Oleh: Eka Azwin Lubis.
Pemerintah
kembali mengeluarkan wacana untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) setelah beberapa kali gagal untuk merealisasikan wacana ini sejak
tahun lalu. Banyak pihak yang menganggap kebijakan pemerintah ini sudah
tidak populer dimata masyarakat luas. Apalagi jika kita bandingkan harga
BBM dinegara berkembang yang keadaan ekonominya tidak jauh berbeda
dengan Indonesia, kita akan menemui fakta yang sangat funtastis.
Venezuela merupakan negara berkembang dikawasan Amerika Latin yang
mematok harga tak lebih dari 585 Rupiah untuk penjualan satu liter BBM.
Negaranya Alm. Hugo Chavez tersebut merupakan negara yang sektor
ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Turkmenistan yang
notabenenya juga merupakan negara berkembang, mampu menjual BBM kepada
rakyatnya hanya dengan harga 936 Rupiah per liter. Dan masih banyak lagi
negara yang sama-sama sedang berkembang seperti Nigeria, Libya, dan
Iran, yang mampu menjual BBM kepada rakyatnya dengan harga yang sangat
rendah.
Dapat dibayangkan bahwa lebih mahal harga sebatang rokok di Indonesia
dari pada seliter BBM dinegara-negara tersebut. Hal yang sesungguhnya
sangat memprihatinkan terjadi dinegara kita yang memiliki kekayaan
minyak bumi namun masih belum mampu menjual BBM dengan harga yang
rendah.
Harapan rakyat Indonesia dapat membeli BBM dengan harga rendah
seperti negara berkembang diatas agaknya hanya akan menjadi mimpi
disiang bolong. Bukan turunnya harga BBM yang dibincangkan oleh
pemerintah kita, namun justru kebijakan untuk menaikan harga BBM yang
dibahas oleh pemerintah belakangan ini menyusul naiknya harga minyak
dunia. Pemerintah berdalih apabila subsidi yang selama ini dikeluarkan
untuk harga BBM tidak dikurangi, maka APBN negara akan mengalami
defisit. Benarkah demikian?
Jika kita melihat kompilasi data dari beberapa ekonom yang tidak
bermahzab neolib, Pertamina yang merupakan perusahaan negara yang
membidangi masalah minyak memperoleh hasil penjualan BBM premium
pertahun sebanyak 63 milyar liter dengan harga 4.500 Rupiah per liter,
yang berarti hasilnya 283,5 Triliun Rupiah. Namun Pertamina harus
membayar impor dari pasar Internasional 149.887 Triliun Rupiah, biaya
pembelian pertamina dari pemerintah sebesar 224,546 Triliun Rupiah, dan
pengeluaran uang untuk Lifting + Refining + Transporting (LTR) oleh
pertamina adalah 63 Milyar @ 566 Rupiah yang sama dengan 35.658 Triliun
Rupiah. Berarti seluruh jumlah pengeluaran partamina adalah 410.091
Triliun Rupiah. Pengeluaran dan penghasilan pertamina pertahunnya
selisih 126.591 Triliun Rupiah, dan angka tersebutlah yang harus
disubsidi pemerintah.
Namun harus diingat juga bahwa pemerintah memperoleh hasil penjualan
kepada pertamina sebagaimana tadi telah disebutkan diatas yang mencapai
224.546 Triliun Rupiah. Maka jika hasil penjualan pemerintah kepada
pertamina dikurang dengan jumlah dana untuk subsidi BBM, kita akan
menemui hasil 224,546 Triliun Rupiah - 126.591 Triliun Rupiah, yang
berarti sama dengan 97.955 Triliun Rupiah.
Yang jadi pertanyaan adalah kemana dana bersih 97.955 Triliun Rupiah
yang dihasilkan pemerintah selama satu tahun penjualan BBM premium.
Bukankan tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah dalam
hal ini. Kesimpulannya adalah dana APBN sebenarnya tidak akan defisit
apabila pemerintah terus mensubsidi BBM kepada rakyat. Justru keuntungan
bersih pertahun yang didapat pemerintah setelah mensubsidi BBM yang
mencapai 97.955 Triliun Rupiah. Apakah masih kurang banyak keuntungan
yang dihasilkan pemerintah sehingga ingin membuat kebijakan untuk
menaikan harga BBM.
