Oleh: Eka Azwin Lubis.
Di abad ini
televisi memiliki peran signifikan dalam percaturan hidup manusia di
semua lini. Sebagai media yang memiliki fasilitas audio visual, televisi
mampu mnyuguhkan hal yang bisa didengar layaknya radio sekaligus juga
dapat dilihat oleh mata. Banyak kejadian di seluruh belahan dunia yang
dapat kita saksikan secara langsung melalui tayangan televisi.
Berkat kecanggihan fasilitasnya pula, televisi kini menjadi parameter
tersendiri untuk mendongkrak popularitas seseorang. Seperti pepatah
klasik yang menyatakan bahwa siapa yang ingin menguasai dunia, maka ia
harus menguasai media. Agaknya pepatah ini disadari betul oleh insan
manusia yang terus menjadikan televisi sebagai sarana untuk meraih
popularitas demi tercapainya kepentingan yang dia inginkan.
Jika kita merujuk pada konteks pertelevisian dalam negeri, peran
televisi terasa sangat begitu urgen karena mayoritas penduduk Indonesia
sudah menjadikan televisi sebagai bahan kebutuhan primer. Kita bisa
bayangkan banyak hal yang menjadi kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh
televisi, mulai dari hiburan, olahraga, hingga segala jenis berita terus
menghiasi tayangan televisi, sehingga tidak jarang manusia rela
menghabiskan waktunya hanya untuk duduk di depan televisi.
Karena hal tersebut tidak heran jika belakangan dunia politik
Indonesia juga tertular latah televisi. Segala aktivitas yang berkaitan
dengan perpolitikan bangsa dapat dengan gamblang disaksikan oleh semua
masyarakat melalui jasa televisi.
Netralitas televisi
Jika bicara tentang tayangan berita, tentu kita sepakat bahwa ada dua
stasiun televisi di negara ini yang punya kekuatan besar dalam menyita
perhatian pemirsa karena suguhan berita yang diberikan cukup banyak. TV
One dan Metro TV adalah dua stasiun televisi yang menjadikan berita
sebagai prioritas penayangannya. Mereka mencoba untuk membedakan haluan
dari stasiun lain yang selama ini condong untuk menayangkan sinetron,
hiburan, atau kuis, sehingga dengan mudah masyarakat Indonesia yang
memiliki minat terhadap segala jenis berita untuk memperbarui khasanah
informasinya beralih kekedua stasiun tadi.
Persoalan muncul manakala televisi telah dijadikan panggung
pertarungan politik karena netralitasnya dalam memainkan peran mediator
terkesan semu. Sama-sama kita ketahui bahwa saat ini stasiun-stasiun
besar televisi dimiliki oleh orang-orang yang sarat kepentingan dengan
dunia politik tanah air.
Surya Paloh yang kini menjadi ketua umum Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) merupakan pemiliki Metro TV yang sama-sama kita ketahui banyak
menyuguhkan berita tentang konstalasi politik Indonesia.
Dengan demikian sudah barang tentu Metro TV begitu kental dengan
warna Nasdem yang kemudian sedikit menciderai netralitasnya sebagai
parameter berita tanah air. Tentu kita sering mengalami fenomena ketika
sedang asyik menonton tayangan berita di Metro TV, seketika dikejutkan
dengan Breaking News untuk menayangkan Surya Paloh yang sedang berpidato
di suatu tempat. Hingga saat ini saya belum mengetahui apa substansi
dari hal tersebut jika kita merujuk pada urgensifitas isi pidato beliau.
Memang tidak salah bila beliau dan seluruh kru Metro TV melakukan hal
tersebut karena yang berpidato juga yang punya media, namun jika
melihat pada profesionalitas penayangan, hal tersebut agak kurang
berkena karena sesungguhnya Surya Paloh hanyalah seorang ketua umum
parpol yang tentu saja bukan satu-satunya di Indonesia.
Lain lagi dengan TV One yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh
keluarga Bakrie. Stasiun yang berada dalam naungan VIVA bersama ANTV ini
kerap menyuguhkan berita yang kental dengan nama Aburizal Bakrie (ARB).
