Oleh : Eka Azwin Lubis
(Staf Pusat
Studi HAM Unimed)
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat,
bersih, dan produktif. Jaminan hukum yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang No
7 tahun 2004 tengan Sumber Daya Air, merupakan suatu hak fundamental yang harus
dipenuhi oleh Negara kepada seluruh warga negara, mengingat begitu urgennya
kemanfaatan air dalam kehidupan manusia.
Indonesia merupakan negara yang terdiri
dari sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan
lautnya mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis
pantainya mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika
ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81%
dari luas keseluruhan (P. Ginting dkk, IPS-Geografi, hal.17).
Dari data
tersebut, maka Indonesia mendapat julukan sebagai negara maritim karena sebagian besar wilayahnya merupakan
perairan, sehingga hal yang wajar jika produk hukum tentang jaminan hak atas
air itu muncul dengan harapan tidak ada lagi permasalahan dalam pemenuhan hak
atas air bagi setiap warga negara.
Meski begitu, hingga saat ini kerap
kita dengan persoalan tentang pemenuhan
hak atas air yang belum dapat dipenuhi secara optimal oleh negara, sehingga menimbulkan
berbagai polemik di tengah kehidupan masyarakat.
Apabila curah hujan tinggi, dengan
seketika daratan kota-kota besar tanah air akan digenangi air yang tidak
memiliki tempat untuk bermuara. Banjir sangat akrab dengan kehidupan masyarakat
di kota, sehingga apabila musim hujan tiba, air seolah menjadi musuh paling
besar bagi mereka yang kerap dihantui bencana banjir.
Banjir yang menjadi agenda rutin yang
dihadapi oleh rakyat Indonesia ini juga membawa dampak yang dahsyat dalam
melumpuhkan berbagai aktivitas sosial masyarakat. Sudah menjadi ketentuan
dengan datangnya banjir maka roda ekonomi juga akan macet. Segala aspek dan
elemen kehidupan akan terkendala dengan datangnya banjir, sehingga tidak jarang
inflasi ekonomi terjadi akibat banjir. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan
waktu datang dan surutnya banjir secara pasti, yang jelas banjir yang
diakibatkan semakin sulitnya mencari tempat untuk mengalir dan bermuara air
serta semakin sedikitnya pohon yang mampu untuk menyerap air hujan, rutin
terjadi dan belum tau sampai kapan dapat teratasi.
Sebaliknya, apabila musim kemarau
datang, bencana kekeringan kerap melanda daerah-daerah di tanah air. Dampak
yang ditimbulkan dari bencana kekeringan ini tidak kalah hebat jika disbanding
dampak dari bencana banjir.
Jelas saja, apabila bencana kekeringan
melanda, maka sektor pertanian dengan seketika akan tersendat. Jika pertanian
tersendat akibat sulitnya mendapatkan air, efek terusan yang muncul adalah
naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok ditengah kehidupan masyarakat.
Meskipun masalah banjir dan kekeringan
ini telah berulang kali terjadi, namun hingga kini belum ada solusi kongkrit
dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah klasik yang seolah tidak
berkesudahan ini. Banyak solusi yang telah ditawarkan oleh pakar untuk
menyelesaikan masalah banjir di ibukota dan kekeringan di daerah, namun tetap
saja ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini menjadi kendala dari
terselesaikannya bancana yang diakibatkan oleh kelebihan dan kekurangan air
tersebut.
Krisis Air di Negara
Maritim
Dalam acara Forum Air Dunia
II (World Water Forum) di Den Haag (Maret, 2000) disebutkan bahwa Indonesia
termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025.
Penyebabnya antara lain kelemahan dalam pengelolaan air, seperti pemakaian air
yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi
ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam
menyediakan air.
Dari penjelasan tersebut,
dikhawatirkan sumber daya air secara kuantitatif akan semakin terbatas dan secara
kualitatif akan semakin menurun, sebab harus kita pahami, meskipun sumber daya
air merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, namun adakalanya
ketersediaan air tidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang
dibutuhkan. Banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya masalah ini, pertambahan
penduduk, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kebutuhan air baik jumlahnya
maupun kualitasnya.
Secara global,
Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Jacques Diouf
menyatakan bahwa saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih
dibandingkan dengan seabad silam, namun hal yang kontradiksi terjadi manakala
ketersediaan air justru mengalami penurunan. Akibatnya, terjadi kelangkaan air
yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan
kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan
yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan air telah berdampak
negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan, sebab tanpa akses air minum
yang higienis dikhawatirkan sekitar 3.800 anak meninggal tiap hari oleh
penyakit.
Bahkan satu
penelitian menyatakan penduduk Indonesia saat ini yang bisa mengakses air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk
Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada
82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara
kesehatan. Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia
lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia,
tingkat akses sumber air di pedesaan mencapai 94 persen. Di negara Indonesia
yang kaya sumber daya air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya
menyentuh level 69 persen, lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72
persen.
Pada akhir PJP
II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa
dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan
mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk
industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata
65% dan untuk produksi pangan naik 100%.
Pada tahun
2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378
miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air
tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan,
pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena
diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik.
Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun.
Di daerah
perkotaan seperti Jakarta, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas
air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan
langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang
sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi
permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per
orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari.