Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Kamis, 30 Mei 2013

Artis dan Narkoba (Opini Kendari Pos)



Kita semua tentu masih ingat kasus yang pernah menjerat pelawak Polo, Gogon, hingga penyanyi dangdut kawakan, Imam S Arifin. Mereka sempat terjerambab dalam lembah hitam narkoba yang mengantarkan mereka ke pengapnya jeruji besi penjara. Para artis yang memiliki segudang prestasi tersebut seakan lupa bahwa mereka selalu mendapat sorotan publik dimana dan kapanpun berada termasuk ketika mereka tersandung kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Nama besar yang selama ini meraka usahakan, seolah hancur seketika menyusul terungkapnya perbuatan kotor mereka yang akrab dengan narkoba.
Faktor limpahan materi agaknya menjadi penyebab mereka untuk mencoba terjun ke dunia hitam yang tanpa disadari akan merampas populariotasnya. Tidak hanya kalangan artis yang senantiasa terlibat dalam penggunaan narkoba, bahkan keluarga pesohor republik ini juga kerap menggunakan narkoba. Satu contoh adalah Raka Widyarma yang merupakan anak dari aktor sekaligus wakil gubernur banten, Rano Karno yang tertangkap polisi saat memesan lima butir ekstasi via online dari Malaysia.
Belakangan kasus tentang keterlibatan artis dalam penggunaan narkoba kembali muncul pasca ditangkapnya Raffi Ahmad bersama 17 temannya termasuk pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar serta artis senior Wanda Hamidah, saat melakukan pesta narkoba di rumah miliknya. Kejadian ini kembali mempertegas bahwa nama besar dan limpaham materi yang mereka menjadikan mereka akrab dengan barang haram tersebut.
Indonesia sendiri merupakan negara yang manjadikan Narkoba sebagai barang yang ilegal dan tidak dibenarkan untuk beredar di negara ini. Sehingga bagi siapa saja baik itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang kedapatan berhubungan dengan narkoba baik itu pengguna, pengedar, atau bahkan hanya sekedar kurir diwilayah hukum Indonesia, maka pihak kepolisian akan segera menindak tegas mereka tanpa memandang latar belakangnya.
Namun meskipun tindakan tegas telah dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya pemberantasan narkoba di Indonesia tetap saja peredaran narkoba masih merajalela dinegeri ini. Terlihat dari jumlah pecandunya di Indonesia yang makin tahun semakin meningkat. Yang menjadi sasaran dari kejahatan narkoba tidak hanya mereka yang memiliki uang banyak, melainkan hampir semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda, dari yang kaya sampai yang hidup pas – pasan, hingga mereka yang berpendidikan sampai yang buta akan ilmu pengetahuan ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
Untuk kaum muda yang merupakan pemangku peredaban masa depan dan sedang menempuh jenjang pendidikan saja, jumlah mereka yang akrab dengan narkoba sangat memprihatinkan. Bayangkan saja hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa di Indonesia atau sekitar 921.695 orang. Angka ini tentu saja tidak bisa ditolerir lagi. Sebab seandainya hal ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia kedepannya akan menjadi negara yang berpredikat sebagai surga narkoba dunia.
Menurut Kabid Pembinaan dan Pencegahan Badan Narkotika Provinsi Sumatera Utara, Arifin Sianipar, dari jumlah tersebut, 61 persen diantaranya menggunakan narkoba jenis analgesic dan 39 persen jenis ganja, amphetamine, ekstasi dan lem. Hal tersebut mempertegas indikasi bahwa narkoba tidak hanya digunakan oleh kaum proletar yang memiliki dana besar untuk mendapatkannya. Sebab bagi seorang siswa SMP sekalipun untuk membeli sekaleng lem cukup dengan menyisihkan uang jajan yang diberikan orang tuanya.
