Negara Indonesia adalah negara
hukum. Bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tersebut merupakan
bukti bahwa Indonesia adalah negara yang senantiasa mengedepankan hukum yang
hanya berpihak pada kebenaran demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono senantiasa mengatakan Indonesia harus menjadikan hukum
sebagai panglima dalam menjalankan kehidupan bangsa disegala sektor agar
keadilan dapat dirasakan semua lapisan masyarakat. Hal ini seolah mempertegas
supremasi hukum di Indonesia, karena selain telah dijamin penegakannya oleh
dasar konstitusi negara tetapi juga disakralkan oleh pemimpin negeri untuk
dijadikan landasan dalam manivestasi keadilan yang hakiki.
Jika aplikasi berjalan lurus dengan teori maka bukan hal yang mustahil
butir ke lima Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa yang berbunyi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akan terwujud tanpa ada
diskriminatif dan nepotisme dalam pengamalannya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan beragam suku
bangsa, agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat.
Para pelopor bangsa Indonesia telah mampu untuk mempersatukan perbedaan itu
semua dengan satu tekat yakni persamaan derajad bagi semua bangsa Indonesia
dimata hukum dan mengedepankan keadilan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia
sehingga Indonesia menjadi negara kesatuan sesuai semboyan Bhineka Tunggal Ika,
dimana semua golongan yang ada menjadi satu kesatuan utuh dibawah naungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah wujud nyata yang dicita-citakan
oleh para pejuang negeri dengan harapan setiap perbedaan yang ada pasti dapat
disatukan dengan misi persatuan tanpa memandang kemajemukan yang ada sebagai
masalah yang dapat memunculkan sikap ketidakadilan antar satu golongan dengan
golongan lainnya yang dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan sesama anak
negeri.
Satu hal yang perlu dipahami adalah keadilan tidak akan terwujud tanpa
tegaknya hukum yang mengatur. Maka
seperti yang dijelaskan diatas Indonesia menegaskan bahwa negara ini berbentuk
negara hukum. Keadilanlah yang harus berada diatas segala – galanya dalam
menakhodai jalannya kehidupan bangsa yang diharapkan akan mewujudkan kejayaan
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masih Adakah Keadilan Itu ?
Mungkin agak aneh ketika kita mendengar bagaimana seorang Ibu yang sedang
mengandung dan akan segera melahirkan, lalu datang ke sebuah rumah sakit dengan
maksud untuk segera mendapat pertolongan, namun yang didapat bukannya
pertolongan dari seorang dokter atau bidan melainkan justru seorang petugas
rumah sakit yang menanyakan apakah ibu punya Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Hal tersebutlah yang
senantiasa terjadi menimpa rakyat kecil yang ingin mendapatkan hak atas
hidupnya yang telah diatur dalam UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, pada
pasal 15 ayat 1 yang menerangkan bahwa Dalam keadaan darurat sebagai upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan
medis tertentu. Yang dalam hal ini dimaksudkan bahwa keadaan tertentu tersebut
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli, sesuai penjelasan ayat 2b pasal 15 UU
tersebut.
Disini jelas bahwa yang berkewajiban untuk menyambut dan menangani sang ibu
hamil hanya tenaga kesehatan yang ahli, bukannya seorang petugas rumah sakit
yang menanyakan ada atau tidaknya Jamkesmas.
Hal ini merupakan satu
contoh betapa aplikasi dilapangan selalu berbanding terbalik dengan apa yang
menjadi teori dalam Undang – Undang atau bahkan UUD 1945 yang merupakan dasar
hukum untuk perwujudan keadilan di negara ini. Banyak lagi ketidak sesuaian
yang terjadi ditengah masyarakat yang terus mengancam eksistensi keadilan
dimata negara hukum.
Hal ini berbanding terbalik
dengan kehidupan yang dirasakan oleh anggota DPR yang katanya merupakan wakil
dari rakyat. Agaknya nama wakil rakyat tersebut hanya disandang dikala ada dana
yang diperuntukkan buat rakyat harus melalui persetujuan mereka sebagai
wakilnya, namun ketika ada boomerang nyata yang mengancam kehidupan orang yang
diwakilinya mereka seolah tuli dan buta untuk menanggapi hal tersebut.
Fasilitas yang diterima oleh anggota dewan yang terhormat sangat besar,
jika kita lihat pendapatan mereka yang duduk dikursi anggota DPR periode
2004-2011, untuk gaji pokok mereka pendapatan Rp 4.200.000/bulan, lalu ada
tunjangan Jabatan Rp 9.700.000/ bulan, Uang paket Rp 2.000.000/bulan, Beras Rp
30.090/jiwa/bulan, Keluarga: suami/istri (10% X Gaji pokok Rp 420. 000/bln), anak (25 X Gaji pokok
Rp 84.000/jiwa/bulan), Khusus pph, pasal 21 Rp 2.699.813. Belum lagi tunjangan
lain-lain seperti Tunjangan kehormatan Rp 3.720.000/ bulan, Komunikasi intensif
Rp 4.140.000/bulan, Bantuan langganan listrik dan telepon Rp 4.000. 000, Pansus
Rp 2.000.000/undang-undang per paket, Asisten anggota (1 orang Rp
2.250.000/bulan), dan Fasilitas kredit mobil Rp 70. 000.000/orang/per periode.
Itu semua belum termasuk biaya perjalanan, Rumah jabatan, dan Perawatan
kesehatan uang duka dan biaya pemakaman jika ada anggota keluarga mereka yang
meninggal.
Jumlah yang fantastis sekaligus
membuat miris jika melihat kinerja sebahagian dari mereka yang menciderai hati
para rakyat yang mengamanahkan jabatan tersebut kepada mereka. Budaya korupsi
berjamaah yang selalu melibatkan anggota dewan dan para sekutunya merupakan
cerminan betapa keadilan di negara hukum ini masih kerdil.
Kita bisa bayangkan bagaimana keadilan
dinegara ini sangat mahal harganya dan sangat susah dicari wujud nyatanya.
Sehingga tak kurang seorang tukang sampah rela menititkan air matanya melihat
kehidupan rekan se profesinya menjalani kehidupan yang menyedihkan karena
berada di negara yang tidak menghargai wujud keadilan kepada seluruh
rakyatnya.***
Penulis
adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed.
0 comments:
Posting Komentar