Oleh : Eka Azwin Lubis.
Pungutan
Liar (Pungli) agaknya telah akrab dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia
karena hampir disemua lini kehidupan telah terkontaminasi dengan hantu yang
bernama pungli ini. Tidak dapat kita nafikan bahwa pungli merupakan praktik
kotor berupa setoran ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
mendapat perlakuan khusus dari oknum-oknum terkait dalam berbagai aspek
kehidupan, sangat marak terjadi di Indonesia. Sehingga tidak jarang terjadi konspirasi
antara sang pembayar pungli dengan oknum-oknum nakal penerima pungli yang
berujung pada kerugian yang dialami oleh negara.
Bahkan belakangan hal yang naif terjadi dalam dunia
suap menyuap ala mafia jalanan ini. Sebab jika selama ini pungli terkesan hanya
dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga melakukan
cara-cara premanisme seperti iuran keamanan yang dilakukan oleh preman setempat
untuk mendapat setoran rutin demi menyambung hidupnya, namun sekarang pungli
juga ikut-ikutan dilakukan oleh oknum-oknum yang justru memiliki penghasilan
tetap dan yang paling aneh adalah bagaimana mereka mengatasnamakan institusi
tempat mereka bekerja untuk melancarkan praktik pungutan liar tersebut.
Beragam profesi yang menjadi tameng para oknumnya
untuk melakukan pungutan-pungutan liar. Polisi yang seharusnya menjadi garda
terdepan untuk memberantas praktik pungli ini terkadang justru terlibat aktif
dalam kegiatan kotor tersebut. Fenomena yang akrab dalam kehidupan kita adalah
bagaimana para awak korps berbaju coklat tersebut senantiasa melakukan pungutan
liar di jalan raya. Modus yang sering dilakukan oleh polisi-polisi nakal ini
adalah menilang para pengendara kendaraan bermotor yang melanggar aturan lalu
lintas. Jika polisi tersebut memang melaksanakan tugas sesuai kapasitasnya,
maka para pelanggar aturan lalu lintas harus disidangkan dipengadilan untuk
menebus kesalahan yang mereka buat.
Tapi hal yang terjadi justru sebaliknya, dimana istilah
"damai di tempat" selalu terjadi apabila ada pengendara bermotor yang
melanggar lalu lintas. Sudah barang tentu uang yang mereka berikan sebagai
tebusan atas kesalahan yang dilakukan, tidak akan masuk kedalam kas negara
namun masuk kekantong para polisi-polisi nakal tadi. Karena saking maraknya
kasus pungli yang dilakukan oknum kepolisian lalu lintas ini, Kapolri Jenderal
Pol. Timur Pradopo sampai harus meminta masyarakat agar bersikap lebih proaktif
jika melihat ada oknum kepolisian yang meminta pungutan liar (pungli) di jalan
raya. Jenderal Timur bahkan menekankan aparat seperti itu harus ditindak tegas.
Namun arahan dari pimpinan tertinggi kepolisian tadi agaknya belum sepenuhnya
ditaati oleh anak buahnya karena hingga saat ini kasus pungutan liar yang
bermodus penertiban pengendara yang melanggar aturan lalu lintas masih marak
terjadi.
Tidak hanya di institusi Polri saja praktik ilegal
ini terjadi, didunia pendidikan pungli juga marak terjadi. Sudah menjadi hal
yang lumrah apabila ada oknum guru yang akan menjalani proses sertifikasi
melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang berdalih akan melancarkan proses
sertifikasi mereka. Seperti terjadi di Kabupaten Garut yang diberitakan oleh
INILAH.COM, dimana para Guru yang mengikuti sertifikasi diharuskan menyetor
sejumlah uang mulai dari 600 ribu, 1 juta, hingga 5 juta rupiah per orang.
