Salam Sada Roha

Welcome To Freedom Area *Human Love Human*

Story of MALANG

Kongres Himnas PKn 2011.

Story of Bandung

Kongres Himnas PKn 2012.

Story of Pandeglang

LK II HMI Cab. Pandeglang.

Aksi Kamisan

SeHAMA Angkatan IV 2012.

Debat Dengan Raja Minyak

Arya Duta Hotel - Medan 2011.

Selasa, 26 Maret 2013

Sulitnya Hak Atas Air di Negara Maritim (Opini Lampung Post)



Oleh : Eka Azwin Lubis

(Staf Pusat Studi HAM Unimed)

Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Jaminan hukum yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang No 7 tahun 2004 tengan Sumber Daya Air, merupakan suatu hak fundamental yang harus dipenuhi oleh Negara kepada seluruh warga negara, mengingat begitu urgennya kemanfaatan air dalam kehidupan manusia.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhan (P. Ginting dkk, IPS-Geografi, hal.17).

Dari data tersebut, maka Indonesia mendapat julukan sebagai negara maritim karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan, sehingga hal yang wajar jika produk hukum tentang jaminan hak atas air itu muncul dengan harapan tidak ada lagi permasalahan dalam pemenuhan hak atas air bagi setiap warga negara.

Meski begitu, hingga saat ini kerap kita dengan persoalan tentang  pemenuhan hak atas air yang belum dapat dipenuhi secara optimal oleh negara, sehingga menimbulkan berbagai polemik di tengah kehidupan masyarakat.

Apabila curah hujan tinggi, dengan seketika daratan kota-kota besar tanah air akan digenangi air yang tidak memiliki tempat untuk bermuara. Banjir sangat akrab dengan kehidupan masyarakat di kota, sehingga apabila musim hujan tiba, air seolah menjadi musuh paling besar bagi mereka yang kerap dihantui bencana banjir.

Banjir yang menjadi agenda rutin yang dihadapi oleh rakyat Indonesia ini juga membawa dampak yang dahsyat dalam melumpuhkan berbagai aktivitas sosial masyarakat. Sudah menjadi ketentuan dengan datangnya banjir maka roda ekonomi juga akan macet. Segala aspek dan elemen kehidupan akan terkendala dengan datangnya banjir, sehingga tidak jarang inflasi ekonomi terjadi akibat banjir. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan waktu datang dan surutnya banjir secara pasti, yang jelas banjir yang diakibatkan semakin sulitnya mencari tempat untuk mengalir dan bermuara air serta semakin sedikitnya pohon yang mampu untuk menyerap air hujan, rutin terjadi dan belum tau sampai kapan dapat teratasi.

Sebaliknya, apabila musim kemarau datang, bencana kekeringan kerap melanda daerah-daerah di tanah air. Dampak yang ditimbulkan dari bencana kekeringan ini tidak kalah hebat jika disbanding dampak dari bencana banjir.

Jelas saja, apabila bencana kekeringan melanda, maka sektor pertanian dengan seketika akan tersendat. Jika pertanian tersendat akibat sulitnya mendapatkan air, efek terusan yang muncul adalah naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok ditengah kehidupan masyarakat.

Meskipun masalah banjir dan kekeringan ini telah berulang kali terjadi, namun hingga kini belum ada solusi kongkrit dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah klasik yang seolah tidak berkesudahan ini. Banyak solusi yang telah ditawarkan oleh pakar untuk menyelesaikan masalah banjir di ibukota dan kekeringan di daerah, namun tetap saja ketidakseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini menjadi kendala dari terselesaikannya bancana yang diakibatkan oleh kelebihan dan kekurangan air tersebut.

Krisis Air di Negara Maritim

Dalam acara Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag (Maret, 2000) disebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025. Penyebabnya antara lain kelemahan dalam pengelolaan air, seperti pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam menyediakan air.

Dari penjelasan tersebut, dikhawatirkan sumber daya air secara kuantitatif akan semakin terbatas dan secara kualitatif akan semakin menurun, sebab harus kita pahami, meskipun sumber daya air merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, namun adakalanya ketersediaan air tidak selalu sesuai dengan waktu, ruang, jumlah dan mutu yang dibutuhkan. Banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya masalah ini, pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kebutuhan air baik jumlahnya maupun kualitasnya.