 Generasi muda yang merupakan generasi produktif merupakan sasaran empuk bagi penyebaran narkoba di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan Jumlah pengguna narkoba terbanyak adalah mereka yang berada pada usia 20 hingga 34 tahun. Sedangkan jenis narkoba yang paling banyak digunakan oleh pecandunya yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi adalah jenis heroin yang mencapai 10.768 orang, lalu mereka yang menggunakan ganja yang mencapai  1.774 orang dan sabu-sabu sebanyak 984 orang.
Para pecandu narkoba umumnya cenderung menutup diri atau tidak terbuka dengan orang lain tentang apa kegiatan negatif yang mereka lakukan. Praktis hanya sebagian kecil yang berani untuk menyatakan dirinya sebagai pengguna narkoba dan berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya akan obat–obat terlarang tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah pecandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tahun 2010 hanya 17.734 orang. Ini menunjukan bahwa betapa minimnya niat para pecandu narkoba untuk mengakhiri penggunaan narkoba dalam hidup mereka.
Padahal jumlah pengguna narkoba di Indonesia menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) mencapai 3,2 juta orang atau 1,5 % dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8.000 orang menggunakan narkoba dengan alat bantu berupa jarum suntik, yang berakibat 60 persen pecandu dengan alat bentu tersebut terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain. BNN menambahkan ada beberapa langkah yang perlu dilakukan guna mencegah maraknya peredaran narkoba, yakni pencegahan dengan cara melakukan sosialisasi secara intensif akan bahaya narkoba, penindakan bagi yang terbukti menjadi pengedar dan pengguna, serta rehabilitasi dan pendampingan terhadap pengguna narkoba.
Indonesia Lahan Subur Peredaran Narkoba
Berdasarkan data dari BNN, peredaran narkoba di Indonesia memiliki nilai yang fantastis sehingga menjadi daya tarik besar buat para pemainnya. Pada periode Januari sampai November 2011 saja peredaran narkoba mencapai 28 Milyar Rupiah lebih, tapi nilai ini hanyalah sebagian kecil dari peredaran sesungguhnya di Indonesia. Selain itu perbandingan harga narkoba di Indonesia dengan diluar negeri sangat jauh berbeda. Salah satu contohnya adalah narkoba favorit di kalangan para pemakainya adalah shabu-shabu, di Malaysia di bandrol 300.000 Rupiah tapi di sini bisa berharga sampai Rp. 2 Milyar lebih.
Cara yang dilakukan oleh pengedar narkoba ini seolah juga tidak ada habisnya. Belakangan ada hal baru yang mulai terungkap oleh aparat kepolisian tentang cara transaksi narkoba dari luar negeri. Internet yang selama ini akrab dengan kehidupan kaula muda perlahan mulai dimanfaatkan untuk media transaksi narkoba.
Menurut Kepala Humas BNN Kombes Polisi Sumirat Dwiyanto, sejak awal Februari 2012 lalu dalam pertemuan internasional yang dihadiri BNN, sudah dibahas mengenai kemungkinan digunakannya media online untuk transaksi narkoba di Indonesia. Melalui intelejen BNN, disimpulkan bahwa pengedar narkoba internasional via internet biasanya kerap menggunakan kode atau sandi tertentu untuk melakukan transaksi. 
Pemerintah harus lebih pro aktif dalam memberantas peredaran Narkoba di Indonesia, sebab perlahan cara yang digunakan oleh para pengedar narkoba juga semakin canggih dan terorganisir. Oleh sebab itu peran aktif pemerintah dan petugas yang berwenang harus lebih ditingkatkan demi memelihara kondusifitas anak bangsa agar tidak terkontaminasi narkotika.

