Oleh : Eka Azwin Lubis.
Jatuhnya
pesawat tempur TNI AU jenis Hawk 200 di Jalan Amal, Pasir Putih, Kecamatan Siak
Hulu, Kabupaten Kampar Riau, memperpanjang catatan buruk dunia penerbangan
kita. Meski tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini cukup menyita perhatian
publik. Apalagi tercatat sejak tahun 2008 saja sudah terjadi 5 kali kecelakaan
pesawat milik TNI.
Persitiwa jatuhnya pesawat Hercules C-130 A-1325 yang berawak 14 orang dan
membawa 98 penumpang di desa Keplak, Kabupaten Madiun, pada Mei tahun 2009 lalu
menjadi tragedi terakhir kecelakaan dunia penerbangan TNI sebelum jatuhnya
pesawat Hawk 200 selasa lalu. Ini harusnya
menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah dalam memperhatikan berbagai
infrastruktur TNI yang merupakan garda terdepan dalam mengawal kedaulatan
Negara. Sebab apabila hal ini terus dibiarkan, maka hal-hal yang tidak kita
inginkan akan terus berulang seperti yang kemarin terjadi.
Namun ada
satu peristiwa yang juga cukup mencengangkan akibat jatuhnya pesawat Hawk 200
ini. Ada beberapa wartawan yang coba meliput persitiwa jatuhnya pesawat ini
namun justru mendapat tindakan represif dari pihak TNI AU Pangkalan Udara
Roesmin Norjadin Pekanbaru.
Mereka mengaku telah dianiaya oleh seorang oknum yang merasa keberatan atas
tindakan mereka yang meliput kejadian jatuhnya pesawat tersebut sehingga oknum
TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru yang belakangan diketahui
berpangkat Letkol tersebut melakukan pemukulan dan mencekik leher wartawan.
Didik Herwanto yang merupakan seorang pewarta foto Riau Pos, menjadi korban
penganiayaan anggota TNI AU tersebut saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200.
Selain dianiaya, tampak dari beberapa gambar yang sempat didokumentasikan
oleh sesama wartawan, kamera yang dipegang oleh didik juga diambil oleh oknum
TNI AU yang lain. Tidak hanya didik yang mendapatkan prilaku tidak menyenangkan
tersebut, beberapa wartawan lain seperti Febrianto B Anggoro dari Kantor Berita
Antara Riau, Ari dari TV One, Dewo dari Riau channel dan dua wartawan dari Riau
TV, juga sempat mendapatkan penganiayaan.
Pihak TNI AU Pangkalan Udara Roesmin Norjadin Pekanbaru mengatakan bahwa
tindakan personilnya tersebut memang tidak bisa dibenarkan, namun satu hal yang
menjadi alasan bagi oknum yang melakukan tindakan penganiayaan tersebut adalah
mereka ingin tempat kejadian jatuhnya pesawat harus steril hingga situasi
benar-benar aman, karena apabila terlalu banyak orang termasuk wartawan yang
coba mendekat dan ingin mendokumentasikan peristiwa tersebut, dikhawatirkan
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Memang benar apa yang menjadi alasan dari dilarangnya masyarakat termasuk
wartawan yang mencoba mendekati bangkai pesawat yang baru jatuh, namun yang
disayangkan adalah bagaimana cara oknum tersebut yang pada akhirnya memicu
protes dari berbagai kalangan termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
yang mengecam keras kekerasan dan perampasan kamera yang dilakukan aparat TNI
AU terhadap jurnalis yang sedang melakukan peliputan berita.
Sebab hal ini semakin memperpanjang kisah penganiayaan terhadap wartawan saat
meliput berita. Pada tahun 2012 ini saja menurut
LBH pers sudah terdapat 46 kasus kekerasan terhadap wartawan yang diantaranya
terdiri dari 23 kekerasan fisik, dan 22 kekerasan nonfisik.
Sebelumnya
ada dua wartawan dari Harian Kompas dan Harian Mercusuar yang sedang memotret
antrean kendaraan di salah satu SPBU dikota Morowali, justru dipukuli oleh
masyarakat. Lalu kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Batam, dimana
seorang anggota TNI berseragam loreng mengintimidasi dan merampas kamera wartawan
yang juga sedang meliput antrean di sebuah SPBU. Sedangkan di Lampung, wartawan
harian Bongkar dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Lampung Utara ketika
wartawan tersebut berusaha mengkonfirmasi dugaan korupsi yang dilakukan oleh
pejabat tersebut.
Selain itu
kita tentu masih ingat bagaimana kisah tidak kalah tragis yang menimpah
beberapa wartawan di Padang, Sumbar. Ketika itu beberapa wartawan Sindo
TV/RCTI, Metro TV, SCTV, Favorit TV dan harian Padang Ekspres sedang meliput
pembongkaran puluhan bangunan liar yang diduga menjadi lokasi prostitusi di
kawasan pantai Bungus oleh Satpol PP dan warga setempat. Namun ketika mereka
selesai meliput berita dan hendak kembali kekota, mereka justru mengalami
intimidasi, pemukulan, dan perampasan kamera yang dilakukan oleh TNI angkatan
laut.
Lalu apakah
wartawan memang tidak boleh meliput berbagai hal yang sudah menjadi bagian dari
kewajiban mereka sebagai pencari berita. Harusnya kita menyadari bahwa sudah
tidak zamannya lagi tindakan kekerasan harus digunakan dalam menghadapi setiap
masalah. Sebab dikhawatirkan image TNI akan kembali buruk di mata masyarakat
menyusul peristiwa tersebut. Apalagi menurut Wakil Ketua MPR Lukman Hakim
Saifuddin, hal ini jelas merupakan kampanye buruk RUU Keamanan Nasional.
Ditambah
lagi jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan tugas pokok dari TNI yakni
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara.
Sehingga harusnya TNI justru menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan
Negara dari berbagai ancaman yang mengganggu stabilitas keutuhan NKRI, bukan
malah menjadi oknum yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Semoga saja apa yang terjadi kemarin dapat
menjadi bahan introspeksi diri bagi kita semua agar kita tetap berada dalam
koridor-koridor tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga kedepannya
diharapkan tidak ada lagi peristiwa seperti ini. Jaya TNI, Bravo Wartawan.***
Penulis adalah Mahasiswa PKn
Unimed dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa, 19 Oktober 1992
0 comments:
Posting Komentar