Oleh : Eka Azwin Lubis
Sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dimana negara ini berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui pemilihan umum dan berwenang atas kepemimpinan sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun. Selain itu presiden dan dewan perwakilan (DPR) memiliki masa jabatan yang sama dan tidak bisa saling menjatuhkan, dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Sama-sama kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dimana negara ini berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia melalui pemilihan umum dan berwenang atas kepemimpinan sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan. Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun. Selain itu presiden dan dewan perwakilan (DPR) memiliki masa jabatan yang sama dan tidak bisa saling menjatuhkan, dan tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam
pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki posisi yang
kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya relatif
lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya tidak
bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Namun
Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru
memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer dalam menjalankan roda birokrasi dimana
setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden sebagai pemangku kekuasaan negara
dan pemerintahan, harus mendapat restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian
disebut sebagai Division of Power (pembagian
kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial yang
diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala sistem
parlementer.
Sehingga
dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa dalam
pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung oleh
rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah cara
yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam
mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Oleh
sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang diterapkan
negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam mengaktualisasikan
kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang bermunculan setiap
kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi. Pada tahun 2009 saja
ada 44 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dimana 16
diantaranya merupakan partai politik baru yang lolos verifikasi dan berhak
untuk menjadi kontestan pesta demokrasi yang digelar tiap lima tahun sekali
tersebut.
Dari
44 parpol yang bersaing pada pemilu tahun 2009 tersebut, hanya 9 diantaranya yang
berhasil meraih kursi di DPR. Hal ini dikarenakan penerapan Parlemen Threshold yang mengharuskan
setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara nasional untuk berhak mendapat jatah
kursi di DPR. Sehingga hanya Partai Demokrat (20,85 %), Golkar (14,45 %), PDIP
(14,03 %), PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra
(4,46 %), dan Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR
pusat untuk periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain yang
mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi di
DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD
sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Sembilan
partai yang masuk dalam parlemen thereshold dan berhak mendapat kursi di DPR,
enam diantaranya memilih untuk berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Boediono yang
terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2009/2014. Demokrat,
Golkar, PKS, PKB, PPP, dan PAN, marupakan partai yang siap untuk mendukung dan
membantu pemerintah selama lima tahun kedepan. Mereka tergabung dalam
Sekretariat Gabungan (setgab) yang dikepalai langsung oleh presiden SBY.
Sementara
itu 3 partai lain seperti PDIP, Gerindra, dan Hanura yang juga mendapat jatah
kursi di parlemen, lebih memilih untuk menjadi partai oposisi pemerintah.
Keputusan ini tentu menjadi hak tiap partai yang tidak dapat diganggu oleh
partai lain sekalipun itu partai penguasa. Hal ini tentu juga membuat ketiga
partai oposisi tersebut tidak mendapat jatah di kabinet sesuai tradisi yang
diterapkan selama ini. Karena setiap partai yang masuk kedalam koalisi pasti
mendapat jatah menteri di dalam kabinet yang telah diatur dalam kesepakatan
koalisi.
Ganti Formasi ala Penguasa
Namun
seiring berjalanya waktu, partai koalisi yang tergabung dalam setgab dan telah
membuat kesepakan untuk mendukung serta mengawal pemerintah yang dipimpin oleh
presiden SBY dan wapres Boediono selama lima tahun masa jabatan diperiode yang
kedua, mulai mengalami dinamika politik yang menggoyang keharmonisan dan
kesolidan koalisi. Mulai dari manuver politik yang dilakukan oleh beberapa
partai koalisi hingga keputusan-keputusan yang diambil oleh partai koalisi yang
bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
PKS
merupakan salah satu partai koalisi yang paling fenomena dalam manuver politik
yang dilakukannya dengan menentang berbagai kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah sehingga mendapat sorotan yang cukup kuat dari sesama penghuni
koalisi yang ingin mendapatkan kepastian sikap mereka apakah tetap konsisten
untuk menjadi bagian dari koalisi yang seyogyanya harus mendukung setiap
kebijakan pemerintah atau keluar dari koalisi yang telah berjalan hampir tiga
tahun tersebut.
Kekisruhan
ini dimulai sejak kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun
rupiah. PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi
mendorong terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana
talangan yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi
melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap
beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap
ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan
klimaks dalam penyelasaiannya.
Tidak
berhenti sampai disitu sikap partai koalisi yang berseberangan dengan kebijakan
pemerintah, terakhir pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu april 2012, beberapa partai juga
menolak untuk mendukung kebijakan yang dianggap tidak populer tersebut.
Meskipun kebanyakan dari mereka menolak dengan cara dan bahasa yang normatif
sehingga harga BBM urung dinaikan oleh pemerintah namun berdampak pada
munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan
berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah
diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan
pendukungnya. Yang artinya harga BBM bisa saja berubah tiap saat jika harga
ICP juga mengalami perubahan.
Namun
sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai koalisi dimana
meraka justru menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi
lain menolak dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan
dengan tegas mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu
keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai partai
berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka ambil
mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi
pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS
sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun jatah kursi
dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul manuver politik
yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri yang dihuni oleh
kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial
yang dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika
yang dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul berbagai kebijakan PKS
yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai berkuasa, langsung
memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu koalisi kepada
partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini
merupakan partai oposisi, coba kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan
barisan pemerintah sembari berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari
koalisi. Silaturahmi politik antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut
segera digelar untuk mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Namun Prabowo
Subianto selaku ketua Partai Gerindra segera menepis anggapan kalau partainya
akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan
(Setgab). Menurutnya, ajakan partai demokrat tidak sampai masuk dalam ranah
koalisi partai, namun hanya sebatas pada ajakan kerjasama parlementer saja.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Syarifuddin Sudding,
menyatakan tidak tergiur dengan tawaran partai Demokrat agar Hanura masuk
kedalam koalisi.
Hal
ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para
penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang bertujuan
untuk mensejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan yang mengacu
pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap kebijakan
pemerintah.
0 comments:
Posting Komentar