Oleh : Eka Azwin Lubis
Eka Azwin Lubis, Staf Pusat Studi HAM Unimed dan aktivis HMI
Kisah miris Helena Marthafriska
Saragi Napitu sungguh menyentuh hati kita. Yakni seorang siswi SMA
Metheodist 2 Medan yang mendapat predikat siswa dengan nilai UN tertinggi
peringkat 3 nasional, justru tidak lulus jalur SNMPTN/undangan.
Satu fenomena konyol terjadi di
dunia pendidikan kita, bagaimana mungkin orang yang memiliki nilai tertinggi
justru tidak lulus jalur undangan. Logika sederhana dalam benak kita tentu
mempertanyakan, seberapa tinggi lagi nilai mereka yang lulus jalur undangan
yang otomatis mengalahkan nilai Helena.
Helena merupakan ”anak bangsa
yang cerdas di negara yang salah”. Saat mengikuti jalur undangan yang
ditawarkan oleh sekolahnya, Helena memilih Fakultas Kedokteran UI dan Fakultas
Kedokteran USU, namun ketika pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru melalui
jalur undangan, namanya tidak muncul sebagai salah satu pemilik kursi di kedua
PTN tersebut padahal sebelumnya dia mendapat predikat juara umum ketiga nilai
UN tertinggi di Indonesia.
Hal ini menjawab pertanyaan kita
bahwa semua kursi yang tersedia di PTN melalui jalur undangan sudah menjadi
jatah-jatah para pemangku kepentingan tanpa melihat nilai UN yang harusnya
menjadi salah satu acuan dalam seleksi penerimaan mahasiswa jalur undangan.
Kuatnya setoran ke orang-orang
yang menjadikan dunia pendidikan sebagai wahana cari makan yang dilakukan oleh
mereka yang menginginkan kursi di PTN melalui jalur undangan, mengalahkan nilai
Helena yang sejatinya merupakan pemegang nilai tertinggi UN secara nasional.
Semoga saja pelaksaan SBMPTN ke
depan yang merupakan harapan terakhir genarasi muda Indonesia yang ingin
mengenyam pendidikan di PTN kelas regular akan terhindar dari tindakan-tindakan
memalukan dan tetap mengedepankan kejujuran dan etika moral.
Sudah sepatutnya dunia pendidikan
kita melakukan introspeksi diri untuk terpeliharanya sistem pendidikan yang
benar-benar mendidikan dan menghilangkan budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme
(KKN) yang semakin lama semakin mengakar kuat dalam tubuh pendidikan kita.
Sangat memalukan jika pendidikan
yang merupakan wahana pembentuk sumber daya manusia yang cerdas dan
berkepribadian luhur harus diurus oleh mereka yang bermental hipokrit dan hanya
berorientasi pada recehan semata.
Kesemrawutan pelaksaan UN jangan
sampai tertular pada pelaksaan SBMPTN, sebab harus kita sadari bahwa begitu
banyaknya generasi-generasi muda kita yang menggantungkan harapan mereka demi
mewujudkan mimpi masuk PTN melalui pelaksaan SBMPTN ini.
Oleh sebab itu ayolah sama-sama
kita jadikan pelaksanaan SBMPTN yang merupakan ajang baru bagi PTN untuk
menyeleksi penerimaan mahasiswa baru, benar-benar bersih dari
kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak.
Nama Baru,
Pola Lama
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN), merupakan cara baru yang dibuat pemerintah untuk menyeleksi
para lulusan Sekolah Menengah Atas/sederajat yang ingin melanjutkan pendidikan
ke perguruan tinggi negeri.
Hampir setiap tahun pola dan nama
penjaringan calon-calon mahasiswa perguruan tinggi negeri ini berubah-ubah. Tentu kita masih ingat sebelumnya seleksi
untuk menentukan siapa-siapa yang layak menjadi mahasiswa di perguaruan tinggi
negeri melalu jalur ujian bersama secara nasional ini bernama Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
SNMPTN sendiri kini justru
dijadikan nama untuk seleksi melalui jalur undangan bagi para peserta didik
yang mendapat jatah dari sekolah masing-masing. Sebelum SNMPTN diperkenalkan,
seleksi penerimaan masuk perguruan tinggi negeri ini bernama Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB).
