Oleh:
Eka Azwin Lubis.
Pada
era reformasi yang begitu mengagungkan demokrasi di segala sendi kehidupan
bangsa, ternyata masih ada hal urgen yang menggangu stabilitas dari kehidupan
berbangsa di Indonesia. Hal ini terlihat dari minimnya nilai toleransi
ditengah-tengah masyarakat Indonesia meskipun hak-hak mereka kini semakin
dijamin oleh hukum sehingga kebebasan setiap warga negara yang memangku
kedaulatan tertinggi negara benar-benar terimplementasi.
Harus
diakui secara jujur bahwa masyarakat kita saat ini masih mengalami krisis
toleransi antar sesamanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kemajemukan
seolah menjadi momok yang menakutkan dalam mengarungi kehidupan negara yang
katanya menjunjung tinggi semangat pluralisme ini. Perbedaan masih menjadi
propaganda paling laris di dalam kehidupan bangsa yang notabenenya terdiri dari
beragam suku, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat.
Mulai
dari konflik antar umat beragama, sengketa lahan, hingga sifat saling menyalahkan
yang saat ini begitu mendominasi sanubari rakyat Indonesia. Dominasi mayoritas
dan tirani minoritas begitu kentara dalam dinamika kehidupan bangsa. Padahal
salah satu semangat reformasi yang begitu diidamkan oleh seluruh bangsa ini
adalah hilangnya sikap diskriminasi yang begitu lama membelenggu kebebasan
rakyat.
Bukankah
ini merupakan bentuk kebebasan yang intoleran dalam mengaplikasikan makna
reformasi itu sendiri. Jika kita adil dalam berfikir, bukan hal yang berlebihan
jikalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang hipokrit dalam
mengimplementasikan cita-cita reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kebersamaan,
dan persaudaraan.
Jika
kita rekam jejak kebelakang, empat belas tahun sudah reformasi di Indonesia
terjadi. Semangat perubahan yang berorientasi pada jaminan kebebasan dan
kedaulatan rakyat secara mutlak menjadi cita-cita bersama yang diusung oleh
para pejuang reformasi dalam upaya menumbangkan rezim orde baru dibawah
pimpinan Presiden Soeharto.
Bukan
pekerjaan yang mudah bagi mereka yang ingin melepaskan republik ini dari
pengapnya kekuasaan otoriter dan mendambakan hidup dinegara yang menjamin
kebebasan dan hak-hak rakyatnya. Sebab rintangan yang mereka hadapi adalah
melawan rezim penguasa yang memiliki power luar biasa sehingga tidak tergoyahkan
sampai 32 tahun masa kepemimpinan.
Kebosanan
akan diskriminasi dan pengkerdilan demokrasi terjawab manakala rakyat secara
masif menyuarakan perlawanan atas sistem pemerintahan yang diterapkan oleh
Soeharto dan menuntut perubahan birokrasi yang lebih menjamin hak-hak warga
negara.
Tentu
masih segar dalam ingatan kita bagaimana tragedi trisakti, semanggi 1 dan
semanggi 2 yang memakan korban jiwa dan harta benda akibat bentrokan yang
terjadi antara demonstran dengan aparat keamanan yang berdalih ingin menjaga
stabilitas keamanan Negara hingga berakhir pada pendudukan secara paksa kantor
DPR/MPR oleh mahasiswa yang menjadi motor dari semua pergerakan melawan rezim
orde baru.
Memang
peristiwa-peristiwa itu bukanlah cerminan perjuangan untuk menumbangkan rezim
soeharto secara keseluruhan, namun setidaknya itu merupakan klimaks dari semua
pergerakan yang terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia yang pada akhrinya
benar-benar berhasil menumbangkan pemerintahan orde baru dan terciptanya era
reformasi.
Cita-cita Pejuang Reformasi
Cita-cita Pejuang Reformasi
Cita-cita
pejuang reformasi yang menginginkan jaminan akan kebebasan rakyat sebagai
pemangku kedaulatan tertinggi negara ini seakan menemui titik terang setelah
Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 secara resmi membacakan surat pengunduran
dirinya dan digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie.
Praktis
Indonesia pada saat itu menatap era baru dalam menaungi dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kebebasan rakyat yang selama masa orde baru sangat
dikekang oleh penguasa meskipun telah dijamin oleh konstitusi, mulai dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca reformasi.
Peraturan-peraturan
baru yang menjadi jaminan hukum bagi rakyat untuk mengekplorasi segala haknya
terus bermunculan pasca berjalannya era reformasi. Jika pada saat pemerintahan
Soeharto rakyat sangat dikekang dalam menyampaikan pendapatnya dimuka umum
sebagai upaya untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, reformasi justru menjamin
kebebasan tersebut dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
selama tidak melanggar norma-norma dan kaidah hukum yang berlaku. Ini merupakan
satu langkah awal yang memberi angin segar kepada masyarakat Indonesia untuk
merasakan kehidupan yang benar-benar berdemokrasi dan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.
Pers
yang merupakan lumbung informasi juga mendapatkan hak akan kebebasannya dalam
meliput, membuat, dan menyampaikan berita kepada masyarakat secara luas.
Kehidupan mereka yang pada zaman orde baru sangat akrab dengan berbagai
intervensi politik, saat ini seakan memasuki lembaran baru dalam menjalankan
tugas jurnalistik setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
Tentang Pers yang memberi kekuatan hukum dan menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan
tugas jurnalistik.
Selain
itu bobroknya pemerintahan orde baru yang diselimuti oleh hantu Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme karena minimnya pengawasan dan keterbukaan informasi yang
dilakukan oleh pemerintah, mulai ditata ulang pada zaman reformasi ini.
Transparansi dan akuntabilitas anggaran negara, kebijakan pemerintah, maupun
segala hal yang menyangkut nasib rakyat menjadi satu sorotan tajam yang
perlahan mulai diperbaiki oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor
14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang memberi ruang bagi
rakyat untuk dapat mengikuti secara langsung berbagai kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah.
Semua
itu dilakukan sebagai upaya untuk menerapkan kehidupan berdemokrasi yang
benar-benar berhaluan pada kedaulatan rakyat. Sampai-sampai presiden yang
merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang dulunya dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara pada saat
itu, kini pada era reformasi, dipilih langsung oleh seluruh rakyat Indonesia
yang telah memiliki hak pilih melalui pemilihan umum (Pemilu). Kebebasan rakyat
dalam menggapai semua haknya yang dahulu dikerdilkan oleh pemerintah, perlahan
mulai terealisasi oleh peraturan-peraturan baru yang dibuat.
Namun
seperti yang dijabarkan diatas, persoalan intoleransi yang kini muncul seiring
berjalannya kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dikhawatirkan akan menjadi bom
waktu yang siap membunuh kemapanan demokrasi kita secara perlahan. Bukan hal yang
mustahil jika tatanan demokrasi yang sudah dikonsep secara baik akan hilang
sia-sia karena tidak adanya lagi sikap saling menghargai dan menghormati antar
sesama pemangku kedaulatan republik ini.***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
0 comments:
Posting Komentar