Tidak
banyak stadion bagus yang dimiliki Indonesia saat ini. Infrastruktur stadion-stadion
di Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar yang ditentukan baik itu
oleh FIFA maupun AFC sebagai induk sebakbola di kawasan benua Asia. Salah
satu stadion yang ada di Indonesia dan masih sangat butuh banyak perawatan
adalah, stadion yang berada di Kota Medan, yakni Stadion Teladan.
Siapa
tifosi sepakbola nasional yang tidak kenal dengan stadion berkapasitas 15.000
penonton yang terletak di sudut Kota M Medan ini. Stadion yang menjadi
kebanggaan masyarakat Medan ini sempat menjadi tempat yang cukup angker bagi
tim-tim dari luar yang bertandang ke sana.
Persatuan
Sepakbola Medan Sekitarnya (PSMS) yang merupakan sang empunya kekuasaan
terhadap stadion teladan ini, merupakan klub yang memiliki sejarah panjang dan
nama besar dalam kancah sepakbola nasional. Siapa yang tidak kenal
permainan sepakbola ala rap-rap yang sempat populer dan cukup disegani di dunia
sepakbola tanah air, terutama pada zaman kejayaannya, yakni saat kompetisi
sepakbola Indonesia masih berbentuk perserikatan. Permainan keras dan penuh
inovatif menjadi ciri khas tersendiri bagi klub kebanggaan rakyat Sumut,
khususnya Kota Medan tersebut.
Kejayaan
dan nama besar PSMS tidak perlu diragukan lagi dalam mengarungi dinamika
persepakbolaan di Indonesia. Sejak era perserikatan klub yang berdiri 21 April
1950 ini, terhitung pernah lima kali menjuarai kompetisi tersebut, yakni pada
tahun 1967 dan 1971 ketika di final mengalahkan Persebaya Surabaya, tahun 1975
ketika menjadi juara bersama dengan Persija Jakarta, serta pada tahun 1983 dan
1985 setelah di final mengalahkan musuh bebuyutannya pada saat itu, Persib
Bandung. Bahkan di saat-saat terakhir pagelaran kompetisi perserikatan ini
sebelum berganti menjadi Liga Indonesia, PSMS Medan masih sempat menorehkan
prestasi yakni menjadi Runner-Up setelah di final dikandaskan tim kuda hitam
dari timur PSM Makassar.
Selain
banyaknya prestasi yang diukir PSMS di era perserikatan itu, bakat-bakat
potensial yang juga merupakan punggawa tim nasional Indonesia juga banyak yang dilahirkan
dari klub yang merupakan embrio dari Medansche Voetbal Club (MSV) yang berdiri
sejak tahun 1930.
Tentunya
kita tidak asing dengan nama Zulkarnaen Lubis, Iwan Karo-Karo, dan Nobon
Kayamudin, pemain-pemain yang pada eranya sempat menjadi tulang punggung tim
nasional Indonesia tersebut merupakan putra-putra terbaik yang pernah dimiliki
Sumut dan dibesarkan oleh klub PSMS Medan.
Setelah
kompetisi sepakbola Indonesia beralih nama menjadi Liga Indonesia, sinar
kekuatan PSMS d ikancah sepakbola nasional belum juga redup. Permainan keras
dan ngotot menjadi kunci dari kekuatan yang dimiliki oleh tim yang memiliki
kostum kebesaran berwarna hijau tersebut. Tidak ada kata imbang apalagi kalah
jika sudah bermain di kandang yakni stadion kebesaran Teladan Medan. Siapapun
lawan yang dihadapi, poin penuhlah yang menjadi target tunggal dalam setiap
laganya.
Bahkan
tim-tim kuat seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, PSM Makassar, dan
Persebaya Surabaya, yang sejak era perserikatan telah menjadi musuh bebuyutannya,
tetap merasa gentar jikalau sudah bermain di Stadion Teladan Medan, kandang
PSMS. Jangankan untuk meraih kemenangan, untuk mencuri poin imbang saja mereka
harus merjibaku dalam meladeni permainan anak PSMS yang tak kenal kompromi.