Pada tahun 2013, SBMPTN
diperkenalkan sebagai ajang penerimaan mahasiswa baru melalui jalur ujian
tertulis dan praktik yang dilakukan pada tanggal 18 dan 19 Juni 2013 lalu
di seluruh universitas negeri di Indonesia.
Dalam menghadapi ujian SBMPTN ini
para peserta tidak kalah tegang dengan saat mereka melakukan Ujian Nasional
yang penuh dengan rekayasa dalam pelaksaannya sebagai ajang penentu kelulusan
mereka dari Sekolah Menengah Atas/Sederajat.
Meski pelaksanaan SBMPTN memiliki
tingkat kecurangan yang lebih rendah dibanding pelaksaan UN, namun tidak
menutup kemungkinan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
objektivitas hasil ujian akan timbul karena bobroknya sistem pendidikan yang
ada saat ini.
Antrean panjang di hampir semua
Bank Mandiri yang merupakan instansi tempat penjualan pin bagi calon mahasiswa
yang ingin mendaftar SBMPTN, menunjukan tingginya minat dan antusias
siswa/siswi Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri.
Sebagai salah satu representatif
tingginya pemintat PTN adalah setiap tahun puluhan ribu orang mendaftar di
setiap universitas negeri yang hanya menyediakan kursi tidak lebih dari puluhan
ribu bagi calon mahasiswa baru.
Agaknya masyarakat Indonesia
masih menggantungkan harapan yang besar untuk masuk PTN sebagai wadah
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena harus diakui bahwa
banyaknya keunggulan yang ada di PTN memberikan harapan segar bagi mereka yang
selama ini memiliki anomali perspektif terhadap dunia pendidikan, seperti
besarnya biaya kuliah.
Faktor ekonomi kerap menjadi
kendala bagi kebanyakan orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga ke
perguruan tinggi, namun banyaknya beasiswa yang ditawarkan oleh PTN membuat
mereka sedikit lega dan berambisi agar salah satu kursi di PTN menjadi hak anak
mereka.
Tidak sedikit juga calon
mahasiswa baru yang mengejar masuk PTN dengan motif gengsi, sebab sudah menjadi
rahasia umum bahwa PTN memiliki image yang lebih baik dibadingkan PTS
yang pada dasarnya hal ini tidak bisa diamini dengan serta merta, karena
kualitas pendidikan tidak sepenuhnya ditentukan dengan tempat bernaungnya
peserta didik, melainkan lebih kepada sumber daya manusia yang akan menerima
input ilmu dari dosen-dosennya.
Segala upaya dilakukan bagi
mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan jatah jalur undangan dari
sekolahnya agar tetap bisa masuk ke PTN, termasuk melalui jalur SBMPTN yang
seleksinya tergolong berat karena memerlukan kerja keras dalam belajar dan
keberuntungan yang harus menyertai.
Tidak hanya kecerdasan berpikir
yang harus dimiliki, faktor keberuntungan juga sangan dominan dalam menentukan
kelulusan kita saat mengikuti SBMPTN. Oleh
sebab itu, karena pertarungannya yang luar biasa dari, membuat SBMPTN mendapat
image yang lebih tinggi daripada mereka yang masuk PTN melalui jalur undangan.
Kita pahami bahwa banyak
manipulasi yang terjadi saat penyeleksian jalur undangan dilakukan, jika selama
ini kita kerap berpikir bahwa kecurangan jalur undangan hanya dilakukan oleh
sekolah dengan ”menyuci rapor” siswanya agar memiliki nilai yang tinggi dan
dapat diterima di berbagai PTN, kini kebusukan baru dari jalur undangan kembali
terungkap yang pelakunya tidak hanya pihak sekolah melainkan di tingkat
pusat.***
Eka Azwin Lubis, Staf Pusat Studi HAM Unimed dan aktivis HMI
0 comments:
Posting Komentar