditanah Indonesia dengan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan atas segala hal yang meliputi kekayaan tanah dan
alam yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah, dimana
7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama.
Data ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun
2004. Ini merupakan satu fakta yang menunjukan betapa besar dan luasnya tanah
yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, dari
jumlah pulau yang mencapai 17.504 buat tersebut, luas total daratan yang
dimiliki Indonesia mencapai 1.922.570 km² dimana 1.829. 570 km² merupakan
daratan non-air dan 93.000 km² adalah daratan yang berair. Ini merupakan suatu
anugrah luar biasa yang diberikan Tuhan kepada Indonesia karena memiliki begitu
banyak pulau dan begitu luas daratan sehingga saat ini Indonesia dijuluki
sebagai Negara Agraris karena sebahagian besar penduduknya bercocok tanam untuk
memanfaatkan lahan yang begitu luas dibumi Indonesia.
Bahkan pada saat Anton Apriantono
menjadi Menteri Pertanian di era Kabinet Indonesia Bersatu Pertama Indonesia
sempat berpredikat sebagai negara yang berswasembada beras karena mampu
memenuhi konsumsi beras lokal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia
memiliki begitu luas lahan pertanian yang tentunya berada diatas tanah-tanah
yang subur. Tidak bisa dipungkiri bahwa tanah Indonesia yang sangat luas
memiliki potensial yang luar biasa, sebab selain subur untuk lahan pertanian,
begitu banyak kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi Indonesia
sehingga pihak asing begitu antusias untuk menjalin MoU kepada pemerintah
Indonesia agar dapat memanfaatkan hasil bumi yang ada di Indonesia. Bahkan
sejak zama orde lama sudah banyak perusahaan asing yang melakukan investasi
untuk mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.
Dari mulai PT. Freeport yang
merupakan perusahaan asing milik Amerika Serikat yang mengadu peruntungan
dengan membuka tambang emas ditanah Papua yang memiliki kandungan emas cukup
banyak. Di Sumatera Utara sendiri ada perusahaan asing yang juga membuka lahan
tambang di Indonesia seperti PT. Indonesia Asahan Aluminium ( INALUM ) yang
merupakan perusahaan milik Jepang yang didirikan di Kabupaten Batubara untuk
memanfaatkan potensi alam yang cukup bagus di Batubara yang memiliki banyak
cadangan Aluminium. Dan masih banyak lagi perusahaan asing yang berada di
Indonesia terutama didaerah Kalimantan untuk menggarap kekayaan alam yang
tersimpan dibawah tanah Indonesia.
Ayam Mati Diatas Lumbung Padi
Lantas bagaimana dengan nasib
rakyat Indonesia yang seyogyanya merupakan sang empunya dari seluruh kekayaan
yang ada di tanah Indonesia. Agaknya sebuah pepatah diatas cocok untuk
menggambarkan kondisi yang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini. Sebab dari
sekian banyak pulau dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia seharusnya negara
ini mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya, minimal hak atas tanah
yang merupakan kewajiban negara untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa sesuai isi Pasal 2
ayat 2b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok
Agraria, yang bertujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur, sesuai isi Pasal 3
yang merupakan lanjutan dari Pasal 2 UUPA.
Namun realita yang ada justru
berkata lain, sebab hingga saat ini negara belum mampu untuk menyelesaikan
berbagai polemik kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang menyangkut
tentang masalah pertanahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus Tanah
yang ada di Indonesia dan berakhir pada banyaknya korban yang jatuh karena
konflik-konflik yang timbul akibat rebutan lahan yang terjadi baik antara
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan instansi swasta, maupun
masyarakat dengan negara. Ini sungguh merupakan pukulan telak bagi kita dimana
saat orang lain terus memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah
Indonesia seperti yang dipaparkan diatas, sementara disaat yang sama rakyat
Indonesia sendiri yang memang memiliki hak atas tanah-tanah yang dimiliki
negara untuk kemakmuran hidupnya justru disibukkan dengan berbagai kasus-kasus
rebutan lahan yang seolah tiada hentinya.
Kita masih ingat betul bagaimana
konflik kasus program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati
berskala luas, Marauke Integrated Food and Energy Estate di Kabupaten Marauke,
Papua dimana terjadi konflik antara masyarakat adat dengan 36 Investor yang
diantaranya Artha Graha. Medco, dan PT Bangun Tjipta Sarana, yang pada akhirnya
pada tangga 3 Oktober 2010 PT Medco dan masyarakat Sanggase berdamai dengan
memberi ganti rugi Rp 3 Miliar untuk tanah ulayat seluas 2.800 hektar tersebut.