Selasa, 14 Mei 2013

Hadapi Pemilu dengan Fair Play (Opini Analisa)


Oleh: Eka Azwin Lubis.


Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensial memiliki beberapa unsur yang antara lain presiden merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi untuk mengangkat pejabat pemerintahan yang kemudian disebut menteri untuk membantu kinerjanya selama memimpin negara dalam tempo lima tahun. 
Dalam pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden memiliki posisi yang kuat sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan meskipun partai pengusungnya relatif lemah karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dimana kebijakannya tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk legislatif.
Indonesia yang konon menerapkan sistem pemerintahan presidensial justru memiliki Parlemen (DPR) yang juga memiliki peran sentral ala sistem parlementer dalam menjalankan roda birokrasi dimana setiap kebijakan yang dibuat oleh presiden sebagai pemangku kekuasaan negara dan pemerintahan, harus mendapat restu dari DPR. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Division of Power (pembagian kekuasaan). Aneh memang melihat sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan oleh Indonesia namun juga mengadopsi gaya pemerintahan ala sistem parlementer. 
Sehingga dalam menjalankan kinerjanya sehari-hari presiden harus senantiasa dalam pengawasan DPR yang merupakan dewan parlemen dan juga dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti lima tahun dalam satu periode. Begitulah cara yang dipakai oleh pemerintah untuk menakhodai jalannya negara ini dalam mencapai substansi dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia. 
Oleh sebab itu Indonesia menerapkan sistem multipartai seperti yang diterapkan negara dengan sistem pemerintahan parlementer dalam mengaktualisasikan kehidupan berdemokrasi. Sehingga banyak partai politik yang bermunculan setiap kali musim pemilu hendak digelar terutama pasca reformasi, seperti yang akan terjadi pada tahun 2014 mendatang, dimana ada 10 partai politik yang akan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. 
Dari 10 parpol yang akan bersaing tersebut, belum berarti mereka pasti memiliki hak mendapat jatah kursi di DPR RI. Hal ini dikarenakan penerapan Parlemen Threshold yang mengharuskan setiap partai wajib mendapat 2,5 % suara nasional untuk berhak mendapat jatah kursi di DPR. Seperti pada pemilu tahun 2009 lalu, hanya Partai Demokrat (20,85%), Golkar (14,45 %), PDIP (14,03 %), PKS (7,88 %), PAN (6,01 %), PPP (5,32 %), PKB (4,94 %), Gerindra (4,46 %), dan Hanura (3,77 %) saja yang berhak mendapat jatah kursi di DPR pusat untuk periode pemerintahan 2009/2014. Sementara 35 parpol lain peserta pemilu 2004 yang mendapat suara kurang dari ketetapan harus tersingkir dari perebutan kursi di DPR pusat meskipun masih berhak untuk bersaing mendapat jatah kursi di DPRD sesuai suara yang kader mereka peroleh.
Menunggu Korban Selanjutnya
PKS merupakan salah satu partai yang mendapat pukulan telak menjelang pemilu 2014 mendatang, setelah Presidennya Lutfi Hasan Ishak tersandung kasus korupsi daging sapi impor yang kemudian menyeret namanya menjadi tahanan KPK. 
Presiden PKS yang baru, Anis Matta mengungkapkan bahwa ada konspirasi besar yang mengakibatkan pimpinan partai mereka menjadi korban kasus daging sapi impor. Sama-sama kita ketahui bahwa PKS merupakan satu parpol koalisi yang sering membuat manuver politik.
