Menyusul
dirilisnya film kontroversi yang berisi tentang penghinaan terhadap nabi besar
Muhammad berjudul Innocence of Moslems yang dibuat oleh seorang produser
amatiran asal Amerika Serikat, aksi unjuk rasa menentang film tersebut langsung
bergemuruh diseluruh dunia khususnya negara-negara yang berpenduduk mayoritas
muslim. Setiap hari para demonstran terus menyuarakan sikap mereka yang menolak
keras film yang jelas-jelas sangat merendahkan martabat nabi suci Muhammad
tersebut. Mereka menuntut pihak pemerintah Amerika Serikat segera mengambil
keputusan tegas dengan menghukum sang produser yang konon kerap berganti
identitas tersebut.
Tidak jarang
aksi demonstrasi yang mengutuk penayangan film tersebut harus berakhir dengan
anarkis. Para demonstran yang pada umumnya ingin merusak segala fasilitas yang
berbau Amerika termasuk kantor kedutaan, harus mendapat perlawanan oleh aparat
keamanan yang tidak menginginkan terjadinya tindak anarkis dalam aksi
demonstrasi tersebut.
Aparat
kepolisian harus rela berjibaku dengan massa yang jumlahnya jauh lebih banyak
demi mengamankan kondusifitas negaranya. Jika kita tanya pendapat para aparat
kepolisian yang berjaga untuk mengamankan para demonstran, mungkin sebagian
besar dari mereka juga menolak dan mengutuk film yang sangat melecehkan umat
Islam tersebut. Namun sebagai aparatur negara yang memiliki peran dalam
mengamankan stabilitas keamanan negara, tentu mereka harus berjuang untuk
mengantisipasi sikap anarkis para pengunjuk rasa yang sama-sama kecewa dan
marah terhadap film tersebut.
Hal tersebut
juga dialami oleh oknum kepolisian di Indonesia. Menyusul aksi protes
besar-besaran dibanyak kota di tanah air, Polri juga dengan sigap segera
menjaga seluruh fasilitas milik Amerika Serikat yang menjadi sasaran amukan
para pengunjuk rasa. Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal tersebut
dilakukan aparat kepolisian bukan karena mereka simpati atau bahkan mendukung
pemutaran film tersebut, namun yang menjadi alasan atas sikap mereka adalah
tuntutan tugas yang memang mengharuskan mereka untuk menjaga segala fasilitas
yang dikhawatirkan menjadi sasaran pengrusakan oleh pengunjuk rasa.
Seperti yang kemarin terjadi di depan kantor Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta, pengunjuk rasa yang merupakan gabungan dari
beberapa ormas Islam di ibukota, melakukan aksi protes di depan kantor duta
besar AS tersebut. Mereka
menuntut agar pemerintah Amerika memberikan bersikap tegas kepada Sam Beccile
yang merupakan pembuat film tersebut. Sama dengan aksi-aksi protes yang
dilakukan demonstran di negara lain, aksi protes di Jakarta juga berakhir ricuh
karena terjadi chaos antara pihak demonstran yang coba memaksa masuk ke dalam
kantor kedutaan namun dihalangi oleh aparat kepolisian.
Hasilnya empat
anggota polisi harus terluka mendapat lemparan batu dari para pengunjuk rasa
yang bertindak anarkis karena merasa kecewa aksi mereka dihalang-halangi oleh
aparat kepolisian. Ini merupakan satu bentuk tindakan represif karena tidak
seharusnya para pengunjuk rasa menyerang polisi yang memang bertugas untuk
mengamankan aksi demonstrasi tersebut. Sungguh prihatin kita melihat mereka
yang harus menerima cidera padahal mereka bertugas dalam rangka mengawal
kondusifitas keamanan masyarakat.