Kita sangat jarang mendapatkan ulasan terkait kasus lumpur lapindo di
sidoarjo yang menyeret nama ARB sebagai aktor utama dalam tragedi
tersebut karena hal itu dapat memupus popularitas ARB yang belakangan
santer diberitakan sebagai salah satu calon presiden Indonesia.
Ada kejadian unik yang saya saksikan terkait hubungan TV One dengan
kasus lumpur lapindo. Ketika saya mengikuti sekolah HAM di Kontras
Jakarta sekitar pertengahan bulan juni 2012 lalu, ada seorang korban
lumpur lapindo yang berjalan kaki dari sidoarjo ke Jakarta untuk mencari
keadilan kepada presiden RI.
Saat sampai di kantor kontras Jakarta saya melihat banyak stasiun
televisi yang meliput korban dan mewawancarainya terkait tekatnya yang
begitu besar, namun saya sama sekali tidak melihat presenter TV One
hadir disana untuk turut meliput berita tersebut. Saya berfikir itu hal
yang wajar karena korban akan membeberkan tentang kebobrokan sang
pemilik TV One.
Namun betapa terkejutnya saya ketika korban muncul di Apa Kabar
Indonesia Malam yang merupakan salah satu tayangan TV One beberapa hari
kemudian. Dalam tayangan tersebut korban meminta maaf kepada ARB karena
telah melakukan hal tersebut karena menurutnya ARB adalah orang yang
begitu baik dan dermawan sehingga tidak pantas untuk diadukan ke
presiden. Aneh memang melihat fenomena tersebut karena kita seolah
dihadapkan pada sandiwara politik usang yang dimainkan oleh pemangku
kepentingan melalui media televisi.
Kecerdasan Presenter
Terlepas dari netralitas televisi yang masih semu, ada hal yang tidak
kalah menarik untuk dibahas terkait penayangan televisi. Presenter
merupakan orang yang begitu sentral dalam dunia pertevisian. Banyak cara
dan ciri yang harus dimiliki oleh presenter televisi dalam menarik
perhatian pemirsa.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiraman sosiolog UI, Thamrin
Tomagola yang dilakukan oleh kader FPI, Munarman saat tayangan langsung
di acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One.
Sontak kasus itu menjadi pemberitaan yang heboh di tanah air karena sikap yang tidak dewasa dari kedua narasumber tersebut.
Namun ada satu hal yang harus dicermati dalam kejadian itu, peran
presenter TV One dalam memancing emosi kedua narasumber untuk berdebat
hingga terjadinya insiden memalukan itu cukup berhasil.
Aksi provokasi tidak bisa lepas dalam setiap penayangan yang
dilakukan oleh stasiun televisi kita, apalagi jika tokoh yang diundang
memiliki faham yang berseberangan. Mereka seolah berfikir manakala
perdebatan sengit terjadi maka minat pemirsa untuk menonton tayangan
mereka akan semakin tinggi. Hal yang paling naïf adalah sikap menghakimi
yang kerap dilakukan oleh stasiun televisi terhadap berbagai kasus.
Lebih dari itu, tidak hanya presenter tayangan berita saja yang
menjadi permasalahan dalam dunia pertelevisian kita. Olga Syahputra yang
konon merupakan presenter diberbagai tayangan hiburan dan hanya
mengandalkan modal lelucon kampungan sehingga kerap mengundang
kontroversi.
Pelawak kacangan yang sama sekali tidak punya bakat melawak dan
diorbitkan melalui beberapa tayangan hiburan itu belakangan tersandung
kasus tentang pelecehan yang dilakukannya kepada seorang dokter di acara
Facebookers yang ditayangakan oleh ANTV.
Karena tidak punya kecerdasan dalam menghibur penonton, dia kerap
menjadikan orang lain sebagai bahan lelucon yang tidak jarang justru
menyinggung sang objek leluconnya.
Semoga saja sekelumit tulisan ini mampu untuk menjadi bahan
introspeksi kita semua bahwa televisi Indonesia saat ini masih sarat
dengan nilai provokasi yang dimobilisasi oleh presenter yang kurang
memiliki kecakapan dalam bermedia.***
* Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI
0 comments:
Posting Komentar