Konflik
horizontal yang diakibatkan perbedaan agama dan keyakinan kerap kali terjadi di
Indonesia. Setelah beberapa tahun lalu isu Ahmadiyah begitu hangat
diperbincangkan karena menimbulkan konflik diberbagai daerah hingga tak jarang
berujung pada jatuhnya korban jiwa, kini muncul kasus baru yang cukup menghentak
hati kita karena berakibat pada pembantaian dan pembakaran kampung kaum islam
syiah di Sampang Madura yang kembali berakhir pada melayangnya nyawa manusia.
Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa kita memang masih sangat intoleran jika bersentuhan dengan isu perbedaan agama dan keyakinan. Padahal sama-sama kita sadari bahwa meskipun Indonesia terdiri dari mayoritas penduduk yang beragama Islam, namun bukan berarti negara ini merupakan negara Islam. Sebab ada beberapa agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia, dan bahkan agama Islam itu sendiri juga memiliki beberapa golongan layaknya agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia. Sehingga harusnya tidak ada pihak yang merasa paling berhak akan negara ini.
Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa kita memang masih sangat intoleran jika bersentuhan dengan isu perbedaan agama dan keyakinan. Padahal sama-sama kita sadari bahwa meskipun Indonesia terdiri dari mayoritas penduduk yang beragama Islam, namun bukan berarti negara ini merupakan negara Islam. Sebab ada beberapa agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia, dan bahkan agama Islam itu sendiri juga memiliki beberapa golongan layaknya agama lain yang juga dianut oleh penduduk Indonesia. Sehingga harusnya tidak ada pihak yang merasa paling berhak akan negara ini.
Dari situ dapat kita nilai bahwa konflik yang diakibatkan oleh perbedaan
sudut pandang yang berkaitan dengan kaidah agama, merupakan sesuatu hal yang
naif karena terjadi di negara yang plural ini. Apalagi kelompok-kelompok yang
bersengketa tersebut telah ada di Indonesia jauh sebelum negara ini merdeka,
sehingga para pembawa ajaran setiap kepercayaan dan agama tersebut juga
memiliki andil dalam hal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Oleh sebab itu harus kita akui bahwa negara ini lahir tidak hanya berkat
perjuangan dari golongan tertentu, namun negara ini dapat merdeka karena
persatuan yang digalang oleh berbagai elemen masyarakat Indonesia yang memiliki
latar belakang berbeda-beda baik itu suku, agama, keyakinan, dan kita semua
harusnya sadar bahwa meskipun kita memiliki keyakinan dan kepercayaan yang
berbeda, namun kita semua memiliki hak-hak yang sama didalam menjalankan
kehidupan bernegara terutama dalam hal beragama dan berkeyakinan.
Tidak jelas apa yang menjadi penyebab begitu gampangnya masyarakat kita
untuk terprovokasi isu-isu yang berkaitan dengan agama dan mengambil langkah
represif dalam menyelesaikannya. Padahal jika kita jernih berfikir, semua agama
yang ada didunia ini senantiasa mengajarkan kebaikan dan mencintai perdamaian,
sehingga umat yang mengaku beragama juga harus mengamalkan ajaran agama
tersebut yang sangat tidak toleran terhadap kekerasan apalagi berujung pada
melayangnya nyawa orang secara sia-sia.
Peran pemerintah dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama juga
agaknya berjalan nihil sebab konflik demi konflik terus bermunculan silih
berganti diberbagai tempat yang dipicu oleh masalah kaidah agama. Andainya selama ini peme rintah bertindak
netral terhadap semua masyarakat tanpa melihat latar belakang agama dan
keyakinannya, dapat dipastikan konflik seperti ini tidak akan terjadi atau
setidaknya dapat diminimalisir.
