Setiap
orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma,
setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan
rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus
terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan
cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
Pasal 26 ayat 1 DUHAM PBB tahun 1948 tersebut merupakan landasan konstitusi
yang dipakai secara universal oleh semua bangsa di dunia untuk menjamin perwujudan
dan pelaksaan hak atas pendidikan bagi semua orang tanpa terkecuali. Karena
pendidikan merupakan salah satu hak mutlak yang harus dipenuhi oleh negara
terhadap seluruh rakyatnya sehingga diharapkan tercipta kehidupan berbangsa
yang cerdas lagi berpengetahuan.
Indonesia agaknya juga sadar akan hal
ini sehingga menjadikan pendidikan sebagai hal yang urgen dan perlu untuk
dipenuhi akan keberadaannya kepada seluruh rakyatnya. Selain telah meratifikasi
International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (ICESCR) kedalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang didalamnya mengatur hak atas
pendidikan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusi
bangsa, hak atas pendidikan juga diatur dan dijamin keberadaannya oleh negara
seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945.
Hal ini memperkuat
isi preambule UUD 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan bangsa
Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dengan kata lain
dapat diartikan bahwa hak akan pendidikan benar-benar dijamin keberadaanya secara
mutlak oleh negara sehingga tercapailah apa yang menjadi cita-cita bangsa
seperti yang tertuang dalam preambule dasar konstitusi negara tersebut.
Pemerintah
sebagai awak yang menakhodai jalannya negara memiliki andil yang sangat
signifikan atas terwujudnya pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang pendidikan yang menyatakan bahwa Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
Bukan hanya mereka yang berada
dikalangan menengah keatas saja yang berhak untuk mengenyam manisnya dunia
pendidikan, namun semua warga negara Indonesia juga berhak untuk merasakan nikmatnya
berpengetahuan dan menjadi orang yang berpendidikan. Tidak ada diskriminasi
akan pencapaian hak atas pendidikan sebagaimana yang tertulis diatas. Sebab
semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum untuk mendapat pendidikan
tanpa memandang strata sosial dan latar belakangnya karena negara dengan tegas
telah menjamin hal tersebut.
Oleh sebab itu, dalam konstitusi juga
dijelaskan bahwa negara menganggarkan dana
yang cukup besar pula untuk dunia pendidikan demi terpenuhinya hak atas
pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945
dijelaskan bahwa Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh
mengingat untuk menjamin terwujudnya hak atas
pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya memerlukan dana yang
sangat besar. Sehingga wajar jika negara memprioritaskan 20% dana APBN untuk
dunia pendidikan. Semua pihak agaknya merasa maklum dengan hal ini karena kita
semua menyadari memang sudah menjadi sesuatu yang lumrah bahwa negara
memerlukan dana yang besar untuk dikucurkan demi terpenuhinya salah satu tujuan
negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan cara memberikan pemenuhan hak
atas pendidikan secara merata.
Kaum Yang Terlupakan
Namun
cita-cita mulia negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara
menyeluruh tersebut agaknya belum dapat terealisasi dengan optimal. Terbukti
hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang berparadigma bahwa
pendidikan sebagai sesuatu yang hanya menjadi hak sebagian golongan saja.
Sementara sebagian lainnya masih merasa pendidikan bukanlah bagian dari hidup
mereka meskipun pemenuhannya telah dijamin oleh negara.
Salah satu contoh nyata adalah mereka
anak-anak yang masih berusia produktif yang harusnya berada dibangku sekolahan,
justru hidup seliweran dijalanan
untuk mencari makan. Mengamen, mengemis, bahkan mencopet, merupakan agenda
rutin yang harus mereka lalui untuk mengisi hari-harinya. Dunia pendidikan
seolah menjadi hal yang tabuh bagi mereka karena tidak adanya perhatian dari
pihak manapun termasuk pemerintah untuk memperkenalkan dunia yang seharusnya
mereka tempati diusia mereka yang relatif masih belia.
Tanggung jawab sosial dari pemerintah
akan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia seolah nihil jika kita melihat
banyaknya anak-anak negeri ini yang justru hidup dijalanan dan memilih untuk
mencari uang karena tidak adanya perhatian yang maksimal dari mereka yang
memiliki tanggung jawab akan pendidikan bagi anak-anak jalanan tersebut.
Dengan begini peran aktif dari
pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi anak jalanan ini sangat
dibutuhkan aplikasi realnya, karena kucuran anggaran yang cukup besar dari dana
APBN untuk dunia pendidikan tersebut jika dikelola dengan baik pasti akan
,mampu menjamin pemenuhan pendidikan bagi semua rakyat Indonesia yang berada
diusia 18 tahun kebawah yang merupakan usia produktif untuk mengenyam dunia
pendidikan.
Kucuran dana APBN yang sangat besar juga
ternyata belum mampu dikelola dengan baik dan maksimal oleh pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan hak atas pendidikan termasuk bagi anak-anak jalanan. Hidup
mereka ternyata belum dijamin oleh negara secara mutlak sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Sebab jangankan untuk mendapat kesejahteraan dan penghidupan yang layak, untuk
mendapat hak atas pendidikan yang telah diatur dalam DUHAM PBB sekalipun mereka
tidak mampu.
Sungguh hal yang ironis mengingat salah
satu tujuan negara yang terdapat dalam preambule UUD 1945 yang menjadi dasar
konstitusi Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi
satu mimpi yang utopis. Karena yang terjadi adalah pendidikan hanya menjadi hak
mereka yang memiliki uang dan mengenyampingkan hak mereka yang hidup dijalanan
dan tidak memiliki dana untuk membeli mahalnya ilmu yang ditawarkan dalam dunia
pendidikan.
Hanya waktu yang akan menjawab
pertanyaan klasik yang hingga kini belum jua menemui jawaban meskipun berbagai
aturan telah dibuat. Apakah semua itu hanya menjadi simbolis bagi negara ini
kepada dunia luar agar mengaggap bangsa kita merupakan bangsa yang menjamin
secara mutlak hak atas pendidikan walaupun realita yang terjadi ternyata sangat
memprihatinkan. Teori memang tak selamanya semanis realita.
Sumber : Bangka Pos, 26 Februari 2013
0 comments:
Posting Komentar