Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Kalimat
yang tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia tersebut bermakna bahwa setiap manusia yang terlahir
kemuka bumi ini dijamin kebebasan dan kemerdekaannya tanpa ada pihak lain yang
berhak untuk mengganggu atau mencabutnya karena itu merupakan anugrah yang
langsung diberikan oleh Tuhan seiring dengan keberadaannya didunia.
Isi pasal tersebut linier dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berisiskan Semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka
dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan. Dan telah disahkan PBB sejak tahun 1948.
Dua Pasal tersebut agaknya cukup untuk menggambarkan betapa
urgennya jaminan hidup yang hakiki karena berasal dari Tuhan dan telah ada
semenjak manusia berada dalam kandungan. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi
segelintir atau sekelompok manusia dengan berbagai kriteria tertentu, namun hal
ini bersifat secara universal atau dengan kata lain berlaku secara menyeluruh
kepada setiap insan manusia yang ada didunia tanpa terkecuali. Tidak ada bentuk
diskriminatif dalam menjalankan dan menegakkan aturan tersebut. Karena setiap
manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan hidup tanpa
memandang ras, suku, agama, atau bahkan bangsa mereka.
Lebih jauh Pasal 2 DUHAM menyebutkan Setiap
orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain,
asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain. Dari penjabaran pasal tersebut semakin jelas bahwa dalam
menjalankan aturan tentang hak-hak hakiki manusia tidak boleh ada pengecualian
dengan apapun alasannya.
Jika kita spesifikasikan tentang bagaimana penerapan aturan-aturan
tersebut di Indonesia, maka kita akan menemui dua realita yang saling
kontradiksi dalam penerapannya. Sebab dalam menjalankan kehidupannya masyarakat
Indonesia yang dikenal majemuk ini tidak memiliki satu komitmen yang sama dalam
menjalankan aturan-aturan tentang keberadaan manusia didunia yang memiliki
berbagai latar belakang berbeda. Selain itu pemerintah yang seharusnya memiliki
tanggung jawab dalam menjamin dan melindungi hak-hak setiap warga negaranya
seolah tidak mampu dalam mengemban amanah yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal
28 I ayat 4 yang dengan jelas mengatakan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Statement diatas bukanlah isapan jempol
semata karena sudah menjadi hal yang lumrah bagaimana berbagai pelanggaran
Hak-Hak yang bersifat hakiki bagi setiap warga negara Indonesia yang harusnya
dilindungi justru tergadai demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Tidak
hanya Negara yang senantiasa mengabaikan hak warga negaranya, bahkan fenomena
yang saat ini santer terjadi juga memperlihatkan bagaimana sesama warga negara
Indonesia saling mengabaikan hak-hak sesamanya. Hal ini mengindikasikan bahwa seolah-olah
tidak ada kemampuan negara dan kedewasaan warga negara dalam melindungi dan
menegakkan Hak Asasi Manusia untuk menjamin kesejahteraan dan keamanan hidup
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menghargai hak orang lain.
Bukankah manusia merupakan makhluk sosial yang saling mengisi dan
membutuhkan dalam menjalankan hidupnya. Namun saat ini semua seolah merasa bisa
hidup sendiri dengan berbagai kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki sehingga
tidak perlu untuk menghargai hak-hak orang lain dalam menggapai haknya. Satu
hal yang harus dipahami adalah hak berdiri sejajar dengan kewajiban, yang
dengan kata lain jika kita menginginkan hak kita terpenuhi maka kita juga
memiliki kewajiban untuk menjaga hak orang lain agar tidak terlanggar seiring dengan
didapatnya hak kita.
Solidaritas
Berbangsa yang Mulai Terkikis
Indonesia dikenal luas sebagai negeri beradab yang selalu
mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada
ditengah kehidupan bermasyarakat sesuai amanat nilai dasar Pancasila butir
keempat. Selain itu kemajemukan seolah telah mengajari kita bagaimana cara
menghargai perbedaan dan keberagaman yang ada untuk saling mengisi antar satu
dengan yang lainnya. Bahkan semboyan bangsa juga menjadi pertanda betapa eratnya
tali persaudaraan sesama kita walaupun diselimuti dengan berbagai perbedaan
yang ada.
Pancasila yang merupakan dasar idiologi bangsa, pandangan hidup
bangsa, cita-cita bangsa dan sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah mengisyaratkan tentang karakter dan pola fikir seluruh
rakyat Indonesia. Lima butir Pancasila itu menggambarkan bagaimana sebenarnya
sifat asli bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan saling
menghargai berbagai perbedaan.
Namun realita yang saat ini terjadi sangat jauh dengan apa yang
selama ini dicita-citakan. Rasa solidaritas antara pemerintah dengan rakyat
atau rakyat dengan sesama rakyat Indonesia seakan-akan telah terkikis seiring
dengan berbagai perkembangan zaman yang seolah belum mampu diikuti oleh bangsa
Indonesia. Perbedaan yang seharusnya mengajari kita untuk saling menghargai dan
menghormati kini seolah menjadi hal yang tabu. Kekuasaan yang dimiliki oleh
pemerintah juga sering disalah artikan untuk menindas rakyatnya.
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana
tragedi Mesuji di Lampung yang disebabkan oleh konflik tanah ulayat antara
warga dengan perusahaan kelapa sawit swasta yang berakibat terjadinya
pembantaian yang diindikasi juga melibatkan pihak keamanan negara yang
seharusnya menjadi wadah mediasi antara dua pihak yang bersengketa tersebut.
Belum lagi tragedi Mesuji terselesaikan,
muncul masalah baru dengan kasus yang hampir sama dimana tanah kembali menjadi
objek yang dipermasalahkan antara warga Bima, NTB dengan perusahaan tambang
swasta. Warga yang menolak keberadaan pertambangan diwilayah mereka karena
khawatir akan pencemaran ekosistem akibat limbah tambang, melakukan unjuk rasa
di Pelabuhan Sape Bima, menuntut pemerintah daerah dapat mencegah pertambangan
yang ada diwilayah mereka. Lagi-lagi masalah ini harus diselesaikan dengan
cara-cara yang jauh dari karakter yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia.
Pihak kepolisian yang harusnya mengawal unjuk rasa warga yang menuntut haknya
justru bertindak brutal dengan melepaskan tembakan yang berakibat jatuhnya
korban jiwa dalam upaya membubarkan para pengunjuk rasa. Pihak kepolisian
sendiri berdalih bahwa tindakan yang dilakukan oleh personilnya sudah sesuai
Protap Kapolri Nomor 1 tahun 2010 tentang penanggulangan anarki sehingga mereka
berhak untuk melakukan tindakan yang demikian meskipun berujung pada " tewasnya
dua pengunjuk rasa."
Diakhir tahun 2011 lalu, saat seluruh rakyat
Indonesia berharap tragedi kemanusiaan di Bima menjadi penutup kisah suram
pertikaian di Indonesia pada tahun 2011, justru kembali terjadi lagi fenomena
yang cukup menyita perhatian kita.
Pembakaran Pondok Pesantren dan sejumlah
rumah pengikut Islam Syiah di Sampang Madura yang kali ini dilakukan oleh
sesama warga. Alasan dari pembakaran tersebut adalah perbedaan cara beribadah
antara pengikut syiah dengan masyarakat lainnya yang juga memeluk agama Islam.
Ini merupakan satu pukulan telak bagi kita yang mengaku plural tapi justru
melakukan hal-hal brutal karena dipicu perbedaan yang ada. Bukankah insan yang
mengaku beragama seharusnya mengedepankan etika dalam menyelesaikan perbedaan
yang ada apalagi dengan orang yang seakidah dengannya. Padahal MUI telah
mengisyaratkan bahwa Syiah bukanlah aliran sesat dalam agama Islam dan diterima
keberadaannya didunia sebagai bagian dari Islam. Kejadian ini seolah membuka
kembali lembaran kelam masa lalu di Poso yang juga berlatar belakang masalah
agama.
Citra kesantunan rakyat Indonesia yang selama ini menjadi contoh
bagi negara lain dalam membina kerukunan umat beragama seakan luntur dengan
kejadian yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak tersebut. Tak kurang kasus
ini mengundang reaksi dari berbagai ormas Islam yang mengatakan kedewasaan
masyarakat semakin lama semakin merosot dalam menghadapi perbedaan terutama
yang menyangkut keyakinan yang ada.
Apakah negara kita sudah lupa bagaimana cara
berdialog yang santun dan mengedepankan nilai toleransi dalam menyelesaikan
permasalahan tanpa harus adanya korban jiwa dan kerusakan yang berakibat pada
kerugian yang dialami sesama rakyat Indonesia. Lalu dimana peran
Pemerintah yang seharusnya menjadi penengah untuk mencapai kemaslahatan
bersama. Sebab andai pemerintah dapat merespon segala bentuk penyimpangan yang
terjadi maka hal-hal tersebut barang kali tidak akan terjadi. Kalau sudah
begini masih pantaskah kita disebut negara yang berbhineka tunggal ika.***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
sumber : Analisa 5 Januari 2012
0 comments:
Posting Komentar