Pungli yang diduga dilakukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan
(Disdik) Kecamatan Pangatikan dan Kecamatan Wanaraja ini terindikasi dilakukan
melalui pengawas. Dan ditengarai hasil pungli tersebut akan disetorkan pula ke
oknum Disdik Kabupaten Garut.
Tidak hanya di Kabupaten Garut saja hal ini terjadi,
hampir di semua daerah di Indonesia praktik kotor ini juga terjadi. Hanya saja
sangat minim sumber yang dapat membongkar kasus yang sebenarnya sangat
mencoreng wajah dunia pendidikan di Indonesia ini karena para kaum pengajar
yang seharusnya menanamkan sikap-sikap kejujuran kepada siswanya disekolah
justru melakukan tindakan yang sangat kontradiktif dengan profesi mereka.
Selain sertifikasi guru yang merupakan ajang rawan
pungli, jika melihat kebijakan-kebijakan pendidikan di sekolah juga sangat
rawan terjadinya dunia pungli. Satu contoh hal yang cukup memalukan dunia
pendidikan adalah gara-gara sejumlah guru melaporkan ulah Kepala SMKN 1 Barru,
Sulawesi Selatan, yang dituding telah melakukan pungutan liar yang kemudian
diperdengarkan kepada DPRD Kabupaten Barru, proses belajar mengajar di sekolah
kejuruan tersebut pun ikut terhenti. Bahkan karena penyampaian yang berjalan
alot dalam acara tersebut sempat terjadi kericuhan dan nyaris terjadi adu jotos
antara kubu guru yang mendukung pihak kepala sekolah dan kubu guru yang
menentang pungutan liar (pungli) dan korupsi di sekolah tersebut.
Bagaimana generasi Indonesia mau dapat bermoral baik,
jika semenjak duduk di bangku sekolah saja mereka sudah dipertontonkan dengan
adegan-adegan yang tidak sewajarnya terjadi didalam dunia pendidikan.
Praktik Kotor yang Sudah
Mengakar
Negara ini sudah mengatur tentang tindakan tegas
kepada siapapun yang terlibat dalam praktik pungutan liar. Ada sanksi tegas
yang diberikan kepada siapa saja yang kedapatan dan terbukti melakukan pungli
tidak peduli apapun alasannya. Sebab kegiatan semacam ini merupakan kegiatan
yang merugikan negara baik dari segi materi maupun inmateri.
Namun harus dicermati bahwa meskipun telah ada
beragam aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menghilangkan praktik pungli
di Indonesia, kegiatan kotor ini juga tetap marak terjadi di negara ini. Bahkan
hal yang paling tragis adalah para petugas bandara yang juga tidak mau
ketinggalan dalam melakukan pungutan liar terhadap para pahlawan devisa (TKI)
Indonesia yang bekerja diluar negeri. Hal ini terbukti ketika Tim Komisi I DPR
RI yang beranggotakan Tantowi Yahya (Golkar), Rachel Maryam (Gerindra) dan
Effendi Choirie (PKB) bertemu dengan lebih dari 500 penata laksana rumah tangga
Indonesia (PLRT) di Singapura. Para PLRT tersebut bercerita soal permasalahan
yang mereka alami, termasuk soal pemotongan gaji dan pungutan liar di bandara
Indonesia.
Sungguh hal yang ironis bagaimana para TKI yang ingin
memperbaiki nasib hingga harus pergi keluar negeri, juga harus menjadi korban
pungli dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Banyak lagi pungli-pungli yang dilakukan oleh
oknum-oknum nakal diberbagai institusi. Negara dalam hal ini harus lebih
responsif dalam menghapuskan praktik pungli yang semakin lama semakin membumi
di Indonesia. Masyarakat juga diharapkan untuk lebih cerdas agar tidak terbiasa
dengan sistem instan yang berdampak pada suburnya pungli di Indonesia. ***
* Penulis
adalah Mahasiswa PKn Unimed dan Staf Pusham Unimed
Sumber : Analisa, 10 Oktober 2012
0 comments:
Posting Komentar