Kasus Bailout Bank Century yang merugikan negara 5,86 triliun rupiah merupakan manuver politik pertama yang dilakukan oleh partai tarbiyah tersebut. PKS bersama Golkar dan PPP yang merupakan partai komposisi koalisi mendorong terbentuknya Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki aliran dana talangan yang dikucurkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang terindikasi melibatkan beberapa pejabat pemerintah termasuk Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan. Sikap beberapa partai koalisi ini tentu membuat pemerintah gerah karena dianggap ingin menjatuhkan pemerintah meskipun pada akhirnya kasus ini tidak menemukan klimaks dalam penyelesaiannya.
Tidak berhenti sampai disitu sikap PKS yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah, Pada saat ada wacana kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per satu April 2012 lalu, PKS juga merupakan salah satu parpol yang menolak untuk mendukung kebijakan tidak populer tersebut. Bahkan manakala beberapa parpol koalisi menolak kebijakan tersebut dengan cara dan bahasa yang normatif sehingga harga BBM urung dinaikkan oleh pemerintah namun berdampak pada munculnya pasal 7 ayat 6a UU APBNP 2012 yang menyatakan dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya, sekali lagi PKS membuat keputusan kontroversi sebagai partai yang menolak munculnya pasal siluman tersebut. Disaat partai koalisi lain menolak dengan bahasa yang normatif, mereka justru melakukan penolakan dengan tegas mengenai kenaikan harga BBM dan munculnya pasal tambahan tersebut.
Tentu keputusan ini semakin membuat pemerintah terutama Demokrat sebagai partai berkuasa kebakaran jenggot, karena berulang kali kebijakan yang mereka ambil mendapat perlawanan dari sesama penghuni koalisi yang seharusnya menjadi pendukung setiap kebijakan pemerintah.
PKS sendiri merasa konsisten dengan kaputusan yang mereka buat meskipun jatah kursi dikabinet yang mereka punya akan terancam di reshuffle menyusul manuver politik yang mereka lakukan. Praktis saat ini ada 3 jabatan menteri yang dihuni oleh kader-kader partai tarbiah tersebut yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Salim Segaf al Jufrie, Menteri Komunikasi dan Informatika yang dijabat Tifatul Sembiring, dan Menteri Pertanian yang dijabat Suswono.
Menyusul berbagai kebijakan PKS yang berlawanan dengan pemerintah, Demokrat selaku partai berkuasa, sempat memberi semacam teguran kepada PKS dan kembali membuka pintu koalisi kepada partai-partai oposisi untuk merapatkan diri kegerbong pemerintah.
Hanura dan Gerindra yang selama ini merupakan partai oposisi, coba kembali dirangkul oleh pemerintah untuk menguatkan barisan pemerintah sembari berjaga-jaga apabila PKS benar-benar keluar dari koalisi. Silaturahmi politik antara Demokrat dan kedua partai oposisi tersebut segera digelar untuk mempererat hubungan partai yang selama ini agak renggang.
Menanggapi isu tersebut, Prabowo Subianto selaku ketua Partai Gerindra segera menepis anggapan kalau partainya akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan masuk kedalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Menurutnya, ajakan partai demokrat tidak sampai masuk dalam ranah koalisi partai, namun hanya sebatas pada ajakan kerjasama parlementer saja. Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura Syarifuddin Sudding, menyatakan tidak tergiur dengan tawaran partai Demokrat agar Hanura masuk kedalam koalisi.
Hal ini semakin mempertegas bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para penguasa bukanlah sistem yang mengacu pada kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk menyejahterakan hidup rakyat, namun lebih pada pemerintahan yang mengacu pada kuatnya komposisi koalisi demi tujuan kelanggengan setiap kebijakan pemerintah. ***