Secara global, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), Jacques Diouf menyatakan bahwa saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun hal yang kontradiksi terjadi manakala ketersediaan air justru mengalami penurunan. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kekurangan air telah berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk kesehatan, sebab tanpa akses air minum yang higienis dikhawatirkan sekitar 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit.

Bahkan satu penelitian menyatakan penduduk Indonesia saat ini yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Untuk persentase akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia, tingkat akses sumber air di pedesaan mencapai 94 persen. Di negara Indonesia yang kaya sumber daya air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya menyentuh level 69 persen, lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72 persen.

Pada akhir PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.

Pada tahun 2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun.

Di daerah perkotaan seperti Jakarta, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari.


Rabu, 13 Maret 2013

Menggugat Posisi Indonesia dalam Dewan HAM PBB (Opini Sumut Pos)


Oleh : Eka Azwin Lubis
Pada tahun 2011 lalu Indonesia kembali terpilih sebagai satu dari empat puluh tujuh anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2011 hingga 2014 dengan memperoleh dukungan terbanyak yaitu 148 jumlah suara dari seluruh negara anggota PBB.
Sebelumnya Indonesia juga merupakan anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2006-2007 serta 2007-2010. Indonesia bersama Philipina (183 suara), India (181 suara), dan Kuwait (166 suara) menjadi wakil benua asia yang mengisi pos Dewan HAM PBB periode ini yang berlaku untuk tiga tahun masa jabatan. Keanggotaan ini merupakan yang ketiga kalinya secara berturut-turut dihuni oleh Indonesia setelah dewan ini dibentuk pada tahun 2006 lalu.
Ini merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi kita karena Indonesia masih tetap dipercaya oleh dunia internasional sebagai negara yang mampu mengaplikasikan HAM secara real dalam kehidupan masyarakatnya serta diharapkan juga mampu untuk mengayomi negara-negara lain dalam menciptakan penegakan HAM dan mematuhi kaidah-kaidah kemanusian yang dewasa ini semakin terdegradasi.
Konflik Israel dan Palestina yang tak kunjung berakhir, Korea Utara yang terus mengisolasi diri dari pergaulan dunia, hingga pelanggaran-pelanggaran HAM berat beberapa pemimpin negara dikawasan Afrika, marupakan salah satu tugas yang diemban oleh Indonesia bersama negara lainnya yang juga merupakan anggota dewan HAM PBB untuk segera diselesaikan.
Dunia menilai kerukunan umat beragama di Indonesia sebagai simbol dari terimplementasinya perlindungan hak-hak setiap warga negaranya baik itu hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Indonesia yang dihuni rakyat yang memiliki beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, serta adat istiadat ini dianggap sebagai negara yang mampu menciptakan kedamaian umat manusia meskipun hidup ditengah-tengah berbagai perbedaan.
Pada periode 2009-2010 Indonesia bahkan diberi kesempatan untuk menduduki posisi sebagai Wakil Presiden Dewan HAM yang saat itu dijabat oleh Dian Triansyah Djani.
Kini meskipun jabatan wakil presiden dewan HAM sudah tidak dipangku oleh Indonesia lagi, namun kepercayaan dunia akan kemampuan Indonesia dalam melindungi hak-hak warga negaranya serta mengampanyekan penegakan HAM diseluruh dunia masih utuh diberikan. Hal ini terbukti dari kembali terpilihnya Indonesia untuk menjadi anggota dewan HAM PBB seperti yang telah dijabarkan diatas.
Teori tak Semanis Realita
Namun agaknya pepatah tersebut sangat cocok untuk menggambarkan situasi penegakan HAM yang benar-benar ada di Indonesia. Sebab meskipun dunia internasional mempercayakan kembali Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB, namun fakta yang terjadi mengenai nasib penegakan HAM di Indonesia justru masih sangat memprihatinkan.
Berbagai konflik horizontal yang menyangkut tentang hak-hak dasar manusia masih terus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang telah menjadikan HAM sebagai salah satu orientasi mutlak dalam menjalankan kehidupan bernegaranya ini ternyata belum mampu untuk mengaplikasikan segala bentuk jaminan akan kebebasan warga negaranya untuk mendapatkan hak asasinya.
Berbagai peraturan yang membahas tentang penegakan HAM telah dibuat oleh Indonesia sebagai instrumen baku untuk menjamin tegaknya hak-hak dasar setiap warga negara Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dari International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik yang juga merupakan hasil ratifikasi dari International Covenant On Civil And Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.
Namun meskipun telah banyak aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi dan menegakan hak-hak dasar warga negaranya, tetap saja itu hanya menjadi mimpi disiang bolong karena tidak diiringi dengan keseriusan dari pemerintah itu sendiri untuk menerapkan aturan tersebut dalam kehidupan nyata sehingga pelanggaran HAM masa lalu hingga kini masih belum ada yang diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.
Mulai dari Kasus Penumpasan orang-orang yang dianggap antek-antek PKI pada tahun 1966, kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 dimana bentrok yang terjadi antara aparat dengan warga sekitar yang berujung pada tewasnya ratusan orang akibat kekerasan dan penembakan, kasus Marsinah pada tahun 1994, peristiwa penculikan aktivis 1998, tragedi trisakti dan semanggi satu dan dua yang memakan korban jiwa mencapai 22 orang baik itu dari kalangan mahasiswa maupun masyarakat sipil, hingga kasus pelanggaran HAM di Aceh, Abepura Papua, Timor Timur, Ambon, Poso, dan banyak lagi yang lainnya.
Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada satu pun tersangka yang divonis bersalah oleh pengadilan atas berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi tersebut.
Menurut data dari Kontras, ada 137 kasus pelanggaran HAM yang disebut oleh Komnas HAM untuk diadili, dari 137 mengerucut menjadi hanya 34 kasus yang didakwa oleh kejaksaan agung. Namun jumlah tersebut kembali berkurang menjadi hanya 18 kasus saja yang diputuskan bersalah oleh pengadilan.
Yang lebih ironis lagi adalah dari semua kasus pelanggaran HAM tersebut, tidak ada satupun yang divonis bersalah setelah mereka yang menjadi pelaku pelanggaran HAM tersebut mengajukan banding. Sungguh-sungguh sangat menyedikan melihat realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terkesan tidak memiliki keseriusan.
Maka hal yang sangat wajar jika Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa begitu dicecar dan ditekan oleh beberapa negara yang kecewa dengan Indonesia saat mengikuti sidang periodik ke 13 Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss pada tanggal 23-26 Mei 2012.
Indonesia dianggap sebagai negara yang gagal dalam melindungi dan menegakan hak-hak asasi warga negaranya meskipun telah terpilih sebagai anggota dewan HAM PBB.
Selain dianggap gagal dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Indonesia juga dianggap gagal dalam melindungi hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan golongan Islam Syiah yang mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh pemerintah.
Jika hal ini tidak segera ditanggapi dengan serius oleh pemerintah, maka bukan hal yang mustahil kekecewaan dunia internasional nantinya akan beimbas pada dikucilkannya Indonesia dari pergaulan dunia karena dianggap sebagai negara yang hipokrit dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan tidak mampu melindungi hak-hak kaum minoritas di negaranya. (*)