Walau terkadang banyak fenomena yang menciderai citra
kepolisian yang dilakukan oleh sebagian oknum polisi yang tidak bertanggung
jawab sehingga menghilangkan simpati dari masyarakat akan kinerja mereka yang
sebenarnya sangat berat dan penuh tanggung jawab. Terutama di saat-saat seperti
ini, bagaimana meraka dituntut untuk bekerja ekstra dalam menjaga dan mengawal
jalannya unjuk rasa dan mengantisipasi adanya tindakan anarkis dari pengunjuk
rasa.
Sehingga tidak salah jika kita memberi apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada aparat kepolisian yang rela ikut berpanas-panasan,
berlelah letih, bahkan terkadang harus berlarian tunggang langgang menghindari
amukan massa karena suasana unjuk rasa yang sudah sangat tidak kondusif.
Bukankah
Polisi Mitra Pengunjuk Rasa?
Kita tentu paham bagaimana perasaan para pengunjuk rasa
yang marah akibat nabi junjungannya dihina, namun apakah rasa marah dan kecewa
tersebut hanya dimiliki oleh mereka yang berunjuk rasa, bukankan aparat
kepolisian juga banyak yang kecewa dan marah atas tindakan konyol dari produser
gadungan tersebut. Apalagi
jika kita jeli melihat, pihak aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya
untuk mengawal jalannya aksi unjuk rasa harus merasakan lelah dan letih yang
lebih diketimbang para pengunjuk rasa itu sendiri. Sebab sebelum pengunjuk rasa
datang kelokasi unjuk rasa, personil kepolisian telah terlebih dahulu bersiaga
menunggu massa yang ingin berunjuk rasa. Begitu para pengunjuk rasa datang,
maka kesiagaan mereka juga seketika ditingkatkan untuk mengantisipasi
seandainya terjadi tindak anarkis dan bentrokan oleh pengunjuk rasa yang tidak
puas karena tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Dan ketika pengunjuk rasa telah selesai menyampaikan
aspirasinya dan kembali pulang ketempatnya masing-masing, aparat kepolisian
masih tetap tinggal dan bersiaga di tempat unjuk rasa untuk mengantisipasi
apabila ada aksi susulan yang dilakukan oleh massa yang belum puas dengan aksi
yang telah mereka lakukan sebelumnya. Hingga suasana benar-benar kondusif dan
dipastikan tidak ada lagi aksi susulan, baru aparat kepolisian meninggalkan
lokasi unjuk rasa.
Caci maki dan hujatan tidak jarang tertuju pada mereka
yang sebenarnya sama sekali tidak punya hubungan dengan pembuatan film
berdurasi 13 menit tersebut. Bahkan
aparat kepolisian harus rela bermohon atau kadang sedikit memelas kepada
pengunjuk rasa agar tidak bertindak anarkis dalam menyampaikan aspirasinya.
Namun permintaan tersebut tetap tidak digubris oleh pengunjuk rasa yang kecewa
karena pihak kedutaan Amerika tidak memberi jawaban yang memuaskan dan akhirnya
para demonstran tetap melakukan tindakan anarkis.
Sudah saatnya
kita bijak dalam berfikir, polisi tidak selamanya menjadi satuan yang harus
mendapat antipati dari masyarakat. Dan kita harus benar-benar berani jujur
untuk mengapresiasi bagaimana peran mulia mereka dalam mengawal dan memediasi
antara pengujuk rasa yang ingin menyampaikan aspirasinya dengan pihak kedutaan
Amerika Serikat. Meskipun masih ada oknum-oknum polisi nakal terutama mereka
yang bertugas di satuan lalu lintas dan sering menimbulkan fobia pada
masyarakat karena tindakannya menilang ala damai ditempat sehingga membuat
masyarakat hilang simpati terhadap polisi.
Namun apresiasi akan kerja keras mereka sebagai
garda terdepan untuk mengamankan, memediasi, dan menjadi sahabat setia yang
selalu menemani para pengunjuk rasa yang kecewa dan marah atas pemutaran film
Innocence of Moslems harus kita berikan kepada mereka ***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI Fis Unimed dan Staf Pusham Unimed