Oleh: Eka Azwin Lubis. Bulan suci Ramadhan
tinggal hitungan hari lagi akan berakhir. Seiring dengan berakhirnya
bulan dimana umat Islam yang beriman dituntut untuk memperbanyak amal
ibadah demi meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, maka hari kemenangan
datang sebagai momentum bagi kita yang telah berhasil mengalahkan hawa
nafsu yang pada hakikatnya merupakan musuh terbesar bagi umat manusia
dalam hidup.
Hari Raya Idul Fitri merupakan saat yang paling dinantikan karena
seluruh faedah yang menjadi capaian umat Islam yang beriman selama bulan
Ramadhan tergantikan dengan kemeriahan hari kemenangan. Khusus di
Indonesia, ada banyak tradisi unik yang tidak terdapat di negara lain
terkait perayaan hari Raya Idul Fitri. Bersilaturahmi atau yang kerap
disebut dengan halal bi halal kepada seluruh sanak saudara dan kaum
kerabat adalah salah satu bentuk agenda wajib yang selalu dilakukan saat
hari Raya Idul Fitri.
Halal bi halal dimanfaatkan bagi umat Islam sebagai ajang untuk
saling bermaaf-maafan atas segala kesalahan yang pernah diperbuat agar
kita kembali suci dan bersih layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan
sesuai makna dari Idul Fitri itu sendiri yakni kembali suci. Segala
bentuk dinamika negatif yang selama ini menemani kehidupan masyarakat
seolah terhapus seiring moment saling berjabat tangan antara satu
manusia dengan manusia lainnya sembari menuturkan rasa maaf dan
berintrospeksi diri agar silaturahmi dapat terus terjaga.
Tentu ajang silaturahmi yang paling afdol dilakukan dengan cara
bertatap muka dan saling berjabat tangan sehingga maaf-memaafkan yang
dihaturkan dapat dilakukan secara langsung. Untuk dapat
mengaktualisasikan moment tersebut, maka disinilah tradisi mudik menjadi
hal urgen yang jarang untuk dilewatkan.
Mudik (pulang ke kampung halaman) merupakan budaya yang juga hanya
terdapat di Indonesia saat hari Raya Idul Fitri berlangsung. Mereka yang
umumnya selama ini hidup di perantauan dan jauh dari sanak keluarga di
kampung halaman sangat menunggu waktu mudik ketika lebaran untuk bisa
merayakan megahnya hari kemenangan bersama seraya dapat saling
bersilaturahmi dengan seluruh handai tolan.
Jauh-jauh hari sebelum hari Raya Idul Fitri datang, gegap gempita
terkait mudiknya masyarakat Indonesia ke kampung halamannya
masing-masing sudah terasa. Seluruh media transportasi mulai diserbu
oleh masyarakat yang tidak ingin kehabisan tiket saat hendak mudik
lebaran, mulai dari kereta api yang menjadi sarana transportasi paling
merakyat, bus, kapal laut, hingga pesawat terbang tak luput dari serbuan
para pemudik. Perusahaan-perusahaan penyedia jasa mudik baik yang
dikelola swasta maupun negara, seketika juga menambah armadanya agar
dapat melayani semua calon pemudik dengan maksimal.
Ada satu perspektif yang mengakar dalam masyarakat Indonesia bahwa
lebaran dengan berkumpul bersama sanak keluarga akan terasa lebih afdol
dibandingkan jika berlebaran hanya dilakukan seorang diri atau dalam
komunitas yang lebih kecil, sehingga mudik menjadi satu momentum yang
seolah wajib dilakukan setiap tahunnya demi tercapainya keafdolan
berlebaran di kampung halaman.
Mudik yang dilakukan juga beragam caranya, mulai dari pulang secara
sendiri-sendiri maupun pulang kampung secara massal dengan harapan
kebersamaan selama perjalanan mudik dengan sesama perantau akan menambah
wadah silaturahami diantara semua insan manusia. Sungguh satu tradisi
yang sangat kental mengakar di tengah kehidupan umat Islam di Indonesia
meskipun kita barang kali tidak mengerti sejak kapan budaya yang
sesungguhnya tidak diatur dalam agama ini mulai dilakukan oleh
masyarakat Indonesia mengingat tidak ada negara lain yang melakukan hal
serupa meskipun memiliki banyak penduduk yang beragama Islam.
Ajang Pemanfaatan
Dalam suasana kemeriahan mudik pada saat lebaran ini, ada satu
kejanggalan yang kerap menjadi pertanyaan bagi kita semua terkait
perbaikan jalan lintas yang digunakan para pemudik untuk pulang ke
kampung halaman.
Setiap tahun menjelang Idul Fitri dan ketika hiruk pikuk mudik mulai
bergema, maka pemerintah juga mulai melakukan berbagai upaya untuk
memperbaiki jalan lintas agar dapat digunakan dengan baik selama
perjalanan mudik berlangsung. Pada dasarnya hal tersebut terlihat wajar
mengingat sudah sepatutnya pemerintah menyedikan infrastruktur bagi
warga negara dengan baik sehingga dapat digunakan secara maksimal.
Persoalan muncul manakala hal ini terus menerus dilakukan setiap
tahun tanpa ada henti-hentinya. Seakan menjadi agenda wajib layaknya
mudik lebaran, perbaikan jalan ini ternyata merupakan ajang mencari
makan bagi orang-orang yang kerap memanfaatkan berbagai situasi demi
terpenuhinya kas pribadi termasuk saat fenomena mudik berlangsung.
Betapa tidak, jika kita berfikir dengan akal sehat, perbaikan jalan
apabila dilakukan dengan maksimal dan menggunakan berbagai bahan yang
benar-benar sesuai kualitas agar dapat tahan lama, maka tidak perlu
mendapat perbaikan setiap tahunnya karena sudah dapat digunakan sesuai
standar operasional.
Tapi inilah Indonesia, dengan beragam keunikan dalam fenomena
sosialnya, masih banyak terdapat oknum-oknum rakus yang terus
memanfaatkan proyek perbaikan jalan dengan dalih optimalisasi
infrastruktur jalan raya saat mudik berlangsung. Butuh ketegasan dalam
hal ini agar proyek perbaikan jalan tidak menjadi ajang manfaat demi
mendulang keuntungan pribadi semata.
Alangkah lebih afdol segala bentuk sifat tamak dan rakus dapat lenyap
seiring datangnya hari kemenangan nanti, sebab semua akan terkesan
sia-sia ketika apa yang telah kita lakukan selama bulan suci Ramadhan
dalam rangka meningkatkan amal ibadah kepada Allah apabila sifat rakus
masih setia menempel pada diri.
Minal Aidin Wal Faidzin.***
Penulis adalah Staf Pusham Unimed dan Aktivis HMI
Artikel dimuat pada: 07 Aug 2013
0 comments:
Posting Komentar