Namun hal
ini tidak berlaku, pemerintah sejauh ini justru pro terhadap kaum mayoritas dan
terkesan mengenyampingkan hak-hak kaum minoritas sehingga secara gamblang
mereka yang merasa ada dibalik pemerintah terus bertindak sesuka hatinya untuk
menyingkirkan hak-hak kaum minoritas. Peran menteri agama yang harusnya menjadi
fasilitator semua pihak yang bertikai untuk menemui satu titik kesepakatan agar
dapat hidup rukun juga tidak terlihat sama sekali. Menteri agama justru
senantiasa mengeluarkan kebijakan kontroversi mengenai perbedaan keyakinan
antar umat beragama yang tidak jarang semakin memperkeruh suasana karena ada
pihak yang merasa jumawa karena golongannya dianggap benar sementara yang lain
dipersalahkan. Ini jelas merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam membina
kerukunan umat beragama di Indonesia. Jika hal ini terus menerus dibiarkan,
bukan tidak mungkin konflik-konflik antara sesama masyarakat Indonesia yang
dipicu oleh isu agama dan keyakinan akan berjalan silih berganti yang nantinya
akan menyebabkan perpecahan antara sesama kita.
Medan Harus Menjadi Contoh
Medan sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara dan merupakan kota nomor tiga
terbesar di Indonesia juga dihuni oleh masyarakat yang beragam latar belakang
baik itu suku, agama, maupun budaya layaknya kota-kota lain di Indonesia. Stereotipe yang menyatakan Medan adalah
kotanya orang Batak juga kerap diyakini terutama bagi mereka yang berada diluar
pulau Sumatera. Sementara Batak yang mereka pahami juga hanya satu yakni Batak
Toba sebagai Batak yang memiliki marga paling banyak diantara Batak lainnya.
Padahal
Medan sendiri didirikan oleh orang Batak Karo yang bernama Guru Patimpus
Sembiring Pelawi. Kerajaan yang ada di Medan juga bukan kerajaan Batak, namun
kerajaan Melayu yang dikenal sebagai Kesultanan Deli yang konon dipimpin oleh
raja-raja keturunan Mandailing. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada suku atau
kebudayaan yang memiliki dominasi paling banyak di kota Medan karena semuanya
punya sejarah masing-masing yang panjang di kota ini.
Hingga saat
ini, tidak hanya suku bangsa saja yang beraneka ragam mewarnai kehidupan
masyarakat Medan. Namun berbagai agama dan kepercayaan juga tumbuh subur dan
hidup damai disini. Islam tetap menjadi agama mayoritas di Medan, namun Kristen
baik itu Katholik maupun Protestan juga memiliki penganut yang banyak dan bebas
menjalankan syariat agamanya. Selain itu umat Budha dan Konghuchu juga mendapat
hak yang sama dalam menjalankan ajaran agamanya dan bebas beribadah sesuai
tuntutan agama mereka tanpa ada intervensi apalagi intimidasi dari pihak-pihak
lain yang mengganggu kenyamanan mereka dalam beribadah.
Bahkan umat Hindu di kota Medan ini meskipun jumlahnya tidak sebanyak agama
yang lainnya, juga mendapat toleransi dari agama lain yang luar biasa hebat
sehingga mereka bisa mendirikan kampung yang dikenal dengan nama Kampung Keling
sebagai basis komunitas agama tersebut. Selain itu
belakangan kita juga mengenal aliran agama Sikh yang muncul dari pecahan agama
Hindu dan juga terdapat di kota Medan. Mereka hidup dengan damai dan bebas
menjalankan ajaran agamanya dan semua pihak tetap menghormati dan menjaga
hak-hak mereka dalam beragama dan berkeyakinan.
Selain itu
berbagai golongan yang ada didalam masing-masing agama tersebut juga terdapat
di kota Medan. Tentu mereka juga memiliki komunitas yang rutin menjalankan
ibadahnya sesuai kepercayaannya, namun satu hal yang perlu mendapat apresiasi
adalah mereka tidak pernah merasa terganggu apalagi punya niat untuk mengganggu
golongan atau agama lain yang menjalankan syariat agama atau kepercayaannya
masing-masing meskipun berbeda dari golongan lainnya. Ini menjadi bukti bahwa
Medan harus bisa menjadi contoh dan simbol dari kota yang tetap mengedepankan
kerukunan umat beragama karena memiliki masyarakat yang mempunyai nilai
toleransi yang cukup tinggi.***
Penulis adalah mahasiswa PKN Unimed dan staf Pusham Unimed.
Sumber : Analisa, 25 Oktober 2012