Penulis: Staf Pusham Unimed

Sabtu, 02 Maret 2013

Jangan Kebiri Hak Anak (Opini Galamedia)

 Oleh : Eka Azwin Lubis
PERLINDUNGAN anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Pasal 3 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tersebut bermaksud agar segala bentuk hak mendasar yang dimiliki oleh setiap anak Indonesia harus senantiasa dilindungi dan mendapat pengakuan hukum secara universal. Sebab seandainya hak-hak anak Indonesia diabaikan oleh siapapun maka dampak yang paling urgen adalah buruknya kualitas sumber daya manusia Indonesia kedepan, karena sejak kanak-kanak tidak ada jaminan akan ketentuan hidup mereka.

Oleh sebab itu pemerintah merasa perlu untuk membuat satu aturan baku demi terwujudnya jaminan hukum tentang perlindungan anak yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memiliki tujuan mendasar untuk non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Maksud yang dijabarkan seiring dengan disahkannya Undang-Undang tersebut adalah tidak ada lagi kesenjangan sosial yang dialami oleh anak dalam menyongsong hari depannya dan perlindungan hak-hak mereka dijamin oleh pemerintah sehingga mereka mendapat apa yang terbaik dalam kehidupannya.

Cita-cita mulia tersebut diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa sehingga setiap anak Indonesia mendapat perlindungan atas hak kodrati mereka sebagai anak. Aparatur Pemerintah yang memiliki kewenangan dalam menerapkan dan menjalankan aturan ini juga dituntut melakukan kontrol sosial agar undang-undang ini dapat diaplikasikan dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain itu orangtua juga harus andil dan berperan aktif mendidik sang anak untuk memahami hak-hak dasar sebagai seorang anak. Karena keluargalah yang menjadi wadah pertama seorang anak mendapatkan ilmu secara in formal.