Jika melihat hasil keuntungan yang didapat pemerintah selama ini
dalam penjualan BBM kepada masyarakat, wajar kiranya penolakan terjadi
seiring ingin dinaikaanya harga BBM oleh pemerintah. Penolakan-penolakan
tersebut terjadi setiap hari diseluruh daerah di Indonesia yang tidak
jarang berakhir dengan anarkis. Meskipun cara-cara anarkis sangat tidak
dibenarkan dalam setiap aksi unjuk rasa, namun cara tersebutlah yang
dianggap ampuh oleh para pengunjuk rasa untuk menggugah hati para
penguasa negeri ini untuk mengurungkan niat menaikan harga BBM.
Fenomena Tahunan
Tentu masih segar dalam ingatan kita satu tahun yang lalu wacana
kenaikan harga BBM juga dilontarkan oleh pemerintah, namun hasilnya
adalah selain penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, anggota DPR
sebagai pemerintah legislatif juga tidak seluruhnya mendukung kebijakan
untuk menaikan harga BBM tersebut.
Sebagian dari mereka justru dengan tegas menyatakan bahwa harga BBM
tidak perlu dinaikan karena sesungguhnya tidak ada ancaman akan jebolnya
dana APBN apabila harga BBM tidak dinaikan.
Dari sembilan fraksi di DPR, tiga fraksi dengan tegas menolak wacana
kenaikan harga BBM apapun alasannya. Sebab mereka menganggap kebijakan
ini sangat tidak pro rakyat dan bukan kebijakan yang populer. Apalagi
saat ini dana APBN masih mampu untuk mensubsidi harga BBM meskipun harga
minyak dunia sedang mengalami kenaikan.
Fraksi PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura merupakan tiga fraksi
yang tegas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Sementara enam fraksi
yang merupakan koalisi dari pemerintah sendiri tidak memiliki
kesepemahaman dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM ini atau
dengan kata lain terjadi pecah kongsi dalam sikap keenam fraksi koalisi.
Opsi yang ditawarkan dalam sidang paripurna tahun lalu adalah isi
pasal 7 ayat 6 tersebut tidak mengalami penambahan atau mengalami
penambahan. Jika opsi pertama disetujui maka harga BBM tidak akan naik
karena sudah ditegaskan dalam pasal 7 ayat 6 tersebut.
Sementara apabila opsi kedua tersebut yang diambil, maka ada
penambahan pasal 7 ayat 6a yang menyatakan pemerintah bisa menaikan
harga BBM apabila harga pasaran minyak dunia meningkat hingga 15 % yang
artinya ada kemungkinan bahwa harga BBM akan berubah sesuai harga
pasaran minyak dunia.
Akhirnya melalui sidang yang sempat diwarnai insiden kericuhan
tersebut diambil opsi yang kedua dengan cara voting. Sungguh hal yang
ironis melihat bagaimana pemerintah kita sampai saat ini belum bisa
memahami nasib rakyatnya sendiri.
Meskipun mereka berdalih subsidi yang ditarik akan dialihkan pada
berbagai sektor lain termasuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM). Namun kebijakan untuk memberi bantuan kepada rakyat miskin
tersebut nantinya juga pasti akan mengalami pro kontra dalam
pelaksanaannya seperti halnya Bantuan Langsung Tunai yang merupakan
program sejenis dan saat ini telah mandek karena tidak sesuai sasaran
dalam penyalurannya.
Semoga pemerintah kita semakin bijak dalam membuat keputusan yang
menentukan nasib rakyatnya. Bangsa kita adalah bangsa yang
berprikemanusiaan.
Sudah sepatutnya seluruh warga negara Indonesia saling menghargai dan
mengerti nasib sesamanya, termasuk pemerintah yang merupakan wakil
rakyat, harus memahami kondisi rakyatnya. Jangan hanya ingin memperkaya
diri sendiri namun nasib rakyat banyak diabaikan.***
Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed
0 comments:
Posting Komentar