Penulis adalah Staf Pusat Studi HAM Unimed.

Kamis, 09 Mei 2013

Apresiasi Muncul Karena Keteladanan (Opini Galamedia)


Oleh : EKA AZWIN LUBIS
MICHAEL Hart pernah merilis satu buku berisi tentang tokoh-tokoh paling berpengaruh yang pernah ada dalam peradaban dunia ini. Dalam buku tersebut, nama nabi besar Muhammad SAW menempati urutan pertama sebagai tokoh yang paling populaer dan berpengaruh paling besar dalam sejarah hidup manusia.
Tentu buku tersebut dibuat bukan tanpa hasil penelitian yang asal-asalan. Penulis buku tersebut telah terlebih dahulu me­ngum­pulkan informasi dan data yang sangat akurat mengenai sosok-sosok para tokoh yang akan dimasukannya kedalam buku­nya. Peringkat dua dan tiga dalam buku tersebut menempatkan nama Sir Issac Newton dan Isa Almasih (Yesus Kristus) sebagai tokoh yang juga memiliki andil besar terhadap peradab­an dunia.
Hasil dari kesimpulan buku tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan. Memang sewajarnya nabi besar Muhammad mendapat apresiasi yang cukup tinggi oleh setiap manusia yang ada di dunia ini, karena mampu membawa suatu perubahan yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan masyarakat jahiliyah di Arab. Nabi Muhammad SAW membawa konsep masyarakat madani dengan konsep islam yang rahmatan lil alamin, yang kini justru tidak hanya dirasakan oleh mereka yang berada di jazirah arab namun juga semua manusia di seluruh penjuru dunia.
Suka atau tidak suka, kita harus berani jujur untuk mengatakan, beliau sebagai sosok pemimpin yang tidak hanya ber­juang untuk menyebarkan agama Islam dan memberi perubahan dalam kehidupan masyarakat yang gelap tanpa aturan. Nabi Muhammad SAW juga membawa pengaruh yang beliau berikan ke­pa­da dunia, tidak hanya dirasakan oleh umat Islam semata yang menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam kehidupan, namun semua umat manusia terlepas da­ri apapun golongan dan agamanya. Ba­nyak orang non muslim yang berani jujur mengungkapkan bahwa beliau memang sosok pemimpin yang berkharisma serta menghargai sesama pemeluk agama diluar Islam.
Rasul tidak pernah memerintahkan kaumnya untuk memerangi orang kafir yang tidak memerangi mereka. Rasul justru melarang umat Islam untuk membunuh musuh yang sudah tidak bersenjata, perempuan, orang jompo, maupun anak-anak. Sifat ksatria rasul yang seperti inilah yang kemudian menjadi alasan umat agama lain untuk mengangumi beliau sebagai seorang panglima perang yang memiliki jiwa ksatria.
Banyak pemikir-pemikir hebat di dunia ini yang terisnpirasi oleh kehidupan dan perangai seorang Muhammad SAW. Mereka menjadikannya sebagai anutan dalam mendalami bidang ilmunya masing-masing, meskipun sebagian dari mereka masih segan untuk memeluk agama yang dibawa oleh rasul penutup tersebut.
Layaknya kata pepatah, semakin tinggi pohon tumbuh semakin kencang pula angin yang menerpanya. Begitu juga yang dialami oleh sosok Rasullulah Muhammad dewasa ini. Melihat begitu agungnya beliau baik di mata umat Islam maupun umat agama lain, ada beberapa kelompok ekstremis yang coba untuk mencari popularitas dengan cara membuat berbagai karya yang tujuannya untuk menghina Nabi Muhammad.