Namun realita yang terjadi saat ini justru berbeda, dimana dalam penerapan Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam pasal UU No 23 tahun 2002. Sebab jika kita tinjau lebih dalam ternyata pemerintah belum serius untuk menjalankan amanat aturan yang mereka buat demi kemaslahatan kehidupan anak Indonesia.

Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus yang menimpa anak Indonesia yang seharusnya mendapat perhatian ekstra dari semua lapisan mayarakat dan pemerintah. Anak yang seyogyanya merupakan bagian terpenting dalam membentuk karakter bangsa dimasa depan selalu dibenturkan dengan masalah-masalah berat dalam kehidupan mereka. Padahal anak-anak inilah yang akan meneruskan tongkat estafet kehidupan berbangsa. Sehingga seandainya mental anak yang selalu dibenturkan dengan berbagai kasus yang belum pantas untuk mereka alami, akan menjadi boomerang bagi negara ini karena memiliki generasi muda yang bermental buruk akibat pola pikir yang senantiasa terkontaminasi dengan hal-hal yang mengguncang nalar berfikir mereka.

Maka hal inilah yang sebenarnya harus mendapat perhatian khusus, tidak hanya oleh pihak pemerintahan tetapi juga semua elemen masyarakat yang memiliki kewajiban kontrol sosial dan bersentuhan langsung bagi tumbuh kembang psikologis anak. Sebab seandainya hal urgen ini tidak diimbangi dengan kerjasama yang baik antara pemerintah dan orangtua, bukan tidak mungkin hal-hal yang kita takutkan seperti penjabaran diatas akan terjadi di Indonesia. Apalagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mengglobal sehingga dapat dirasakan juga oleh anak-anak Indonesia terkadang tidak sesuai dengan taraf kemampuan berfikir mereka yang belum mampu memfilter mana yang akan membawa dampak negatif dan positifnya terhadap mereka. Pihak pendamping dalam hal ini orangtua juga belum mampu untuk memberikan arahan terhadap anaknya sehingga benar-benar siap untuk memanfaatkan hal itu sebagai satu energi positif dalam kehidupanya.
Anak kelompok rentan pelanggaran HAM

Untuk melindungi hak-hak anak yang kerap terancam karena mereka merupakan salah satu kelompok rentan pelanggaran HAM, Indonesia membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang tentunya diharapkan menjadi wadah perlindungan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh anak Indonesia. Sebab saat ini menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah tercatat sedikitnya terjadi 700 kasus pidana yang mengancam 6.000 anak-anak. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh kekurang pedulian orangtua dalam memberikan pemahaman yang merupakan hak mereka untuk mengetahui tentang mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik.

Masih jelas betul dalam ingatan kita bagaimana tersangka pencurian sandal AAL yang masih duduk dibangku SMK harus divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Palu, Sulawesi Tengah karena mencuri sepasang sandal. Meskipun saat ini telah dikembalikan kepada orangtuanya namun status yang ia sandang tetaplah seorang tahanan luar dan harus menjalani pembinaan dilingkungan keluarga oleh orangtuanya yang menyatakan kesanggupannya dalam membina sang anak. Memang harus diakui pula perbuatan yang dilakukan oleh AAL bukanlah tindakan yang dibenarkan oleh hukum sehingga Komnas Perlindungan Anak Indonesia pada dasarnya sangat mengapresiasi putusan hakim yang menyatakan AAL dikembalikan kepada orangtua. Sehingga mereka juga menganjurkan kepada seluruh orangtua untuk lebih memberikan edukasi tentang saling menjaga lingkungannya. "Substansinya orangtua mengajarkan anak untuk tidak mengambil apa yang bukan haknya," jelas Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor.

Oleh sebab itu mari kita sama-sama mengembalikan hak-hak anak yang selama ini seolah hilang seiring kurang aktifnya orangtua dalam mendidik anak secara in formal dan kurang efektifnya pemerintah dalam menerapkan aturan yang ada. Agar kedepannya anak Indonesia menjadi anak-anak yang benar-benar siap untuk melanjutkan cita-cita bangsa.
(Penulis, Kabid PTKP HMI FIS dan Staf Pusham Unimed)**