Oleh: Eka Azwin Lubis.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa
unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat
pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya
selama memimpin negara dalam tempo lima tahun.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki
posisi yang kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya
relatif lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya
tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru
memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer
dalam menjalankan roda birokrasi dimana setiap kebijakan yang dibuat oleh
presiden sebagai pemangku kekuasaan negara dan pemerintahan, harus mendapat
restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Division of Power
(pembagian kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial
yang diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala
sistem parlementer.
Sehingga dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa
dalam pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung
oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah
cara yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam
mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Oleh sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang
diterapkan negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam
mengaktualisasikan kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang
bermunculan setiap kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi,
seperti yang akan terjadi pada tahun 2014 mendatang, dimana ada 10 partai
politik yang akan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Dari 10 parpol yang akan bersaing tersebut, belum berarti mereka pasti
memiliki hak mendapat jatah kursi di DPR RI. Hal ini dikarenakan penerapan
Parlemen Threshold yang mengharuskan setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara
nasional untuk berhak mendapat jatah kursi di DPR. Seperti pada pemilu tahun
2009 lalu, hanya Partai Demokrat (20,85%), Golkar (14,45 %), PDIP (14,03 %),
PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra (4,46 %), dan
Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR pusat untuk
periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain peserta pemilu 2004
yang mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi
di DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD
sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Menunggu
Korban Selanjutnya
PKS merupakan salah satu partai yang mendapat pukulan telak menjelang
pemilu 2014 mendatang, setelah Presidennya Lutfi Hasan Ishak tersandung kasus
korupsi daging sapi impor yang kemudian menyeret namanya menjadi tahanan
KPK.
Presiden PKS yang baru, Anis Matta mengungkapkan bahwa ada konspirasi
besar yang mengakibatkan pimpinan partai mereka menjadi korban kasus daging
sapi impor. Sama-sama kita ketahui bahwa PKS merupakan satu parpol koalisi yang
sering membuat manuver politik.
Kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun rupiah
merupakan manuver politik pertama yang dilakukan oleh partai tarbiyah tersebut.
PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi mendorong
terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana talangan
yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi
melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat
sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap
beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap
ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan
klimaks dalam penyelesaiannya.
Tidak berhenti sampai disitu sikap PKS yang berseberangan dengan
kebijakan pemerintah, Pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu April 2012 lalu, PKS juga merupakan
salah satu parpol yang menolak untuk mendukung kebijakan tidak populer
tersebut. Bahkan manakala beberapa parpol koalisi menolak kebijakan tersebut
dengan cara dan bahasa yang normatif sehingga harga BBM urung dinaikkan oleh
pemerintah namun berdampak pada munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang
menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan
berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah
diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan
pendukungnya, sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai yang
menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi lain menolak
dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan dengan tegas
mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai
partai berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka
ambil mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi
pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun
jatah kursi dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul
manuver politik yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri
yang dihuni oleh kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial yang
dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika yang
dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul
berbagai kebijakan PKS yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai
berkuasa, sempat memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu
koalisi kepada partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong
pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini merupakan partai oposisi, coba
kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan barisan pemerintah sembari
berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari koalisi. Silaturahmi politik
antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut segera digelar untuk
mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Menanggapi isu tersebut, Prabowo Subianto selaku ketua Partai Gerindra
segera menepis anggapan kalau partainya akan berkoalisi dengan Partai Demokrat
dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Menurutnya, ajakan partai
demokrat tidak sampai masuk dalam ranah koalisi partai, namun hanya sebatas
pada ajakan kerjasama parlementer saja. Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat
Partai Hanura Syarifuddin Sudding, menyatakan tidak tergiur dengan tawaran
partai Demokrat agar Hanura masuk kedalam koalisi.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh para penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang
bertujuan untuk menyejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan
yang mengacu pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap
kebijakan pemerintah. ***
Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed.
0 comments:
Posting Komentar