Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tersebut tidak
hanya menjadi dasar hukum tentang kebebasan menyampaikan pendapat bagi rakyat
Indonesia, namun juga seolah menjadi alasan bagi setiap orang untuk merdeka
menggaungkan apapun yang ia inginkan kemuka umum baik itu berdampak positif
maupun negatif. Mereka tidak peduli dengan apa substansi disahkannya
Undang-Undang tersebut, namun yang lebih tampak adalah bagaimana mereka
berfikir bahwa dengan Undang-Undang tersebut hak untuk menyampaikan pendapat
dengan beragam cara dibenarkan karena landasan hukum dari Undang-Undang
tersebut tanpa pernah mengkaji tanggung jawab moral yang mereka emban melekat
sembari pendapat yang mereka lontarkan menjadi konsumsi publik.
Sehingga tidak jarang banyak rakyat Indonesia yang
kebablasan dalam mengimplementasikan hak berpendapat mereka yang sering
berujung pada terlanggarnya hak-hak orang lain akibat mereka yang dalam
menyampaikan pendapat dilakukan dengan cara-cara diluar koridor aturan yang
ada. Namun hal tersebut bagi sebahagian besar rakyat Indonesia seakan bukan hal
yang urgen untuk dikaji mengingat anggapan mereka bahwa Warga negara yang
menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk: mengeluarkan pikiran secara
bebas; memperoleh perlindungan hukum. Sesuai isi pasal 5 Undang-Undang
tersebut.
Padahal jika kita cermati, isi pasal 1 ayat 1 dalam
Undang-Undang tersebut diakhiri dengan tata cara atau ketentuan dalam
menyampaikan pendapat yang diatur oleh pasal-pasal berikutnya dalam
Undang-Undang tersebut. Namun bangsa kita seolah ternyamankan dengan
ketidaktahuannya atau sengaja menidaktaukan diri akan kaitan pasal-pasal
selanjutnya yang menjelaskan isi pasal 1 ayat 1 tersebut.
Seperti yang ditegaskan dalam pasal 6 Undang-Undang
No. 9 tahun 1998 tersebut yang menyatakan bahwa Warga negara yang menyampaikan
pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : menghormati
hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui
umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan
persatuan dan kesatuan bangsa.
Disitu dengan jelas dibuat
aturan bagaimana seharusnya cara warga negara dalam melaksanakan haknya yang
merdeka menyampaikan pendapat namun tetap dalam koridor aturan yang lebih
santun, tidak mengganggu hak orang lain, tetap dibawah naungan hukum yang ada,
serta yang terpenting adalah menjaga keutuhan bangsa. Bukankah dalam menggapai
hak diiringi oleh kewajiban yang berjalan berdampingan dengan hak tersebut.
Lalu bagaimanakah warga negara
Indonesia menjalankan hak berpendapatnya setelah ada jaminan hukum pasca
reformasi. Realita saat ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang belum
cukup dewasa untuk menerapkan kemerdekaan berpendapat yang diberikan oleh
negara untuk menjadi jaminan hukum bagi kita semua dalam menyalurkan aspirasi
kita secara langsung. Hal ini terbukti dari bagaimana bangsa kita yang telah
lama terkungkung dalam pengkerdilan berpendapat pada zaman Orde Baru karena
ditekan oleh pemerintah berkuasa pada saat itu, sehingga segala keluhan yang
ada dalam kehidupan masyarakat hanya menjadi konsumsi pribadi atau golongannya
saja tanpa bisa diketahui oleh dunia luas, seolah kini ingin melampiaskan semua
unek-unek yang ada pasca disahkannya aturan yang mengatur kemerdekaan
berpendapat dimuka umum tersebut saat ini.
Namun yang disayangkan adalah cara yang dilakukan
terkesan justru menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Bagaimana tidak, orang Indonesia yang terkenal santun dan lebih mengedepankan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah, kini menjadi lebih sporadis dalam
menuntut hak-haknya dalam menjalani kehidupan bernegara.
Kita jarang memikirkan bagaimana hak atau harga diri
orang lain yang tergadai akibat cara kita menyampaikan pendapat yang dilakukan
diluar norma-norma yang ada. Tidak ada lagi batasan bagi setiap orang yang
ingin melakukan aksi dalam konteks menyampaikan pendapatnya dimuka umum. Semua
seolah merdeka melakukan apa saja asalkan aspirasi mereka tersampaikan meskipun
dilakukan dengan cara-cara yang sangat jauh dari adat ketimuran yang senantiasa
dielu-elukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Semua Dianggap Sama
Pemerintah memang merupakan wakil dari rakyat yang
merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di Republik ini. Presidan, Wakil
Presiden, dan semua Anggota MPR baik dari DPR maupun DPD merupakan orang-orang
yang dipilih langsung oleh rakyat untuk diamanahkan menjadi wakil mereka dalam
menjalankan roda Birokrasi.
Tapi bukan berarti mereka adalah Manusia sempurna
yang tidak memiliki kesalahan dalam menjalankan tugasnya dan menyampaikan
aspirasi rakyatnya. Mereka juga bukan merupakan orang-orang yang apabila
melakukan kesalahan harus ditegur dengan berbagai caci maki dan sumpah serapah
dari rakyat yang telah memilih mereka.
Namun yang terjadi saat ini adalah bagaimana bangsa
kita senantiasa menyampaikan pendapatnya untuk mengkritisi kinerja oknum
pemerintah dengan cara-cara yang kurang etis. Kita paham bahwa pemerintah
sering melakukan penyimpangan dan kekeliruan dalam melaksanakan tugasnya.
Sehingga muncul kekesalan dan kekecewaan dari rakyat sehingga menimbulkan rasa
ingin mengkritisi kinerja yang mereka lakukan. Tapi kebebasan berpendapat yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mengkritisi pemerintah tidak jarang disalah artikan
sehingga hal-hal yang tidak wajar sering terjadi dalam aksi menyampaikan
pendapat yang dilakukan dengan beragam cara.
Kita sering menyaksikan Foto seorang Presiden yang
merupakan salah satu simbol negara dibakar dijalanan oleh para pendemonstran.
Belum lagi mereka yang tidak paham aturan dalam berpendapat melakukan hal yang
sebenarnya menciderai martabat bangsa sendiri, seperti menuliskan inisial
Presiden dibadan seekor Kerbau yang mereka bawa. Atau hal yang paling sering
adalah hujatan-hujatan kepada Presiden yang dituliskan diatas spanduk atau
kertas karton yang senantiasa menemani para pendemo yang ingin menyampaikan
pendapat atau keluhannya.
Bukankah hal-hal tersebut
menunjukkan bahwa bangsa kita belum cukup dewasa untuk merespon bagaimana cara
mengaplikasikan aturan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tersebut dalam
menyampaikan pendapatnya.
Agaknya bangsa kita yang mengaku
bangsa berketuhanan, berkemanusiaan, dan menjunjung tinggi moral dalam setiap
tindakannya, harus lebih introspeksi diri agar tidak menjadi bangsa yang
kehilangan identitasnya yang semakin hari makin terkikis sikap-sikap
kesantunannya.
Jika rakyat Indonesia sendiri
saja sudah menganggap sama rata semua martabat Pemimpinya, bukan hal yang
mustahil jika bangsa lain juga akan mengecilkan martabat para pemimpin kita
yang seyogyanya merupakan simbol dari bangsa Indonesia.***
Penulis adalah Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed
0 comments:
Posting Komentar