Tentu kita pernah mendengar nama Salman Rushdie yang sempat menggem­­parkan dunia karena membuat novel berjudul Satanic Verses (ayat-ayat setan). Novel ini berisikan fitnah terha­dap Nabi Muhammad yang diceritakan sebagai seorang pedofil, diktator bernafsu besar, serta memiliki ambisi kekuasaan yang selangit. Keputusan berani Rushdie ini harus dia bayar mahal karena hingga kini ia harus hidup secara nomaden dan tersembunyi. Sangat banyak ancaman yang dia terima apalagi menyusul di­keluarkannya fatwa mati oleh Ruhullah Khomeini yang merupakan pemimpin revolusi Islam, Iran terhadap dirinya.
Rushdie agaknya tidak ingin dirinya bernasib sama dengan sutra­dara kontroversi asal Belanda, Theo van Gogh yang harus menerima ajalnya setelah seorang remaja menembak kepalanya saat ia bersepeda pagi di jalanan kota Amsterdam. Remaja tersebut terbakar hatinya melihat film yang diproduksi oleh Gogh pada tahun 2004 berjudul Submission. Film ini, menceritakan kehidupan pe­rem­­puan Islam yang tertindas, terhina, dan terkadang mendapat perlakuan tidak manusiawi.
Dalam pembuatan film berdurasi pendek tersebut, Gogh dibantu oleh seorang imigran asal Somalia yang lari dari negaranya karena frustasi akibat memiliki keluarga yang berantakan. Imigran bernama Ayaan Hirsi Ali itu kemudian murtad setelah tinggal di Belanda.
Kisah fitnah yang dilancarkan kepada Nabi Muhammad tidak berhenti sampai di situ. Masih di negeri kincir angin Belanda, kali ini pelakunya merupakan salah seorang anggota parlemen Belanda bernama Geert Wilders yang kembali mengguncang dunia dengan film kontroversi yang ia buat pada tahun 2007 dan diunggah ke situs Youtube sehingga da­pat diakses oleh orang di seluruh dunia.
Film berdurasi 17 menit ini berisikan potongan-potongan video serta gunting­an-guntingan koran yang menggambar­kan Nabi Muhammad SAW, sebagai sosok yang beringas karena mengenakan serban yang siap diledakan. Film yang mengundang protes dari seluruh dunia tersebut dibuat dengan mengutip gambar-gambar karikatur Nabi, yang sempat di­muat oleh sebuah Koran di Denmark yang bernama Jyllands-Posten pada September 2005.
Wilders mungkin merasa tidak bersa­lah atas perbuatan yang menyinggung hati umat muslim di seluruh dunia tersebut. Namun ia harus menyadari bahwa akibat perbuatannya tersebut, seluruh keduataan besar maupun hal-hal yang berkaitan dengan Belanda di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim merasakan dampak yang luar biasa akibat protes yang dilancarkan oleh para demonstran.
Agaknya fitnah yang dilancarkan terhadap Nabi Muhammad SAW. Nabi digambarkan belum akan berhenti. Terbukti sekarang dunia kembali dikejutkan dengan dirilisnya sebuah film kacangan berdurasi 13 menit yang menceritakan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai seseorang yang ortodoks dan sa­ngat menggilai perempuan serta berda­rah panas. Film yang berjudul "Innocence of Muslim" tersebut diproduksi di Amerika Serikat oleh seseorang yang tidak jelas identitasnya dan mengaku bernama Sam ­Baccile.
Sama dengan fitnah-fitnah sebelumnya yang dilakukan oleh orang-orang yang berfikir fallacy. Kali ini fitnah mela­lui film kacangan tersebut juga menda­pat protes yang cukup keras dari seluruh umat Islam di dunia. Bahkan duta besar Amerika Serikat untuk Libya, harus te­was ditangan sekelompok orang yang marah dengan pembuatan film yang sangat menghinakan junjung­an umat islam tersebut.