Belakangan
saat beranjak ketahun 2000-an, prestasi PSMS kambali gemilang, meskipun tidak
pernah meraih gelar juara Liga Indonesia. Namun setidaknya skuad Ayam Kinantan
kembali menunjukan tajinya dengan terus menjadi tim yang disegani oleh
lawan-lawannya.
Seolah
tidak pernah kehabisan bibit-bibit pemain berbakat, nama-nama pemain besar
kembali dilahirkan PSMS Medan yang kemudian menghiasi skuad tim nasional.
Saktiawan Sinaga, Mahyadi Panggabean, Legimin Raharjo, hingga Markus Haris
Maulana. Mereka semua merupakan pemain-pemain yang juga berkontribusi
menghantarkan PSMS menjadi runner-up liga Indonesia pada tahun 2007 sebelum
liga ini berganti nama menjadi Liga Super Indonesia.
Meskipun
di partai final mereka dikalahkan sesama tim dari sumatera, Sriwijaya FC dengan
skor 3-1, namun ini membuktikan bahwa superior PSMS masih diakui di liga
domestik.
Satu
hal yang mungkin sama-sama kita ketahui adalah PSMS merupakan klub penguasa
Piala Bang Yos, yang merupakan kejuaraan mini yang diadakan oleh Gubernur
Jakarta pada saat itu Sutiyoso. Sebab PSMS merupakan tim yang mampu memenangi
kejuaran ini tiga kali berturut-turut sejak edisi kedua gelaran ini hingga
edisi yang keempat pada tahun 2006.
Ayam Kinantan yang Kehilangan Taji.
Namun
istilah tersebut agaknya pas untuk menggambarkan keadaan PSMS Medan pada saat
ini. Jika dahulu Stadion Teladan seolah menjadi neraka bagi tim-tim tamu yang
bertandang ke Medan, kini teladan justru menjadi lumbung poin bagi klub lawan
yang berlaga menghadapi PSMS Medan.
Kesan
angker seolah hilang menyusul buruknya prestasi yang didapat PSMS Medan pasca
promosi kembali ke Liga Super, setelah sempat terdegradasi pada tahun 2008.
Skuad PSMS yang dahulu diisi oleh pemain-pemain berkualitas, praktis saat itu
justru banyak dihuni pemain-pemain yang kapasitasnya kurang memadai untuk
berlaga di kompetisi tertinggi tanah air.
Jangankan
untuk bersaing dengan musuh-musuh bebuyutan masa lalu seperti Persija, Persib,
ataupun Arema, menghadapi tim-tim yang sejarahnya jauh di bawah PSMS seperti
PSPS Pekanbaru, PSAP Sigli, hingga klub-klub dari pulau Kalimantan saja PSMS
sangat kerepotan. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran yang dialami tim
Ayam Kinantan tersebut. Mulai dari hengkangnya beberapa pemain top seperti
Saktiawan, Mahyadi, Supardi, Legimin dan lain-lain, menejemen pengelolaan klub
yang amburadul juga menjadi satu faktor vital yang menyebabkan merosotnya
prestasi PSMS sehingga tidak sesuai lagi dengan nama besar yang disandangnya.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam pengelolaan PSMS agaknya hanya ingin mencari keuntungan
pribadi dengan memanfaatkan nama besar PSMS tanpa diiringi niatan untuk
mengembalikan kejayaan tim kebanggaan masyarakat Medan. Ini terbukti dari
minimnya perhatian terhadap perawatan Stadion Teladan yang dianggap AFC belum layak
menggelar pertandingan internasional. Bahkan hal yang paling parah mengenai
pola kepengurusan PSMS adalah, seringnya keterlambatan pembayaran gaji yang
dilakukan pihak menejemen kepada para pemain yang berimbas pada menurunya
mental pemain akibat belum menerima haknya.
Apakah
situasi ini akan terus dibiarkan terjadi, jika kita sama-sama mencintai PSMS
Medan dan menginginkan kedigdayaannya terulang kembali, maka mari sama-sama
berbuat untuk membangun PSMS ke arah kejayaannya lagi. Terkhusus bagi para pengurus,
sudah saatnya prestasi PSMS yang menjadi prioritas utama dalam kinerja mereka,
bukan lagi mengurusi kantong masing-masing dengan memanfaatkan nama besar si
ayam kinantan
0 comments:
Posting Komentar