Rabu, 8 Mei 2013
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) menggagas satu Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Mereka beranggapan bahwa UU Nomor 8 tahun
1985 tentang Ormas yang selama ini berlaku sudah tidak lagi representatif
dengan dinamikan ormas yang ada saat ini.
Alasan-alasan yang mendasar dari
digagasnya RUU ini adalah tidak ada spesifikasi aturan yang jelas mengenai
sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas apabila melanggar aturan, selain
pembekuan dan pembubaran. Selain itu, ada tudingan bahwa terdapat beberapa
ormas yang selama ini justru menjadi wadah bernaungnya para teroris yang
senantiasa menyebar ancaman di Indonesia. Alasan lain dari DPR untuk menggagas
RUU ini adalah tidak adanya transparansi dari ormas didanai baik dari dalam
maupun luar negeri.
Sehingga melalui panitia khusus
(pansus) yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi RUU ini ke beberapa daerah
seperti Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, diharapkan anggota
DPR dapat menyusun satu landasan hukum yang lebih tegas dan spesifik tentang
ormas.
Namun, di sisi lain para penggiat ormas
justru menganggap gagasan tentang RUU Ormas ini sebagai satu bentuk pengekangan
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. RUU ini dikhawatirkan akan mengalami
tumpang tindih dengan aturan-aturan sejenis yang telah ada sebelumnya.
Apabila pemerintah butuh produk hukum
yang akurat untuk mengatur tentang permasalahan organisasi di Indonesia,
bukankah sudah ada UU Nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan dan staatblad tentang
perkumpulan. Jika yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya spesifikasi
sanksi bagi ormas yang melanggar aturan hukum, bukankah sudah ada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dengan tegas mengatur sanksi dari segala
bentuk pelanggaran oleh masyarakat.
Anggapan dari anggota DPR bahwa ormas
selama ini tidak transparan dalam hal keuangan dan yang lainnya, seharusnya ada
rujukan yang pas untuk mengatur hal itu yakni UU Nomor 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Jika benar, terbukti ada ormas yang menaungi para
teroris di Indonesia ada UU Nomor 15/2003 tentang Anti Terorisme yang menjadi
aturan rujukan.
Oleh sebab itu RUU tentang ormas ini
dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadi pemicu kerenggangan antara pemerintah
dengan ormas yang selama ini banyak membantu kinerja pemerintah dalam hal
membina kehidupan masyarakat meskipun tanpa harus mendapat kucuran dana dari
pemerintah.
Paranoid
tak Beralasan
Seperti diketahui, Indonesia merupakan
negara kesatuan yang memiliki berbagai latar belakang. Sudah lumrah jika banyak
persepsi yang muncul ditengah perbedaan tersebut. Namun, adakalanya masyarakat
Indonesia yang plural tadi disatukan dalam satu wadah yang merupakan arena
berserikat atau berkumpul untuk mencapai satu visi yang sama diantara sesama
anggota organisasi tersebut.
Banyak ormas muncul di Indonesia bahkan
jauh sebelum negara ini lahir. Tentu kita masih ingat Budi Utomo, organisasi
yang berdiri pada 1908 sebagai wadah bagi para pejuang Indonesia yang ingin
menggelorakan semangat kemerdekaan pada saat itu. Hingga kini hari lahirnya
Budi Utomo tetap diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain itu, ada
benyak organisasi di Indonesia baik yang bersifat keagamaan, kedaerahan, atau
bahkan kemahasiswaan yang kesemuanya merupakan wadah berkumpul bagi orang-orang
yang memiliki satu pemahaman dan tujuan yang sama.
Pada tahun 1928 yang merupakan momentum
dimana para pemuda yang tergabung dalam organisasi kedaerahannya seperti Jong
Celebes, Jong Java, Jong Minahasa, Jong Sumatra Bond, dan lain-lain, melakukan
satu pertemuan dan menghasilkan Sumpah Pemuda yang mengandung tiga poin penting
sebagai alat pemersatu bangsa yang saat itu masih terpecah belah. Ini merupakan
gambaran bagaimana ormas-ormas sudah muncul jauh sebelum negara ini merdeka dan
memberi dampak positif dalam membangun semangat kebangsaan. Ormas-ormas
tersebut selain bertujuan sebagai wadah berkumpul, namun juga memiliki peran
vital untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Seiring dengan kehidupan kemerdekaan,
semangat berorganisasi juga perlahan semakin berkembang ditengah masyarakat.
Banyak organisasi yang lahir pasca kemerdekaan. Tidak hanya organisasi yang
dibawah naungan pemerintah, namun organisasi non pemerintah juga subur
bermunculan dalam mewarnai kebebasan berserikat dan berkumpul yang sudah diatur
dalam pasal 28E ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Bahwa pasca kemerdekaan Indonesia
banyak ormas yang bermunculan di tengah masyarakat Indonesia, sehingga pada
tahun 1985 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. UU ini lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika
ormas dan merupakan salah satu acuan hukum yang dibuat pemerintah untuk
mengatur kehidupan berorganisasi di Indonesia.
Namun ada satu hal yang unik dalam UU
ini karena ada pasal yang mengatur masalah pembekuan dan pembubaran (13 dan 14)
sebuah organisasi oleh pemerintah apabila melanggar beberapa poin yang juga
diatur dalam pasal tersebut tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan
berimbang. Ini menjadi satu hal yang sangat rancu karena apabila ada sebuah
organisasi yang melanggar aturan dan dibubarkan oleh pemrintah, tidak ada
kesempatan bagi mereka untuk membela diri di depan hukum yang berlaku.
Kemelut tentang aturan hukum yang
mengatur tentang kehidupan berorganisasi di Indonesia diperparah dengan
munculnya wacana pembuatan RUU tentang ormas. Apakah pemerintah yakin setelah
RUU itu disahkan maka pengorganisiran massa akan lebih baik? Semoga aturan ini
tidak memperpanjang blunder yang kerap dilakukan oleh pemerintah dalam membuat
aturan hukum di republik ini. ***
Penulis adalah staf Pusat Studi HAM Unimed.
0 comments:
Posting Komentar