(Penulis, Staf Pusat Studi HAM Unimed)**

Rabu, 08 Mei 2013

Ambiguitas RUU Ormas (Opini Suara Karya)

Oleh Eka Azwin Lubis
Rabu, 8 Mei 2013

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggagas satu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan. Mereka beranggapan bahwa UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas yang selama ini berlaku sudah tidak lagi representatif dengan dinamikan ormas yang ada saat ini.
Alasan-alasan yang mendasar dari digagasnya RUU ini adalah tidak ada spesifikasi aturan yang jelas mengenai sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas apabila melanggar aturan, selain pembekuan dan pembubaran. Selain itu, ada tudingan bahwa terdapat beberapa ormas yang selama ini justru menjadi wadah bernaungnya para teroris yang senantiasa menyebar ancaman di Indonesia. Alasan lain dari DPR untuk menggagas RUU ini adalah tidak adanya transparansi dari ormas didanai baik dari dalam maupun luar negeri.
Sehingga melalui panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi RUU ini ke beberapa daerah seperti Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, diharapkan anggota DPR dapat menyusun satu landasan hukum yang lebih tegas dan spesifik tentang ormas.
Namun, di sisi lain para penggiat ormas justru menganggap gagasan tentang RUU Ormas ini sebagai satu bentuk pengekangan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. RUU ini dikhawatirkan akan mengalami tumpang tindih dengan aturan-aturan sejenis yang telah ada sebelumnya.
Apabila pemerintah butuh produk hukum yang akurat untuk mengatur tentang permasalahan organisasi di Indonesia, bukankah sudah ada UU Nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan dan staatblad tentang perkumpulan. Jika yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya spesifikasi sanksi bagi ormas yang melanggar aturan hukum, bukankah sudah ada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dengan tegas mengatur sanksi dari segala bentuk pelanggaran oleh masyarakat.
Anggapan dari anggota DPR bahwa ormas selama ini tidak transparan dalam hal keuangan dan yang lainnya, seharusnya ada rujukan yang pas untuk mengatur hal itu yakni UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika benar, terbukti ada ormas yang menaungi para teroris di Indonesia ada UU Nomor 15/2003 tentang Anti Terorisme yang menjadi aturan rujukan.
Oleh sebab itu RUU tentang ormas ini dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadi pemicu kerenggangan antara pemerintah dengan ormas yang selama ini banyak membantu kinerja pemerintah dalam hal membina kehidupan masyarakat meskipun tanpa harus mendapat kucuran dana dari pemerintah.
Paranoid tak Beralasan
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki berbagai latar belakang. Sudah lumrah jika banyak persepsi yang muncul ditengah perbedaan tersebut. Namun, adakalanya masyarakat Indonesia yang plural tadi disatukan dalam satu wadah yang merupakan arena berserikat atau berkumpul untuk mencapai satu visi yang sama diantara sesama anggota organisasi tersebut.
Banyak ormas muncul di Indonesia bahkan jauh sebelum negara ini lahir. Tentu kita masih ingat Budi Utomo, organisasi yang berdiri pada 1908 sebagai wadah bagi para pejuang Indonesia yang ingin menggelorakan semangat kemerdekaan pada saat itu. Hingga kini hari lahirnya Budi Utomo tetap diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selain itu, ada benyak organisasi di Indonesia baik yang bersifat keagamaan, kedaerahan, atau bahkan kemahasiswaan yang kesemuanya merupakan wadah berkumpul bagi orang-orang yang memiliki satu pemahaman dan tujuan yang sama.
Pada tahun 1928 yang merupakan momentum dimana para pemuda yang tergabung dalam organisasi kedaerahannya seperti Jong Celebes, Jong Java, Jong Minahasa, Jong Sumatra Bond, dan lain-lain, melakukan satu pertemuan dan menghasilkan Sumpah Pemuda yang mengandung tiga poin penting sebagai alat pemersatu bangsa yang saat itu masih terpecah belah. Ini merupakan gambaran bagaimana ormas-ormas sudah muncul jauh sebelum negara ini merdeka dan memberi dampak positif dalam membangun semangat kebangsaan. Ormas-ormas tersebut selain bertujuan sebagai wadah berkumpul, namun juga memiliki peran vital untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Seiring dengan kehidupan kemerdekaan, semangat berorganisasi juga perlahan semakin berkembang ditengah masyarakat. Banyak organisasi yang lahir pasca kemerdekaan. Tidak hanya organisasi yang dibawah naungan pemerintah, namun organisasi non pemerintah juga subur bermunculan dalam mewarnai kebebasan berserikat dan berkumpul yang sudah diatur dalam pasal 28E ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Bahwa pasca kemerdekaan Indonesia banyak ormas yang bermunculan di tengah masyarakat Indonesia, sehingga pada tahun 1985 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika ormas dan merupakan salah satu acuan hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatur kehidupan berorganisasi di Indonesia.
Namun ada satu hal yang unik dalam UU ini karena ada pasal yang mengatur masalah pembekuan dan pembubaran (13 dan 14) sebuah organisasi oleh pemerintah apabila melanggar beberapa poin yang juga diatur dalam pasal tersebut tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Ini menjadi satu hal yang sangat rancu karena apabila ada sebuah organisasi yang melanggar aturan dan dibubarkan oleh pemrintah, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk membela diri di depan hukum yang berlaku.
Kemelut tentang aturan hukum yang mengatur tentang kehidupan berorganisasi di Indonesia diperparah dengan munculnya wacana pembuatan RUU tentang ormas. Apakah pemerintah yakin setelah RUU itu disahkan maka pengorganisiran massa akan lebih baik? Semoga aturan ini tidak memperpanjang blunder yang kerap dilakukan oleh pemerintah dalam membuat aturan hukum di republik ini. ***

Penulis adalah staf Pusat Studi HAM Unimed.