Pasca dikeluarkannya putusan MK mengenai penghapusan Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), maka tidak adalagi
sekolah-sekolah di Indonesia yang berhak mengenakan label RSBI baik
ditingkat Sekolah Daras (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Oleh: Eka Azwin Lubis
Penghapusan ini merupakan sinkronisasi dari dibatalkannya Pasal 50
ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal (UU Sisdiknas) yang menjadi dasar pelaksanaan RSBI. MK
menilai pasal ini tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti yang
dijelaskan ketua MK, Mahfud MD.
Sama-sama kita ketahui bahwa selama ini RSBI digadang-gadang sebagai
sekolah yang mampu menciptakan bibit-bibit muda berprestasi dengan
mengandalkan dukungan dari segala fasilitas sekolah yang jauh lebih baik
dibandingkan sekolah-sekolah umum lainnya. Ruang kelas berlantaikan
keramik serta didukung fasilitas AC disetiap ruangan serta dilengkapi
dengan Laptop di meja guru yang langsung dihubungkan dengan infocus guna
mempermudah guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa-siswi di RSBI
menjadi salah satu keunggulan fasilitas yang dimiliki oleh RSBI.
Namun persoalan lain muncul manakala sekolah yang mengenakan label
RSBI menerapkan aturan untuk memungut uang masuk yang relatif besar
kepada setiap calon peserta didiknya serta mematok uang SPP yang tinggi
sehingga hanya siswa dengan latar belakang berkecukupan saja dapat
bersekolah di RSBI serta menikmati fasilitas yang super ekstra tersebut.
Ada keterangan yang menyatakan bahwa RSBI tidak hanya diisi oleh
siswa dari kalangan ekonomi menengah keatas saja karena mereka
memberikan jatah 20% kepada siswa kurang mampu yang berprestasi untuk
bersekolah disana. Hal tersebut memang memiliki tujuan yang baik karena
memberikan kesempatan bagi generasi muda berprestasi namun memiliki
kekurangan dari segi materi untuk menimbah ilmu di sekolah yang didukung
fasilitias mewah sehingga memberikan kenyamanan bagi mereka untuk
menuntut ilmu. Namun tanpa disadari sistem yang diterapkan oleh RSBI
tersebut membuat 20% siswa dari latar belakang keluarga kurang mampu
tadi merasa minder dengan teman-teman satu sekolahnya yang pada umumnya
dilengkapi dengan aksesoris mewah seperti HP, Laptop, kendaraan, hingga
Pakaian yang otomatis sangat kentara perbedaanya.
Meskipun anak-anak berprestasi tadi berkesempatan mendapatkan ilmu
dengan fasilitas penunjang yang sama, namun mereka pasti merasa tertekan
dengan situasi yang ada dan secara tidak langsung menghakimi status
sosial yang mereka sandang dengan segala batasan yang ada. Inilah salah
satu alasan mengapa RSBI dianggap kurang efektif dalam penerapannya,
karena secara tidak langsung sudah mengadopsi pola diskriminasi dan
kastanisasi (penggolongan) di lingkup dunia pendidikan indonesia karena
hanya mereka dengan latar belakang ekonomi berkecukupan saja dapat
menikmati RSBI dengan segala fasilitasnya dan tidak merasa tertekan
karena gaya hidup yang diterapkan sekolah sesuai dengan kemampuan
ekonomi orang tua mereka.
Faktor lain yang menjadikan RSBI tidak efektif adalah persaingan mutu pendidikan yang sangat timpang antara sekolah umum baik itu negeri maupun swasta dengan RSBI yang mengadopsi kurikulum dari luar negeri dan menggunakan jasa guru-guru asing untuk menambah kualitas berbahasa asing siswa-siswi di RSBI karena adanya kemampuan sumber dana yang mereka miliki melalui pungutan-pungutan dari siswanya.
Faktor lain yang menjadikan RSBI tidak efektif adalah persaingan mutu pendidikan yang sangat timpang antara sekolah umum baik itu negeri maupun swasta dengan RSBI yang mengadopsi kurikulum dari luar negeri dan menggunakan jasa guru-guru asing untuk menambah kualitas berbahasa asing siswa-siswi di RSBI karena adanya kemampuan sumber dana yang mereka miliki melalui pungutan-pungutan dari siswanya.
Pada dasarnya, sistem pendidikan indonesia yang sentralistik membuat
hal tersebut menjadi sesuatu yang janggal karena adanya perbedaan yang
diterapkan dalam proses belajar mengajar sementara eksekusi final
mengenai proses kelulusan siswa masih ditentukan oleh pusat dengan
sistem yang sama.
Pendidikan Tanpa Diskriminasi
Dalam preambule UUD 1945 terdapat beberapa tujuan bangsa indonesia
yang salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan
kata lain dapat diartikan bahwa hak akan pendidikan benar-benar dijamin
keberadaanya secara mutlak oleh negara sehingga tercapailah apa yang
menjadi cita-cita bangsa seperti yang tertuang dalam preambule dasar
konstitusi negara ini. Hak atas pendidikan ini kembali diperkuat dalam
Pasal 31 UUD 1945. Tentu saja acuan hukum mengenai hak atas pendidikan
ini mengedepankan sistem pendidikan yang merata dan berimbang tanpa
adanya disikriminasi.
Dengan begitu tidak ada alasan bagi kita menjadikan pendidikan
sebagai wadah pengelompokan antara kaum borjuis dengan proletar
sebagaimana yang banyak terjadi dalam kehidupan bangsa ini. Pemerintah
sebagai awak yang menakhodai jalannya negara memiliki andil yang sangat
signifikan atas terwujudnya pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11 ayat 1
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang menyatakan
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dengan berbagai landasan hukum tentang substansifitas dari hak atas
pendidikan yang harus dijamin keberadaanya oleh negara tanpa adanya
diskriminasi tersebut, sudah seharusnya semua anak bangsa mendapatkan
kesempatan yang sama dalam mengenyam dunia pendidikan dengan fasilitas
dan sarana yang memadai demi menunjang peningkatan mutu dan kualitas
sumber daya manusia kita.
Bukan hanya mereka yang berada dikalangan menengah keatas saja yang
berhak untuk mengenyam manisnya dunia pendidikan, namun semua warga
negara Indonesia juga berhak untuk merasakan nikmatnya berpengetahuan
dan menjadi orang yang berpendidikan. Tidak ada diskriminasi akan
pencapaian hak atas pendidikan sebagaimana yang tertulis diatas. Sebab
semua orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum untuk mendapat
pendidikan tanpa memandang strata sosial dan latar belakang karena
negara dengan tegas telah menjamin hal tersebut.
Dalam konstitusi telah dijelaskan negara menganggarkan dana yang
cukup besar untuk dunia pendidikan demi terpenuhinya hak atas pendidikan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945
dijelaskan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat untuk menjamin
terwujudnya hak atas pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya
memerlukan dana yang sangat besar. Sehingga wajar jika negara
memprioritaskan 20% dana APBN untuk dunia pendidikan.
Namun sekali lagi melalui sokongan dana yang begitu besar, diharapkan
tidak adanya lagi pengkotak-kotakan dalam sistem pendidikan kita
sebagaimana yang selama ini telah terjadi. Sebab hak atas pendidikan
bersifat universal.
Penulis: Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
0 comments:
Posting Komentar