Oleh : Eka Azwin Lubis
Bukan sesuatu yang berlebihan apabila kita mempersoalkan
pernyataan diatas. Dalam beberapa pekan terakhir, beruntun kasus kekerasan
mewarnai perjalanan bangsa yang di bangun atas nama toleransi dalam keberagaman
ini. Kasus penyerangan lapas di cebongan oleh sekelompok orang tidak dikenal
yang mengakibatkan tewasnya empat orang tahanan, sontak menjadi berita hangat,
tidak hanya di dalam negeri namun juga di luar negeri. Hingga kini motif
pelaku penyerangan masih semu dan terus diselidiki oleh aparat penegak hukum.
Belum lagi kasus penyerangan lapas cebongan berhasil
diungkap, tragedi kekerasan kembali terjadi di tanah air. Konflik agraria yang
terjadi di kabupaten padang lawas, sumatera utara, berakhir dengan penembakan
beberapa orang masyarakat oleh aparat kepolisian. Masalah berawal saat
masyarakat bersengketa tanah dengan sesama masyarakat.
Masyarakat yang merasa haknya dirampas oleh lawan sengketa
mereka, melakukan unjuk rasa di kantor polsek barumun, padang lawas. Karena
tidak menemui kesepakatan, aksi saling dorong antara masyarakat dan polisi pun
tidak dapat dihindari dan membuat polisi berinisiatif untuk melepaskan beberapa
tembakan dan mengakibatkan beberapa warga cidera.
Belum genap satu minggu kasus ini terjadi, tindak kekerasan
kembali terulang di sumatera utara. Kali ini yang menjadi korban justru
kapolsek dolok pardamean kabupaten simalungun, AKP. Andar Siahaan. Beliau yang
saat itu melakukan penggrebekan rumah bandar judi togel bersama tiga orang
anggotanya, justru diteriaki maling oleh istri bandar togel tersebut.
Masyarakat sekitar yang mendengar teriakan istri tersangka,
seketika mendatangi korban dengan membawa berbagai senjata. Andar yang ingin
permasalahan tersebut diselesaikan dengan dialog agar tidak terjadi
kesalahpahaman antara polisi dan masyarakat, justru diserang secara membabi
buta oleh masyarakat yang mengakibatkan dirinya meninggal ditempat dengan
kondisi yang mengenaskan.
Begitu rancuhkan pemahaman bangsa ini terhadap nilai
kamanusiaan sehingga sangat mudah untuk terpancing isu profokatif yang
mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan. Semua pihak harus segera
mengintrospeksi diri terkait berbagai kasus kekerasan yang belakangan sangat
merejalela di negara ini.
Jangan jadikan polisi sebagai residu dalam berbagai
permasalahan yang ada di masyarakat, dan jangan jadikan masyarakat sebagai
korban kepentingan penguasa dalam menutupi bobroknya kinerja mereka dengan
menciptakan berbagai propaganda yang akhirnya memancing naluri masyarakat untuk
bertindak sesuaka hatinya.
Satu hal yang harus kita pahami bahwa bangsa ini adalah
bangsa yang majemuk dan harus komitmen untuk mengedepankan sikap toleransi
untuk merawat kerukunan antar sesama anak negeri. Jika kita sadari bahwa
kekerasan yang senantiasa akrab dilakukan untuk menjawab permasalah yang
dialami, kerap kali menimbulkan permasalahan baru dan tidak mengurangi masalah
yang ada sebelumnya. Indonesia harus tetap komitmen dengan budaya dialog, bukan
budaya kekerasan.