Masih mengenai konflik tanah adat, sekitar 300.000 hektar lahan masyarakat adat
menimbulkan sedikitnya 200 konflik di Ketapang Sanggau dan Sintang, Kalimantan
Barat dikarenakan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar tahun 2010 terdata
550.000 hektar, namun izin yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit
mencapai 1,5 juta hektar.
Di Sumatera
Utara sendiri konflik masalah tanah juga sering terjadi, seperti yang dialami
oleh warga disekitar areal pembangunan Bandara Kualanamu di Kabupaten Deli
Serdang dimana lahan yang dipakai untuk proyek pembangunan Bandara yang luasnya
1.365 hektar tersebut, 891,3 hektar di antaranya merupakan bekas Hak Guna Usaha
(HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang dilepaskan sejak Oktober 1997. Yang hingga kini masih belum
tuntas masalah ganti rugi lahan tersebut, dan masih ada sekitar 44 Kepala
Keluarga yang masih bertahan disana karena relokasi yang dijanjikan belum
terealisasi hingga kini. Selain kasus tersebut, masih banyak lagi kasus tanah yang
ada khususnya di Sumatera Utara. Menurut anggota Komisi A DPRD Sumut, Oloan
Simbolon, sejak era reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan
tentang sengketa tanah dan sampai saat ini belum ada yang diselesaikan atau
dituntaskan.
Bahkan kasus
sengketa lahan yang terjadi baru-baru ini di Mesuji, Lampung cukup menyita
perhatian publik di Indonesia karena terindikasi akibat kasus tersebut terjadi
pelanggaran HAM, walaupun jumlah korban dari kasus tersebut sampai saat ini
masih simpang siur. Banyak
pihak yang terlibat dalam Tragedi pembantaian ini yang dipicu oleh konflik
rebutan lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik
swasta yang juga melibatkan pihak keamanan negara. Terlepas dari berapa
banyaknya jumlah korban yang ditimbulkan akibat konflik tersebut, hal yang tak
kalah penting untuk diungkap adalah mengapa hingga saat ini konflik yang
ditimbulkan akibat rebutan lahan masih sering terjadi. Bukankah ini bentuk dari
ketidak seriusan pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Andai ini terus dibiarkan, bukan
tidak mungkin Indonesia akan terus didera masalah serupa. Sebab di Indonesia
sendiri sudah berulang kali kasus serupa terjadi tanpa ada penyelesaian yang
memuaskan. Penyebab dari konflik lahan ini sendiri ada banyak hal seperti salah
satunya adalah penggusuran yang dilakukan baik oleh pihak swasta maupun
pemerintah tanpa ada relokasi yang jelas untuk pengganti tempat tinggal mereka
yang digusur.
Dalam hal
penyebab konflik tanah ini, Fia S.Aji (Kanwil BPN Gorontalo) pernah berpendapat
bahwa secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah
sangat bervariasi yang antara lain adalah harga tanah yang meningkat dengan
cepat, Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya,
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dan pada hakikatnya, kasus
pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara
perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan
badan hukum dan lain sebagainya.
Oleh sebab
itu solusi yang paling pas untuk mengatasi ini semua adalah pemerintah harus
serius dalam memberikan jaminan atas lahan kepada siapa saja yang memiliki hak
atas lahan tersebut dan berani bertindak tegas kepada pihak-pihak yang coba
mengganggu lahan pertanahan yang ada tanpa ada hak yang dia miliki. Selain itu pemerintah juga harus
memiliki transparansi data mengenai Hak atas tanah kepada siapapun agar tidak
terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan yang selama ini menjadi pemicu
banyaknya konflik tanah yang terjadi.
Apalagi tanggal 16 Desember 2011
kemarin, Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan RUU Pengadaan Tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. RUU inilah yang diharapkan dapat menjadi
dasar pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kedepannya.
Walaupun pengesahan RUU ini sendiri sempat mendapat protes dari Ketua Fraksi
PDIP, Tjahyo Kumolo karena beliau menganggap pemberlakuan Undang-undang
tersebut akan terlalu pro kepada investor dan merugikan pemilik lahan. Disini
sekali lagi sangat dituntut peran aktif dari pemerintah dalam mengawal berbagai
masalah yang berkaitan dengan tanah agar tidak terjadi perselisihan karena ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kebijakan yang dibuat.
Sebab bagaimanapun Negaralah yang
memiliki kuasa atas tanah dan berkewajiban untuk memberikan kemakmuran kepada
setiap rakyat Indonesia melalui pemanfaatan tanah dan hasil bumi yang
terkandung dalam wilayah Indonesia sesuai isi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang juga menjadi kalimat
penghantar di atas.***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa 29 Desember 2011
0 comments:
Posting Komentar